"Ya, untuk kamu lah, Dek. Masa iya untuk selingkuhan saya? Kamu kira, saya akan sekejam itu ke kamu?" Mahardika memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Ada setitik senyuman di wajah tampan nan menawan itu.
"Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak mau satu ranjang dengan saya. Jadi, saya minta Bi Endang, untuk menyiapkan satu kamar lagi untuk kamu," sambungnya dan mengakhiri kalimatnya.Eka diam. Ada keheningan di antara keduanya. Isi kepala yang semula seperti rak buku itu, kini kosong melompong."Kenapa diam, Dek? Apa ada yang salah dengan keputusan saya?"Pertanyaan Dika, sedikit menyadarkan Eka dari pikirannya sendiri. "Baiklah, kalau Om ingin yang seperti ini. Bi Endang, antarkan saya ke kamar."Setelah berkata demikian, Eka langsung melenggang pergi. Bi Endang mengangguk pelan, lalu mengekor di belakang. Sementara Mahardika sedang geleng-geleng kepala, ketika melihat istrinya seperti memiliki dua kepribadian ganda.Semula diam, seperti orang ketakutan. Namun, hanya berselang beberapa menit, dia bersikap seolah biasa saja. Dika sedikit berpikir, apa dia tidak salah menikahi Eka?Di tengah lamunan, tiba-tiba ponselnya berdering. Mahardika mengeluarkannya dari dalam saku celana.[Assalamu'alaikum. Iya, Robi?][Waalaikumsalam. Pak Dika. Maaf menganggu Bapak yang sedang menikmati bulan madu, tapi bisakah Bapak datang ke kantor karena ada berkas yang harus Bapak tandatangani.][Baiklah. Saya akan datang ke kantor. Lima belas menit, saya akan sampai di sana.]Tak berselang lama, Dika pun mengakhiri sambungan telponnya. Eka yang memang belum melangkah jauh itu, seketika berbalik badan."Om, mau pergi kemana?" tanyanya sedikit meninggikan suaranya.Mahardika terpaku kembali. "Saya ada sedikit urusan di kantor. Kamu ke kamar saja dulu, istirahat. Saya tidak akan lama."Eka pun menghampiri sang suami, setelah mendengar penjelasan tersebut. "Tunggu, Om, jangan pergi! Mereka yang memiliki urusan, seharusnya mereka yang datang ke sini.""Tapi, Dek ...""Enggak ada tapi-tapi!" Eka mengangkat tangan kanannya sebelum Mahardika sempat menyelesaikan kalimatnya."Om adalah bosnya, sedangkan mereka adalah karyawan. Jadi, sudah sepatutnya mereka yang datang kemari, bukan Om yang pergi ke sana!" tegasnya berlagak layaknya Nyonya besar.Mahardika tersenyum kecil. Kalau sudah berdebat seperti ini, dapat dipastikan dirinya tidak akan menang."Baiklah. Saya akan menghubungi Robi, untuk membawakan semua berkas yang ingin ditandatangani."Eka mengangguk, merasa puas dengan jawaban sang suami yang mau menurut.Mahardika segera menghubungi Robi, asisten pribadinya ketika di kantor.[Iya, Pak. Apa Bapak sudah sampai di kantor?]Mahardika melirik Eka, sambil tersenyum kecil pada sang istri.[Saya sudah putuskan untuk tidak pergi ke kantor. Kamu bawakan semua berkas itu ke rumah saya.][Rumah Bapak? Rumah yang mana, Pak? Bukankah Bapak sedang bulan madu?][Tidak! Bulan madunya ditunda karena istri saya merasa lelah setelah malam pertama kami.]Eka melebarkan matanya. Seketika merasa aliran darahnya berubah menjadi lava pijar yang baru keluar dari perut bumi.THAk ...Karena tidak tahan, Eka pun menginjak kaki Mahardika. Sontak membuat pria itu ingin menjerit, tapi harus ditahan.[Au. Iya, Sayang, tunggu sebentar!] Mahardika meninggikan suaranya, sengaja menggoda.[Kamu denger sendiri kan, Robi? Istri saya sudah manggil terus di kamar. Saya harus cepat nemenin dia, takut dia ngambek lagi. Soalnya dia enggak mau saya pergi lama-lama. Kamu bawa saja semua berkas yang harus saya tandatangani. Saya ada di Jakarta Pusat. Kamu tahu rumahnya bukan?][Iya, Pak. Baiklah. Kalau begitu saya akan antarkan berkasnya.]Sambungan telpon pun berakhir. Mahardika tertawa kecil, melihat ekspresi kesal sang istri, yang selalu menggemaskan di matanya."Kenapa Om, ngomong gitu ke orang lain? Bikin kesel aja deh," protes Eka, sambil melipat kedua tangan di dada dan mengembangkan pipinya.Melihat pipi Eka yang mengembang seperti bakpao hangat yang dipanggang dadakan, membuat Mahardika ingin menggigitnya."Ya memangnya kenapa kalau saya berkata seperti itu ke orang lain? Apa perbuatan saya tadi salah? Kalau menurut kamu salah, ya saya minta maaf."Alih-alih senang, Eka malah makin jengkel. Akhirnya, dia pergi saja dari pada berlama-lama di dekat Mahardika, yang membuatnya seperti ingin meledak.Kembali, Mahardika menggelengkan kepala, tapi kali ini disertai helaan napas panjang. Sepertinya dia mulai memiliki hobi baru, yaitu berdebat dengan sang istri. Lebih lagi, melihat wajah cemberut Eka, membawa kesan baru dalam kehidupannya sekarang.***Tiga puluh menit berikutnya. Mahardika duduk di ruang tamu sambil membaca beberapa berkas yang sudah dibawakan oleh Robi. Asisten pribadinya."Pak, di mana, istri Bapak?" tanya Robi berbisik-bisik."Kenapa kamu cari dia?" Dika tidak mengalihkan pandangannya. Tetap fokus pada berkas-berkas yang menumpuk."Tidak saja, Pak. Bukankah, kata Bapak tadi, dia tidak bisa jauh-jauh dari Bapak. Ya, saya berpikir istri Bapak akan menemani Bapak di sini," kata Robi ragu."Apa kau sudah berbicaranya?" Dika meletakkan pulpen itu di meja, lalu mengangkat kepalanya. Kini menatap tajam sang asisten yang kepo itu."Maaf, Pak." Robi tertunduk malu."Sekali lagi, kamu bersikap tidak sopan. Saya tidak segan-segan mengirim kamu kembali ke kampung. Mengerti!" gertak Dika tanpa berkedip."Iya, Pak. Maafkan saya.""Iya, untuk kali ini, saya maafkan kamu, tapi lain kali kamu bersikap tidak sopan lagi ... Saya pecat kamu!" tegasnya sambil melipat kedua tangan di dada."Bawa semua berkasnya! Saya sudah selesai menandatanganinya!"Dika beranjak bangun dari sofa, kemudian melenggang pergi tanpa kata."Baik, Pak. Terima kasih."Robi pun, buru-buru merapikan berkas yang tergeletak di atas meja. Sorot tajam Dika tadi, membuat bulu kuduknya berdiri semua.Sementara itu, Eka yang berada di lantai dua pun, sedang berdiri di bibir pintu. Dia sempat mendengar percakapan singkat Mahardika dan asisten pribadinya tadi.Eka diam sambil meremas ujung bajunya.Sore hari sebelum Maghrib. Eka keluar dari kamarnya setelah beristirahat sejak siang. Sebenarnya tidak ada hal yang Eka lakukan saat di kamar, selain bermain ponsel. Sesekali ia keluar kamar dan bertanya pada Bi Endang soal Mahardika. Sang suami sedang sibuk di ruangannya. Eka pun tidak ingin mengganggu. Terlebih lagi, dia dan Mahardika tidak seakrab itu, meskipun sudah sah menjadi suami istri. Eka menuruni anak-anak tangga. Hidungnya kembang kempis, mencium aroma yang sangat harum dan menggugah selera makannya. Eka membayangkan saat menyantap makanan ini dengan nasi hangat, tempe goreng dan lalapan. Cacing-cacing dalam perutnya pun langsung berdemo. Minta diberi makan secepatnya. "Aromanya enak banget. Ini pasti, Bi Endang yang masak," tebak Eka sambil mempercepat langkahnya karena penasaran, siapa yang sedang memasak.Tepat di ujung anak tangga, Eka pun melihat Bi Endang yang sedang berjalan dari arah luar sambil menenteng tas belanjaan di tangan kiri dan kanan. "Bi Endang," pa
"Om, besok aku mau ke rumah ayah," kata Eka sambil mengelap bibirnya dengan tipis, setelah menyelesaikan makan malamnya. "Iya, Dek, tapi maaf saya tidak bisa anter kamu. Nanti, kamu diantar supir aja ya," balas Dika sembari meraih buah apel yang ada di sana. "Soalnya saya harus menghadiri rapat besok," sambungnya dan mengupas kulit apel itu. "Enggak mau! Om harus anter aku pokoknya. Titik, enggak pake koma!" tegas Eka dengan tatapan mengarah tajam pada sang suami."Lagian kenapa si, Om udah kerja aja? Kita kan baru selesai nikah. Ngapain harus sibuk sama pekerjaan? Masih ada waktu nanti-nanti untuk pekerjaan," terusnya mengomel.Dika mengerjapkan matanya pelan dan mengulas senyuman tipis. "Baiklah, Tuan Putri. Saya akan minta Robi untuk mewakilkan saya dalam rapat tersebut. Jadi, saya bisa mengantarkan kamu ke rumah Ayah. Apa kamu puas, Dek?""Terima kasih, suamiku yang ganteng," ucap Eka sambil mengambil buah apel yang sudah dikupas kulitnya itu dari tangan Dika. Tanpa merasa bers
Adzan subuh pun berkumandang. Eka perlahan-lahan membuka matanya, bersamaan dengan suara lembut memanggilnya."Bangun, Dek. Sudah waktunya sholat subuh."Suara lembut itu terus mendorong Eka untuk bangun dari alam mimpi. Lambat laun kesadarannya mulai terkumpul."Heum, iya, Om," gumam Eka sembari mengucek matanya."Ya udah, saya wudhu duluan ya, nanti kamu nyusul," kata sang pemilik suara lembut, yang tidak lain adalah sang suami.Eka mengangguk. Sepasang mata indah itu, masih terbuka sebagian saja. Namun, bayangan ketampanan sang suami sudah terlihat. Meskipun belum sepenuhnya.Lima menit kemudian, Eka pun keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah terlihat sangat segar, setelah membasuhnya dengan air."Om Dika." Eka menghampiri Dika yang duduk di atas sajadahnya."Iya, Dek?" "Maaf, Om. Aku enggak sholat subuh ... Soalnya itu ..." Eka menjeda kalimatnya karena ragu untuk dilanjutkan.Dika mengerjapkan matanya, lalu tersenyum lembut. "Ya sudah, kamu istirahat aja. Kemarin saya sudah min
Pukul 09:05 WIB."Jangan ada yang ketinggalan, Dek." Dika memperingatkan dan Eka langsung mengangguk yakin."Tidak ada yang kubawa selain hp. Semua barang-barang kan sudah di mobil. Om Dika sendiri yang mengurusnya tadi."Dika membuang napas lembut. Memang benar ia telah memerintahkan supirnya untuk membawa beberapa barang untuk bertemu ayah mertuanya nanti.Setelah menikah, ini kali pertama keduanya pulang ke rumah orang tua. Dika sangat menantikan dan Eka sangat merindukan ayahnya."Assalamualaikum ..."Langkah sepasang pengantin baru itu, terhenti di bibir pintu, saat seorang wanita cantik mengucap salam."Waalaikumsalam," jawab keduanya serentak."Mas Dika." Tanpa merasa malu, wanita itu langsung memeluk Mahardika sangat erat. "Aku sangat merindukanmu, Mas," ucapnya mesra sambil memasang raut wajah memelas.Dilihat dari penampilannya, ia tampak sopan, tapi itu saat mengucap salam saja. Selepas itu, ia seperti wanita penghibur yang tidak memiliki urat malu. Dika mematung beberapa
"Kita enggak usah ke rumah ayah, ya. Aku takut kamu ...""Enggak mau!" Belum sempat Dika menuntaskan kalimatnya, Eka sudah lebih dulu menyambar sambil melepaskan pelukannya. Seperti biasa, dia menggembungkan pipinya, menunjukkan ketidaksukaannya tanpa bisa ditutupi. "Atas dasar apa kita tidak jadi ke rumah ayah? Kita sudah niat untuk pergi ke sana, lantas kenapa harus dibatalkan?" Raut wajahnya kembali galak seperti raja hutan yang hendak menerkam seekor kijang. Dika membuang napas panjang. Istrinya benar-benar memiliki kepribadian ganda. Setiap waktunya bisa berubah tanpa bisa diterka. "Saya takut mood kamu tidak bagus akibat kejadian tadi, ditambah kamu sedang datang bulan ...""Apa hubungannya datang bulan dengan bertemu ayah?"Skak! Pertanyaan Eka membuat Mahardika diam dan memutar otaknya cepat. Tatapan tajam sang istri, membuat fokusnya terpecah belah. "Saya hanya takut, kamu bakalan meluapkan semua emosi kepada ayah, sedangkan ayah sama sekali tidak tahu soal masalah Nadi
Malam harinya. Eka dan Dika pun meninggalkan kediaman Teguh Saputra. Sebenarnya, Dika mengusulkan untuk menginap di sana. Namun, Eka tidak mau. Dia ingin pulang saja. Sebagai suami. Ya, Dika menuruti permintaan tersebut. "Siang tadi, siapa yang menelpon?" tanya Eka, di tengah-tengah keheningan malam, jalanan Kota Tangerang. "Heum, Robi yang menelpon. Kenapa?"Eka menggeleng sembari menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. "Aku ngantuk, Om.""Iya, tidurlah, Dek." Dika mengelus lembut pipi Eka. Namun, fokusnya tepat pada jalan. Perlahan-lahan Eka pun memejamkan matanya. Entah ia benar-benar terlelap atau hanya sekedar ingin menikmati kenyamanan yang entah kapan terakhir kali ia rasakan?Dika pun menurunkan kecepatan mobilnya. Tidak mau, mengusik istirahat Eka, yang sepertinya sangat kelelahan itu. Perjalanan yang seharusnya ditempuh satu jam itu, menjadi satu setengah jam. Sebelum memasuki pekarangan rumah, Dika lebih dulu mengirim pesan singkat pada penjaga rumahnya, untuk membu
"Ada apa, Dek?" Dika buru-buru menghampiri Eka yang berteriak tadi. Langkahnya terhenti ketika melihat Eka yang langsung menatapnya penuh kebingungan. "Kenapa enggak ada darah?" Mimik wajahnya begitu datar. "Darah apa?" tanya balik Mahardika, yang sebenernya tidak mengerti arti dari darah yang dimaksudkan?"Itu loh ..." Eka mengangkat kepalanya. Ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.Apa itu disebutnya? Eka kesulitan merangkai kata-katanya. "Apa, Dek? Kalau ngomong sampai tuntas dong. Saya kan enggak ngerti yang kamu maksud. Darah apa?"Eka menghela napas panjang, "itu loh Om ... Darah perawan ..."Dika berpikir sejenak, mencoba mengartikan maksud kalimat yang terpotong-potong itu. Darah perawan? Bukankah itu judul sebuah film? Heum ... Dika pun mengerutkan keningnya. "Masa iya, Om enggak ngerti? Kan kita semalam habis ..."Pada kalimat berikutnya, barulah Dika paham arah pembicaraan ini. Meskipun Eka belum menuntaskan kalimatnya. "Oh, maksudnya darah setelah melakukan malam perta
"Habiskan sarapannya. Oh iya, hari ini saya akan ke kantor karena ada rapat penting yang harus saya hadiri," kata Dika tanpa melihat sang istri.Eka yang hendak menyantap sarapannya itu, seketika menghentikan aktivitasnya. Tiba-tiba ia sudah merasa kenyang tanpa harus makan. "Hari ini Om ke kantor?" tanyanya dan ada raut kekecewaan terpancar di wajah mungil itu.Dika mengangkat kepalanya, "iya, Dek. Maaf tidak memberitahumu sebelumnya karena saya tidak ingin kamu merasa kecewa.""Kalau Om ke kantor, terus aku sama siapa?""Kan, ada Bi Endang, Dek. Oh iya, Bunda juga akan datang ke sini. Kemarin saya sudah memberitahu ke Bunda, soal rapat ini. Jadi, Bunda bakalan main ke sini untuk nemenin kamu." Dika menerangkan situasi yang ada."Oh ..." Meskipun sudah berusaha untuk tersenyum manis, tetapi kekecewaan itu masih tampak dan tidak mampu Eka sembunyikan sepenuhnya.Dika menghela napas panjang, "maafkan saya, Dek. Saya harus menghadiri rapat ini. Investor dari Prancis, berniat untuk menj