Share

7. MENGGODA EKA

"Ya, untuk kamu lah, Dek. Masa iya untuk selingkuhan saya? Kamu kira, saya akan sekejam itu ke kamu?" Mahardika memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Ada setitik senyuman di wajah tampan nan menawan itu.

"Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak mau satu ranjang dengan saya. Jadi, saya minta Bi Endang, untuk menyiapkan satu kamar lagi untuk kamu," sambungnya dan mengakhiri kalimatnya.

Eka diam. Ada keheningan di antara keduanya. Isi kepala yang semula seperti rak buku itu, kini kosong melompong.

"Kenapa diam, Dek? Apa ada yang salah dengan keputusan saya?"

Pertanyaan Dika, sedikit menyadarkan Eka dari pikirannya sendiri. "Baiklah, kalau Om ingin yang seperti ini. Bi Endang, antarkan saya ke kamar."

Setelah berkata demikian, Eka langsung melenggang pergi. Bi Endang mengangguk pelan, lalu mengekor di belakang. Sementara Mahardika sedang geleng-geleng kepala, ketika melihat istrinya seperti memiliki dua kepribadian ganda.

Semula diam, seperti orang ketakutan. Namun, hanya berselang beberapa menit, dia bersikap seolah biasa saja. Dika sedikit berpikir, apa dia tidak salah menikahi Eka?

Di tengah lamunan, tiba-tiba ponselnya berdering. Mahardika mengeluarkannya dari dalam saku celana.

[Assalamu'alaikum. Iya, Robi?]

[Waalaikumsalam. Pak Dika. Maaf menganggu Bapak yang sedang menikmati bulan madu, tapi bisakah Bapak datang ke kantor karena ada berkas yang harus Bapak tandatangani.]

[Baiklah. Saya akan datang ke kantor. Lima belas menit, saya akan sampai di sana.]

Tak berselang lama, Dika pun mengakhiri sambungan telponnya. Eka yang memang belum melangkah jauh itu, seketika berbalik badan.

"Om, mau pergi kemana?" tanyanya sedikit meninggikan suaranya.

Mahardika terpaku kembali. "Saya ada sedikit urusan di kantor. Kamu ke kamar saja dulu, istirahat. Saya tidak akan lama."

Eka pun menghampiri sang suami, setelah mendengar penjelasan tersebut. "Tunggu, Om, jangan pergi! Mereka yang memiliki urusan, seharusnya mereka yang datang ke sini."

"Tapi, Dek ..."

"Enggak ada tapi-tapi!" Eka mengangkat tangan kanannya sebelum Mahardika sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Om adalah bosnya, sedangkan mereka adalah karyawan. Jadi, sudah sepatutnya mereka yang datang kemari, bukan Om yang pergi ke sana!" tegasnya berlagak layaknya Nyonya besar.

Mahardika tersenyum kecil. Kalau sudah berdebat seperti ini, dapat dipastikan dirinya tidak akan menang.

"Baiklah. Saya akan menghubungi Robi, untuk membawakan semua berkas yang ingin ditandatangani."

Eka mengangguk, merasa puas dengan jawaban sang suami yang mau menurut.

Mahardika segera menghubungi Robi, asisten pribadinya ketika di kantor.

[Iya, Pak. Apa Bapak sudah sampai di kantor?]

Mahardika melirik Eka, sambil tersenyum kecil pada sang istri.

[Saya sudah putuskan untuk tidak pergi ke kantor. Kamu bawakan semua berkas itu ke rumah saya.]

[Rumah Bapak? Rumah yang mana, Pak? Bukankah Bapak sedang bulan madu?]

[Tidak! Bulan madunya ditunda karena istri saya merasa lelah setelah malam pertama kami.]

Eka melebarkan matanya. Seketika merasa aliran darahnya berubah menjadi lava pijar yang baru keluar dari perut bumi.

THAk ...

Karena tidak tahan, Eka pun menginjak kaki Mahardika. Sontak membuat pria itu ingin menjerit, tapi harus ditahan.

[Au. Iya, Sayang, tunggu sebentar!] Mahardika meninggikan suaranya, sengaja menggoda.

[Kamu denger sendiri kan, Robi? Istri saya sudah manggil terus di kamar. Saya harus cepat nemenin dia, takut dia ngambek lagi. Soalnya dia enggak mau saya pergi lama-lama. Kamu bawa saja semua berkas yang harus saya tandatangani. Saya ada di Jakarta Pusat. Kamu tahu rumahnya bukan?]

[Iya, Pak. Baiklah. Kalau begitu saya akan antarkan berkasnya.]

Sambungan telpon pun berakhir. Mahardika tertawa kecil, melihat ekspresi kesal sang istri, yang selalu menggemaskan di matanya.

"Kenapa Om, ngomong gitu ke orang lain? Bikin kesel aja deh," protes Eka, sambil melipat kedua tangan di dada dan mengembangkan pipinya.

Melihat pipi Eka yang mengembang seperti bakpao hangat yang dipanggang dadakan, membuat Mahardika ingin menggigitnya.

"Ya memangnya kenapa kalau saya berkata seperti itu ke orang lain? Apa perbuatan saya tadi salah? Kalau menurut kamu salah, ya saya minta maaf."

Alih-alih senang, Eka malah makin jengkel. Akhirnya, dia pergi saja dari pada berlama-lama di dekat Mahardika, yang membuatnya seperti ingin meledak.

Kembali, Mahardika menggelengkan kepala, tapi kali ini disertai helaan napas panjang. Sepertinya dia mulai memiliki hobi baru, yaitu berdebat dengan sang istri. Lebih lagi, melihat wajah cemberut Eka, membawa kesan baru dalam kehidupannya sekarang.

***

Tiga puluh menit berikutnya. Mahardika duduk di ruang tamu sambil membaca beberapa berkas yang sudah dibawakan oleh Robi. Asisten pribadinya.

"Pak, di mana, istri Bapak?" tanya Robi berbisik-bisik.

"Kenapa kamu cari dia?" Dika tidak mengalihkan pandangannya. Tetap fokus pada berkas-berkas yang menumpuk.

"Tidak saja, Pak. Bukankah, kata Bapak tadi, dia tidak bisa jauh-jauh dari Bapak. Ya, saya berpikir istri Bapak akan menemani Bapak di sini," kata Robi ragu.

"Apa kau sudah berbicaranya?" Dika meletakkan pulpen itu di meja, lalu mengangkat kepalanya. Kini menatap tajam sang asisten yang kepo itu.

"Maaf, Pak." Robi tertunduk malu.

"Sekali lagi, kamu bersikap tidak sopan. Saya tidak segan-segan mengirim kamu kembali ke kampung. Mengerti!" gertak Dika tanpa berkedip.

"Iya, Pak. Maafkan saya."

"Iya, untuk kali ini, saya maafkan kamu, tapi lain kali kamu bersikap tidak sopan lagi ... Saya pecat kamu!" tegasnya sambil melipat kedua tangan di dada.

"Bawa semua berkasnya! Saya sudah selesai menandatanganinya!"

Dika beranjak bangun dari sofa, kemudian melenggang pergi tanpa kata.

"Baik, Pak. Terima kasih."

Robi pun, buru-buru merapikan berkas yang tergeletak di atas meja. Sorot tajam Dika tadi, membuat bulu kuduknya berdiri semua.

Sementara itu, Eka yang berada di lantai dua pun, sedang berdiri di bibir pintu. Dia sempat mendengar percakapan singkat Mahardika dan asisten pribadinya tadi.

Eka diam sambil meremas ujung bajunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status