Share

7. MENGGODA EKA

last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-19 19:42:07

"Ya, untuk kamu lah, Dek. Masa iya untuk selingkuhan saya? Kamu kira, saya akan sekejam itu ke kamu?" Mahardika memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Ada setitik senyuman di wajah tampan nan menawan itu.

"Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak mau satu ranjang dengan saya. Jadi, saya minta Bi Endang, untuk menyiapkan satu kamar lagi untuk kamu," sambungnya dan mengakhiri kalimatnya.

Eka diam. Ada keheningan di antara keduanya. Isi kepala yang semula seperti rak buku itu, kini kosong melompong.

"Kenapa diam, Dek? Apa ada yang salah dengan keputusan saya?"

Pertanyaan Dika, sedikit menyadarkan Eka dari pikirannya sendiri. "Baiklah, kalau Om ingin yang seperti ini. Bi Endang, antarkan saya ke kamar."

Setelah berkata demikian, Eka langsung melenggang pergi. Bi Endang mengangguk pelan, lalu mengekor di belakang. Sementara Mahardika sedang geleng-geleng kepala, ketika melihat istrinya seperti memiliki dua kepribadian ganda.

Semula diam, seperti orang ketakutan. Namun, hanya berselang beberapa menit, dia bersikap seolah biasa saja. Dika sedikit berpikir, apa dia tidak salah menikahi Eka?

Di tengah lamunan, tiba-tiba ponselnya berdering. Mahardika mengeluarkannya dari dalam saku celana.

[Assalamu'alaikum. Iya, Robi?]

[Waalaikumsalam. Pak Dika. Maaf menganggu Bapak yang sedang menikmati bulan madu, tapi bisakah Bapak datang ke kantor karena ada berkas yang harus Bapak tandatangani.]

[Baiklah. Saya akan datang ke kantor. Lima belas menit, saya akan sampai di sana.]

Tak berselang lama, Dika pun mengakhiri sambungan telponnya. Eka yang memang belum melangkah jauh itu, seketika berbalik badan.

"Om, mau pergi kemana?" tanyanya sedikit meninggikan suaranya.

Mahardika terpaku kembali. "Saya ada sedikit urusan di kantor. Kamu ke kamar saja dulu, istirahat. Saya tidak akan lama."

Eka pun menghampiri sang suami, setelah mendengar penjelasan tersebut. "Tunggu, Om, jangan pergi! Mereka yang memiliki urusan, seharusnya mereka yang datang ke sini."

"Tapi, Dek ..."

"Enggak ada tapi-tapi!" Eka mengangkat tangan kanannya sebelum Mahardika sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Om adalah bosnya, sedangkan mereka adalah karyawan. Jadi, sudah sepatutnya mereka yang datang kemari, bukan Om yang pergi ke sana!" tegasnya berlagak layaknya Nyonya besar.

Mahardika tersenyum kecil. Kalau sudah berdebat seperti ini, dapat dipastikan dirinya tidak akan menang.

"Baiklah. Saya akan menghubungi Robi, untuk membawakan semua berkas yang ingin ditandatangani."

Eka mengangguk, merasa puas dengan jawaban sang suami yang mau menurut.

Mahardika segera menghubungi Robi, asisten pribadinya ketika di kantor.

[Iya, Pak. Apa Bapak sudah sampai di kantor?]

Mahardika melirik Eka, sambil tersenyum kecil pada sang istri.

[Saya sudah putuskan untuk tidak pergi ke kantor. Kamu bawakan semua berkas itu ke rumah saya.]

[Rumah Bapak? Rumah yang mana, Pak? Bukankah Bapak sedang bulan madu?]

[Tidak! Bulan madunya ditunda karena istri saya merasa lelah setelah malam pertama kami.]

Eka melebarkan matanya. Seketika merasa aliran darahnya berubah menjadi lava pijar yang baru keluar dari perut bumi.

THAk ...

Karena tidak tahan, Eka pun menginjak kaki Mahardika. Sontak membuat pria itu ingin menjerit, tapi harus ditahan.

[Au. Iya, Sayang, tunggu sebentar!] Mahardika meninggikan suaranya, sengaja menggoda.

[Kamu denger sendiri kan, Robi? Istri saya sudah manggil terus di kamar. Saya harus cepat nemenin dia, takut dia ngambek lagi. Soalnya dia enggak mau saya pergi lama-lama. Kamu bawa saja semua berkas yang harus saya tandatangani. Saya ada di Jakarta Pusat. Kamu tahu rumahnya bukan?]

[Iya, Pak. Baiklah. Kalau begitu saya akan antarkan berkasnya.]

Sambungan telpon pun berakhir. Mahardika tertawa kecil, melihat ekspresi kesal sang istri, yang selalu menggemaskan di matanya.

"Kenapa Om, ngomong gitu ke orang lain? Bikin kesel aja deh," protes Eka, sambil melipat kedua tangan di dada dan mengembangkan pipinya.

Melihat pipi Eka yang mengembang seperti bakpao hangat yang dipanggang dadakan, membuat Mahardika ingin menggigitnya.

"Ya memangnya kenapa kalau saya berkata seperti itu ke orang lain? Apa perbuatan saya tadi salah? Kalau menurut kamu salah, ya saya minta maaf."

Alih-alih senang, Eka malah makin jengkel. Akhirnya, dia pergi saja dari pada berlama-lama di dekat Mahardika, yang membuatnya seperti ingin meledak.

Kembali, Mahardika menggelengkan kepala, tapi kali ini disertai helaan napas panjang. Sepertinya dia mulai memiliki hobi baru, yaitu berdebat dengan sang istri. Lebih lagi, melihat wajah cemberut Eka, membawa kesan baru dalam kehidupannya sekarang.

***

Tiga puluh menit berikutnya. Mahardika duduk di ruang tamu sambil membaca beberapa berkas yang sudah dibawakan oleh Robi. Asisten pribadinya.

"Pak, di mana, istri Bapak?" tanya Robi berbisik-bisik.

"Kenapa kamu cari dia?" Dika tidak mengalihkan pandangannya. Tetap fokus pada berkas-berkas yang menumpuk.

"Tidak saja, Pak. Bukankah, kata Bapak tadi, dia tidak bisa jauh-jauh dari Bapak. Ya, saya berpikir istri Bapak akan menemani Bapak di sini," kata Robi ragu.

"Apa kau sudah berbicaranya?" Dika meletakkan pulpen itu di meja, lalu mengangkat kepalanya. Kini menatap tajam sang asisten yang kepo itu.

"Maaf, Pak." Robi tertunduk malu.

"Sekali lagi, kamu bersikap tidak sopan. Saya tidak segan-segan mengirim kamu kembali ke kampung. Mengerti!" gertak Dika tanpa berkedip.

"Iya, Pak. Maafkan saya."

"Iya, untuk kali ini, saya maafkan kamu, tapi lain kali kamu bersikap tidak sopan lagi ... Saya pecat kamu!" tegasnya sambil melipat kedua tangan di dada.

"Bawa semua berkasnya! Saya sudah selesai menandatanganinya!"

Dika beranjak bangun dari sofa, kemudian melenggang pergi tanpa kata.

"Baik, Pak. Terima kasih."

Robi pun, buru-buru merapikan berkas yang tergeletak di atas meja. Sorot tajam Dika tadi, membuat bulu kuduknya berdiri semua.

Sementara itu, Eka yang berada di lantai dua pun, sedang berdiri di bibir pintu. Dia sempat mendengar percakapan singkat Mahardika dan asisten pribadinya tadi.

Eka diam sambil meremas ujung bajunya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
galak amat sih om
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • ISTRI KECILKU YANG MENGGEMASKAN    80. TAMAT (END)

    "Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya

  • ISTRI KECILKU YANG MENGGEMASKAN    79. KEINGINAN KAK AR

    TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma

  • ISTRI KECILKU YANG MENGGEMASKAN    78. KETEGASAN KAK AR

    "Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa

  • ISTRI KECILKU YANG MENGGEMASKAN    77. PEMBICARAAN DUA PRIA

    "Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma

  • ISTRI KECILKU YANG MENGGEMASKAN    76. DIKA CEMBURU

    Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo

  • ISTRI KECILKU YANG MENGGEMASKAN    75. BUNDA DATANG

    Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status