Share

Kedatangan Lukman

Sore hari aku pulang meninggalkan pabrik. Hardi kuberikan kepercayaan penuh mengurus pabrik setelah aku pulang. Selama ini, ia bekerja sudah sangat baik untuk pabrikku.

Aku turun dari mobil berjenis SUV warna putih. Satu-satunya mobil yang tersisa setelah dua mobil lainnya aku jual.

Dari dalam rumah, Fidelya keluar bersama seorang pria.

"Mas!" Fidelya sedikit berteriak, lalu berlari kecil menghampiriku yang baru keluar dari mobil.

Netraku menyipit melihat pria yang keluar bersama Fidelya tadi. "Lukman?" tebakku pada pria yang kini ada di hadapanku.

Pria itu mengangguk. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.

Aku menerima uluran tangannya. "Baik, Man! Sudah lama?"

"Baru saja sampai, Mas!" Fidelya memberi tahu.

"Mari kita masuk lagi!" ajakku.

*****

Aku duduk di sofa dengan Fidelya di sampingku. Sofa bergaya chesterfield yang ada di ruang tamu ini, memberikan kesan mewah bagi rumahku.

Lukman duduk di hadapanku dan Fidelya kini. Lukman ini sama sepertiku dulu, anak yang besar di panti asuhan. Sebenarnya aku kurang suka dengannya. Dia terlalu agamis, sok suci dan suka ceramah.

"Begini, aku datang kemari diminta Ibu, sudah satu tahun kalian tidak datang ke panti," terangnya.

"Apa Ibu sakit, Man?" tanyaku cepat.

"Ibu sehat. Tapi, ya, sekarang memang Ibu mudah sakit karena mungkin faktor usianya," ujarnya padaku.

Aku menggigit bibir mendengarnya.

"Apa kalian sudah melupakan Ibu? Sampai pesan yang dikirim istriku tidak kalian balas sama sekali?" tanya Lukman.

Fidelya menggeleng. "Ti—tidak seperti itu, Mas Lukman! Mana mungkin kami melupakan Ibu," sanggah Fidelya.

"Iya, Man. Aku tidak sama sekali lupa pada Ibu, tapi aku belum bisa ke sana karena pabrik sedang tidak stabil, Man. Satu tahun terakhir, aku tidak lagi menjadi donatur untuk panti. Makanya, satu tahun ini, aku dan Fidelya tidak bisa pergi ke sana!" jelasku.

Lukman mendecak. "Ibu tidak mau uang kalian. Ibu hanya mau bertemu kalian."

"Kalian datang ke panti tanpa memberi apa-apa, tidak masalah. Ibu tidak mengharapkan apapun dari kalian. Kalian hidup bahagia sekarang, itu sudah cukup buat Ibu!" imbuh Lukman.

"Apa kalian baik-baik saja?" Kembali Lukman bertanya.

Aku mengangguk. "Kami baik, Man. Hanya saja pabrik milikku sedang tidak stabil," jelasku.

"Syukurlah kalau kalian baik-baik saja. Jadi, aku pulang nanti bisa membawa kabar baik untuk Ibu. Aku sengaja datang kemari demi mengetahui keadaan kalian, sesuai keinginan Ibu," jelas Lukman panjang lebar.

"Iya, Mas Lukman. Kami mohon maaf sekali, sudah membuat Mas Lukman harus datang jauh-jauh kemari," ucap Fidelya sambil menangkupkan kedua tangan di dadanya.

"Tidak apa-apa, Fi! Demi Ibu apapun aku lakukan, apalagi cuma ke sini! Kalau ada waktu luang, kalian datanglah ke panti, tidak perlu memikirkan uang donasi untuk panti!" pinta Lukman.

"Iya, Man. Aku akan usahakan biar secepatnya bisa berkunjung ke panti," balasku.

"Oh, iya. Sudah hampir maghrib, aku izin menginap di rumah ini, bolehkah? Besok sesudah subuh, aku pastikan sudah ke terminal untuk pulang." Lukman menjelaskan.

Fidelya menatapku seperti meminta persetujuan dariku. Aku mengangguk cepat. "Boleh, Man! Jangan begitulah, anggap ini rumahmu sendiri!" ujarku pura-pura ramah. Padahal sebenarnya aku tidak mau Lukman menginap di rumahku.

Karena jika Lukman ada di rumah ini, aku harus tidur bersama Anjani untuk mencegahnya agar tidak bisa menampakkan wujud aslinya. Padahal malam ini, masih jatahku bersama Fidelya. Dasar Lukman pengganggu.

Lukman lantas tersenyum ke arahku.

"Fi, Mas mau ke kamar dulu, ya. Kamu gak apa-apa 'kan temani Lukman dulu sebentar?" tanyaku dan Fidelya mengangguk cepat.

Aku lalu beranjak dan melangkah pelan.

"Fi, rumahmu rindang tapi aku merasa gerah, panas!" Ucapan Lukman pada Fidelya dapat kudengar.

"Gerah, Mas? Aku malah merasa sangat dingin loh, Mas!" balas Fidelya kaget.

"Astaghfirullahaladzim, Fi, selalu dekatkan diri dengan Allah!" Ucapan Lukman meski pelan tapi masih bisa kudengar membuat hatiku geram.

Cepat aku masuk ke kamar lalu membersihkan diri di kamar mandi yang ada di dalam kamarku.

*****

Selesai mandi aku duduk di sofa santai yang ada di ruang televisi. Lukman yang baru keluar dari kamar tamu menghampiriku. "Kamu nggak ke masjid?" tanyanya.

Aku kikuk. "Masjid jauh dari sini, Man! Aku sembahyang di kamar tadi!" kilahku.

Lukman mencebikan bibirnya. "Semakin jauh, semakin banyak yang kita lewati dan akan jadi saksi perjalanan kita menempuh masjid!" cerocosnya sambil berlalu meninggalkanu keluar dari rumah.

Dasar menyebalkan. Kebiasaannya dari dulu tidak berubah. Suka sekali ceramah. Kalau mau ceramah di sana saja di masjid, jangan menceramahiku. Bikin kesal saja.

"Mas, makan malam sudah siap!" ujar Fidelya sedikit nyaring dari arah ruang makan.

Aku mematikan siaran televisi dan bergegas menuju meja makan. Aku meminta Fidelya untuk mengisi piring dengan sedikit nasi. Setelah Fidelya menghidangkan, aku lalu makan secepat mungkin.

"Fi, malam ini Mas tidur di kamar Anjani. Mas harus memberi tahu Anjani, kalau malam ini ada Lukman di sini, jadi Anjani tidak boleh keluar kamar. Mas tidak mau, Lukman sampai tahu kalau Mas memiliki dua istri!" Aku berkata setelah selesai makan, meminta pengertian Fidelya.

Fidelya nampak berpikir, di piringnya makanan masih banyak. "Iya, Mas!" jawabnya disertai anggukan.

Aku lalu berdiri. "Kalau Lukman menanyakan Mas, bilang saja sudah tidur karena lelah seharian mengurus pabrik. Kamu jangan lupa mengunci pintu kamar, ya!"

Fidelya hanya mengangguk. Aku mengusap pucuk kepalanya lalu mengecup keningnya. Kemudian berlalu, meninggalkan Fidelya di meja makan menuju kamar Anjani.

Tapi sebelumnya, aku belok ke dapur. Menuangkan air panas untuk membuat susu. Setelah itu, baru aku masuk ke kamar Anjani dengan membawa segelas susu.

Pemandangan di dalam kamar membuatku terhenyak. Anjani sedang menikmati makan malamnya di lantai. Dengan lahap ia menyantap daging burung dara pembelian Bi Marni. Tentu saja, daging burung dara mentah.

Dia melihat kedatanganku. Cepat aku memutar kunci lalu menyimpan gelas susu yang kubawa di atas nakas. Kemudian duduk di atas kasur.

Anjani menyelesaikan makan malamnya tanpa sisa. Setelah santapannya habis, ia berdiri membelakangiku. Tanpa peduli, ia melepas pakaiannya dengan kasar. Menampakkan punggung polosnya yang putih. Serta kakinya yang indah.

Seandainya aku tidak ingat siapa dia, sudah kuhajar dia di tempat tidur karena melihatnya sekarang ini. Untungnya perjanjian yang ku sepakati, tidak mengharuskanku melakukan kewajiban seperti suami pada umumnya.

Aku hanya perlu memberi makanan kesukaannya. Dan memastikan jangan sampai dia kelaparan. Dengan begitu, dia akan bekerja untukku. Mendatangkan pundi-pundi kekayaan ku kembali.

Anjani selesai memakai pakaian, dia merangkak naik ke tempat tidur. Kemudian merobohkan tubuhnya di sampingku begitu saja. Sisa-sisa darah masih menempel di sekitar mulutnya. Dia hanya menyeringai, lalu menutup matanya.

Mungkin dia sudah kenyang karena sudah makan malam. Entah berapa banyak Bi Marni membeli daging burung dara itu.

Aku kemudian membuka laci nakas dan mengambil gunting. Anjani selalu menggerai rambutnya yang panjang sepinggang. Pelan, aku menggunting bagian ujung rambut hitamnya. Rambutnya kasar dan keras berbeda dengan rambut Fidelya yang sangat lembut.

Setelah berhasil, aku memotong-motong kembali rambut Anjani menjadi lebih kecil dan mencampurnya ke dalam susu yang tadi kubuat. Aku mengaduk hingga tercampur dan aku meneguk susu itu dalam sekali tenggak.

Dengan begini, malam ini Anjani tidak akan berubah wujud. Namun, hal ini hanya kulakukan di saat mendesak seperti sekarang. Jika setiap malam aku melakukannya, kekuatan Anjani akan hilang. Begitu yang Mbah Krama katakan saat dia menikahkanku dengan Anjani.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status