POV NUKA***********Saat aku memasrahkan hatiku menerima semuanya. Rasa panas yang sedari tadi menjalar, perlahan sirna. Berganti menjadi rasa perih. Seperti goresan luka yang sengaja ditabur garam. Perih tak terkira.Tubuhku menjadi lemas dan rasanya aku pun tidak sanggup menahan tubuhku sendiri. Aku terkulai. Tidak kuat menahan berat badanku. Tubuhku terasa merosot dengan sendirinya. Aku bisa merasakan tubuhku luruh perlahan ke dalam sungai dan terbaring. Namun, anehnya. Aku tidak merasakan air sungai yang tadi begitu dingin, pada kulitku saat ini. Aku justru merasakan perih di seluruh kulitku.Ah entahlah. Aku sudah tidak mau berpikir lagi. Aku serahkan semuanya pada Sang Pemilik Kehidupan. Apa pun yang terjadi, aku siap menerimanya. Pun dengan Fidelya yang akan tetap menerimaku.Aku merasakan bahuku ditarik untuk bangkit. Kubuka mata. Benar saja, tubuhku kini sudah terduduk di dasar sungai. A Azmi berada di samping, memegangi bahuku. Serta Lukman berada di ujung kakiku. Pakaian m
POV Author.*************Nuka dan Fidelya turun di terminal bus. Setelah lima jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di terminal bus terakhir menjelang sore hari. Mereka turun dari bus hanya membawa tas berisi pakaian yang dijinjing oleh Nuka. Setelah turun dari bus, Nuka beserta Fidelya berjalan menjauh dari area terminal.Mereka menyebrang jalan, kurang lebih dua puluh menit mereka tiba di pangkalan ojek. Kemudian menaiki ojek agar sampai di desa yang akan menjadi tempat baru bagi mereka. Desa yang belum padat penduduk. Sesuai dengan arahan A Azmi.Ibarat kata, Nuka saat ini sudah belangsak. Sudah benar-benar miskin. Tidak punya apa-apa lagi. Harta dan jabatan yang dulu begitu dia bangga-banggakan, untuk sekarang, semua itu tidak bisa menolongnya. Semuanya lenyap. Semuanya hanya semu. Nuka telah tertipu rayuan dan hasutan ibl*s terkut*k.Beruntung, Fidelya ada membersamai Nuka. Dalam kondisi seburuk apapun. Di situasi tersulit sekalipun. Fidelya akan selalu pasang badan untuk suami
POV Author*Enam bulan berlalu …•••••Enam bulan sudah Nuka dan Fidelya tinggal di desa. Mereka mampu beradaptasi, baik dengan lingkungan maupun warga sekitar dengan sangat baik.Setelah enam bulan, Nuka Dan Fidelya sudah mengenal dan mulai berbaur dengan warga lain yang menjadi tetangganya. Berbeda sekali dengan kehidupan saat di kota.Tinggal di komplek perumahan elite, yang rata-rata penghuninya jarang sekali ada di rumah. Membuat Nuka dan Fidelya tidak begitu mengenali tetangganya dulu.Hari ini, akan diadakan acara di masjid besar desa mereka. Para wanita bersama-sama memasak di dapur umum. Memasak makanan yang akan di makan secara bersama-sama nanti malam. Sedangkan para pria, bertugas menyiapkan bahan yang akan dimasak oleh para wanita dan sebagian lagi membuat dodol di halaman depan masjid."Neng Fifi, kamu sakit? Kelihatannya pucat begitu?" tanya Teh Lilis kepada Fidelya.Teh Lilis yang yang tengah mengiris-iris bawang merah, merasa bahwa Fidelya sepertinya sedang tidak se
"Mas, semenjak Anjani tinggal di rumah ini, aku merasa rumah ini jadi aneh," ucap istriku malam ini.Aku tengah membaca map berisi laporan pabrik sembari menikmati pijatan lembut pada kaki yang dilakukan istriku. "Aneh gimana maksudnya, Fi?" tanyaku kemudian."Ya … aku jadi ngerasa takut, Mas. Berasa merinding gitu!" terangnya."Merinding? Kok, bisa?" tanyaku lagi masih fokus pada map di tangan."Gak tahu! Mas emangnya gak ngerasa? Aura rumah ini jadi beda sejak Anjani tinggal di sini, Mas."Aku menutup map, lalu menatapnya. "Aura apalah, Fi? Udah jangan mikir yang nggak-nggak gitulah! Sekarang mending kita tidur," ucapku. Lantas kupegang kedua tangannya agar berhenti memijat kakiku.Istriku mengangguk, kemudian merebahkan tubuhnya miring menghadapku. Cepat aku membenahi selimut untuk menutupi tubuhnya.Aku pun merebahkan tubuh dan menghadap pada istriku itu. Mengikis jarak antara aku dengannya. Hingga wajahku, teramat dekat dengan wajahnya. Kutatap lekat wajah perempuan di hadapanku
Sebelum berangkat ke pabrik, aku menyempatkan sarapan makanan yang telah disiapkan. Dari arah dapur, Fidelya keluar. Ia berjalan dengan lesu menuju meja makan. Sesekali ia menepuk nepuk pelipisnya."Kamu sakit, Fi?" tanyaku setelah ia duduk di hadapanku.Fidelya menggeleng cepat. "Nggak, Mas! Ada yang mau aku omongin, tapi aku lupa. Padahal aku yakin, ada hal yang harus aku omongin sama, Mas! Tapi aku nggak inget dari tadi," jelasnya.Aku mengernyit. Dalam hati, aku mengakui kehebatan dari air yang ku usapkan tadi malam. Ternyata, efeknya luar biasa. Belum saatnya kamu tahu, Fi."Apa emangnya, Fi?" Aku pura-pura penasaran.Fidelya lagi-lagi menggeleng. "Gak inget, Mas! Aku bener-bener lupa. Terakhir yang aku inget, ya, pas disuruh tidur sama, Mas. Aku langsung tidur," jawabnya."Ya, sudahlah, Fi. Mungkin kamu cuma mimpi, dan lupa sama mimpi semalam itu wajar, Fi!" ujarku."Iya kali, Mas!" Fidelya mencentong sedikit nasi di atas piringku. Lalu menyiramkan kuah ikan bumbu kuning dan men
Istri Keduaku (3)Aku berjalan masuk ke dalam resto. Fidelya mengatakan, kalau ia ada di lantai atas. Gegas aku melangkah naik.Fidelya rupanya memilih meja dekat kaca yang langsung mengarah ke luar dengan tempat duduk beralas sofa memanjang. Cepat aku menghampiri dan duduk di sampingnya.Fidelya sudah memesan makanan. Segera aku dan istriku ini menikmati makan siang. Baru siang ini, aku dan Fidelya makan siang di luar lagi setelah satu tahun lamanya."Setelah ini, kamu mau ke mana lagi, Fi?" tanyaku memulai pembicaraan. Makan siang sudah benar-benar selesai."Pulanglah, Mas. Ke mana lagi?""Kita jalan-jalan dulu, Fi?""Benar, Mas?"Aku hanya mengangguk. Fidelya tersenyum manis. "Pabrik sudah mulai stabil, Mas?"Aku tersenyum. Kuusap rambut hitam Fidelya. "Nggak kayak satu tahun kebelakang, Fi! Mulai ada sedikit kemajuan," terangku.Fidelya menatapku. "Syukurlah, Mas! Mudah-mudahan semakin meningkat!" ucapnya dan aku mengangguk.***Aku membawa Fidelya ke Mall. Lalu menyuruhnya ke seb
Aku kembali menyelami peraduan malam ini bersama Fidelya. Kini, ia tengah tertidur pulas di sampingku. Jam dinding menunjukan pukul setengah satu malam sedangkan aku masih terjaga.Aku duduk bertelanjang dada di sandaran kasur. Aku memikirkan, apa yang menyebabkan Fidelya sampai keluar kamar malam kemarin. Hingga ia melihat sosok yang membuatnya tak sadarkan diri. Malam ini, tidak boleh terjadi lagi.Hembusan angin terdengar lebih kencang karena sepinya suasana malam seperti ini. Gorden jendela kamar berkibaran seperti sengaja ditiup dari luar. Aku masih memperhatikan.Tiba-tiba dari balik gorden, aku melihat sekelebat bayangan melintas. Diikuti bau anyir lalu berganti dengan bau melati yang menyengat. Bayangan itu melintas menuju halaman samping rumah ini.Tidak salah lagi. Pasti ini yang membuat Fidelya keluar dari kamar malam kemarin. Untung saja aku terbangun akibat jeritannya dan bisa membuatnya lupa dengan yang ia lihat. Lengah sedikit saja, urusan bisa panjang.Cepat aku memaka
Sore hari aku pulang meninggalkan pabrik. Hardi kuberikan kepercayaan penuh mengurus pabrik setelah aku pulang. Selama ini, ia bekerja sudah sangat baik untuk pabrikku.Aku turun dari mobil berjenis SUV warna putih. Satu-satunya mobil yang tersisa setelah dua mobil lainnya aku jual.Dari dalam rumah, Fidelya keluar bersama seorang pria."Mas!" Fidelya sedikit berteriak, lalu berlari kecil menghampiriku yang baru keluar dari mobil.Netraku menyipit melihat pria yang keluar bersama Fidelya tadi. "Lukman?" tebakku pada pria yang kini ada di hadapanku.Pria itu mengangguk. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.Aku menerima uluran tangannya. "Baik, Man! Sudah lama?""Baru saja sampai, Mas!" Fidelya memberi tahu."Mari kita masuk lagi!" ajakku.*****Aku duduk di sofa dengan Fidelya di sampingku. Sofa bergaya chesterfield yang ada di ruang tamu ini, memberikan kesan mewah bagi rumahku.Lukman duduk di hadapanku dan Fidelya kini. Lukman ini sama sepertiku dulu, anak yang besar di