Aku kembali menyelami peraduan malam ini bersama Fidelya. Kini, ia tengah tertidur pulas di sampingku. Jam dinding menunjukan pukul setengah satu malam sedangkan aku masih terjaga.
Aku duduk bertelanjang dada di sandaran kasur. Aku memikirkan, apa yang menyebabkan Fidelya sampai keluar kamar malam kemarin. Hingga ia melihat sosok yang membuatnya tak sadarkan diri. Malam ini, tidak boleh terjadi lagi.Hembusan angin terdengar lebih kencang karena sepinya suasana malam seperti ini. Gorden jendela kamar berkibaran seperti sengaja ditiup dari luar. Aku masih memperhatikan.Tiba-tiba dari balik gorden, aku melihat sekelebat bayangan melintas. Diikuti bau anyir lalu berganti dengan bau melati yang menyengat. Bayangan itu melintas menuju halaman samping rumah ini.Tidak salah lagi. Pasti ini yang membuat Fidelya keluar dari kamar malam kemarin. Untung saja aku terbangun akibat jeritannya dan bisa membuatnya lupa dengan yang ia lihat. Lengah sedikit saja, urusan bisa panjang.Cepat aku memakai kaos, dan turun dari tempat tidur pelan-pelan. Berjalan mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara sedikitpun atau Fidelya akan ikut bangun.Kulirik, Fidelya masih tertidur pulas. Aku lalu membuka pintu kamar, tidak lupa mencopot anak kuncinya. Setelah keluar, aku menutup pintu.kembali dan mengunci dari luar.Aku membalikkan badan.Brakk!Benar saja. Jendela besar di rumah ini yang langsung menghadap halaman samping terbuka lebar. Padahal setiap malam, pintu dan jendela rumah ini dipastikan sudah terkunci rapat.Aku tidak buru-buru melangkah. Menunggu suara dari dalam kamar, mungkin Fidelya kembali terbangun. Beberapa saat terdiam, tidak ada pergerakan berarti dari dalam kamar. Aman. Fidelya masih tertidur.Aku lalu melangkah pelan menjauhi pintu kamar. Berjalan menuju jendela. Aku berdiri tidak terlalu dekat dengan jendela, namun aku bisa melihatnya begitu jelas.Pantas saja Fidelya sampai pingsan. Tubuh Fidelya kosong, berbeda denganku yang telah 'diisi'.Dia kembali bertengger di dahan pohon jambu. Gaun hitamnya yang lebar menyentuh tanah berayun-ayun. Rambutnya kusut dan panjang sampai ke tanah. Lingkaran matanya hitam pekat, kontras dengan bola matanya yang putih tanpa pupil.Mulutnya yang berlumur darah menceplak, karena memakan sesuatu seperti … tikus? Iya, di mulutnya menggantung kepala tikus.Tapi, dari mana dia mendapatkan tikus menjijikan itu? Rumah ini ku pastikan bersih. Setitik debu pun tidak boleh menempel. Lalu, tikus dari mana yang menjadi santapannya malam buta begini?Dia melumat habis hewan pengerat dalam mulutnya. Setelah itu, dia melayang-layang memutari pohon jambu itu. Lalu, dia melayang maju ke arahku berdiri. Setengah tubuhnya yang tinggi besar menembus dinding penyangga jendela.Wushhh!Sepersekian detik, dia sudah kembali menjadi istri keduaku yang cantik dengan gaun tidur malam.Rambutnya dibiarkan tergerai. Dia menyeringai. Menampakkan giginya yang masih berlumur darah begitupun mulutnya.Dia berjalan ke arahku dan berhenti di sampingku berdiri. Dia mendaratkan ciuman di pipiku. Setelah itu, dia berlalu dan masuk ke dalam kamarnya.Jendela tertutup dengan sendirinya. Aku mengusap pipi bekas bibirnya tadi. Aku terhenyak, di telapak tanganku menempel darah segar.Aku mengendusnya dan itu membuatku sangat mual. Buru-buru, aku ke kamar mandi untuk menghilangkan jejak.Aku harus segera ke kamar. Sebelum Fidelya sadar, kalau aku keluar dari kamar. ***Hardi sudah menunggu di ruanganku. Gegas aku duduk dan menyimpan tas kerja di atas meja. "Ada apa, Har?" tanyaku."Bos, laporan pesanan yang masuk pagi ini!" ujarnya sambil menyodorkan kertas.Aku membacanya. "Wow! Menakjubkan, Har! Kalau begini terus, aku bisa kembali kaya dengan cepat!" Aku menggeleng saking takjubnya."Tapi, Bos, apa Bos yakin dengan semuanya?"*Maksud kamu, Har?""Bos, jalan yang Bos ambil ini, gila!"Aku tertawa mendengarnya. "Kalau aku gila, terus kamu yang anak buahku, apa Har? Sin**ng?""Tapi, Bos masih ingat 'kan dengan perjanjiannya?""Tentu saja! Aku ingat dan akan menepatinya!""Yakin, Bos?"Aku mengangguk pasti. "Tentu saja, Har!""Istri Bos nggak tahu?""Kalau Fidelya tahu, ini nggak akan terjadi! Semua ini, rahasia aku dan kamu! Kalau sampai bocor dan Fidelya tahu, kamu tanggung akibatnya!""Rahasia dijamin aman, Bos! Tapi …."Hardi menggantung ucapannya. Aku hanya diam menunggu kelanjutan ucapannya."Sekali Bos menepati janji itu, maka Bos akan terus terikat. Sebelum terlambat, Bos bisa batalin semuanya."Aku menatapnya. "Batalin gimana, Har? Kamu lihat sendiri kan, pabrik mulai kembali stabil, dan itu efek dari pernikahan yang aku jalani dengan Anjani, Har!"Hardi mengangguk pelan. Ia tidak bisa mengubah apa yang sudah aku putuskan. Ia harus selalu ada di pihakku. Ia sudah berhutang banyak padaku. Sekali dia berkhianat, ia dan keluarganya yang harus menanggung semuanya."Tapi Bos, emang gak takut tidur sama Anjani?" tanyanya ragu-ragu.Aku terkekeh pelan. "Kamu mau coba, Har?"Hardi menggeleng cepat dan meringis. "Nggaklah, Bos! Inget wujudnya saat pertama kali, aku ngeri. Apalagi harus tidur bareng. Hiiiy," sahutnya dengan expresi orang yang merinding.Aku mengulum senyum. "Kali aja kamu bosan tidur sama istrimu, Har!""Istriku kalo bosan, bisa aku tinggal tidur di kursi, daripada harus uji nyali, Bos! Hiiiyyy." Lagi-lagi Hardi merinding.Aku tertawa renyah melihat expresinya. Aku ingat betul bagaimana Hardi ketakutan melihat sosok asli Anjani pertama kali. Sengaja aku membiarkannya mengingat sosok asli Anjani, biar dia tidak membelot dariku."Malam kemarin, Fidelya melihatnya, Har!"Hardi tercengang. "Serius, Bos?""Iya, Har!"Hardi meringis dan menggaruk tengkuknya. "Kok bisa? Terus gimana keadaan istri, Bos?""Fidelya pingsan, dan kamu ingat air bekas ritual mandi kembang yang aku lakukan tengah malam terus dimasukan ke dalam botol-botol kecil?"Hardi mengangguk."Saat Fidelya tak sadarkan diri, aku menuangkan sedikit air itu pada segelas air, terus aku usap pada wajah Fidelya. Besoknya, Fidelya lupa dengan apa yang dilihatnya semalam!"Hardi terhenyak. "Serius, Bos?" tanyanya tidak percaya. Aku hanya mengangguk."Bener-bener gila!" ujarnya lemah."Makanya kamu jangan macam-macam sama aku, Har! Atau Anjani akan mengejarmu, Har? Kamu mau?""Ja-jangan, Bos! Cukup sekali aku melihatnya dalam bentuk kuntilanak, Bos!""Bagus. Kalau begitu, ikuti apa saja perintaku, Har!"Hardi hanya mampu mengangguk tanpa bersuara lagi membuatku tersenyum puas melihatnya."Awasi setiap karyawan dan pekerjaannya dengan baik, Har! Sampai omset turun, bonus kamu gak cair, Har!"Hardi berdiri cepat, lalu memasang gerakan hormat. Ia bergegas keluar dari ruanganku.Hardi Pandita. Mandor sekaligus orang kepercayaan yang sudah bekerja padaku 5 tahun lamanya.Hardi juga yang kupaksa untuk melancarkan jalanku agar pabrik ini tetap berdiri atau bahkan bisa terus bersaing dengan pabrik lain dan pabrik baru.Tidak peduli jalan apa. Karena apa saja aku lakukan, termasuk hal gila menjadikan Anjani istri keduaku.Sore hari aku pulang meninggalkan pabrik. Hardi kuberikan kepercayaan penuh mengurus pabrik setelah aku pulang. Selama ini, ia bekerja sudah sangat baik untuk pabrikku.Aku turun dari mobil berjenis SUV warna putih. Satu-satunya mobil yang tersisa setelah dua mobil lainnya aku jual.Dari dalam rumah, Fidelya keluar bersama seorang pria."Mas!" Fidelya sedikit berteriak, lalu berlari kecil menghampiriku yang baru keluar dari mobil.Netraku menyipit melihat pria yang keluar bersama Fidelya tadi. "Lukman?" tebakku pada pria yang kini ada di hadapanku.Pria itu mengangguk. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.Aku menerima uluran tangannya. "Baik, Man! Sudah lama?""Baru saja sampai, Mas!" Fidelya memberi tahu."Mari kita masuk lagi!" ajakku.*****Aku duduk di sofa dengan Fidelya di sampingku. Sofa bergaya chesterfield yang ada di ruang tamu ini, memberikan kesan mewah bagi rumahku.Lukman duduk di hadapanku dan Fidelya kini. Lukman ini sama sepertiku dulu, anak yang besar di
Aku duduk bersandar seraya berpangku tangan. Kulirik Anjani, matanya rapat dengan posisi tengkurap. Anjani akan berubah setiap malam. Selama satu minggu aku tidur di kamar ini dengannya, setiap malam tiba-tiba saja dia sudah menjelma menjadi kuntilanak yang berbaring di hadapanku.Tapi, karena aku ada di kamarnya, meski setiap malam dia menjadi kuntilanak, dia tidak bisa keluar dari kamar ini. Berbeda jika aku tidur di kamar Fidelya. Itulah kenapa Fidelya memergokinya bertengger saat malam.Tubuhku sudah berisi dan Anjani bisa kukendalikan. Meski melihatnya dalam wujud asli sekali pun, aku bisa mengendalikan diri.Aku belum bisa tidur. Aku menatap langit-langit kamar ini. Pikiranku teringat pada Ibu panti. Sekarang Ibu memang sudah tua dan pasti akan sering sakit.Sudah satu tahun, aku dan Fidelya tidak pergi ke panti. Bukan karena lupa, tapi memang karena pabrik tidak bisa kutinggalkan.Mana mungkin aku melupakan Ibu. Orang yang sudah membesarkan dan merawatku sejak bayi seperti anak
Setelah Hardi pergi dari ruanganku, lantas aku menghempaskan bobot di kursi kerja yang ada di ruangan pribadiku ini. Aku lalu memperhatikan kembali lembar kertas yang ada di tangan.Xaviero De'Store. Toko fashion dengan kualitas tinggi yang ada di salah satu kota di Singapura. Dulu, saat pabrik dalam keadaan stabil, bahkan pemasukan setiap tahun selalu mencapai target. Aku dan Fidelya selalu plesiran ke luar negeri, meski masih sebatas Asia Tenggara.Setiap tiga bulan sekali, aku dan Fidelya pergi berlibur. Menghabiskan waktu di negeri orang sekalian memasarkan produk pabrik. Tapi, belum ada tanda-tanda produk yang pabrik keluarkan dilirik pasar luar.Sedangkan satu bulan sekali. Aku dan Fidelya, rutin mengunjungi panti dan memberikan donasi sepuluh juta tiap bulannya. Aku menjadi donatur tetap untuk panti selama ini.Setahun kebelakang, tidak lagi. Aku dan Fidelya benar-benar mengencangkan ikat pinggang demi pabrik bisa tetap berdiri.Tapi, sekarang? Sungguh di luar dugaanku, bahwa a
Hari Minggu pagi. Aku dan Fidelya akan pergi ke panti. Fidelya masih berkemas, aku menunggunya ditemani secangkir kopi latte yang hangat. Menyesap wangi kopi tersebut lalu menyeruputnya seketika. Nikmat sekali.Bi Marni lalu menghampiriku, sesaat setelah tadi menghidangkan kopi, aku memintanya segera kembali. Aku kemudian menaruh cangkir kopi di atas meja."Bi, kubur ini pada saat menjelang magrib nanti dekat pagar! Saya dan Fidelya kemungkinan akan menginap di panti!" Aku memberikan bungkusan berwarna putih pada Bi Marni."I—ni apa, Den?" tanya Bi Marni ingin tahu."Sudah, Bibi gak perlu tahu! Pokoknya, saat menjelang magrib nanti, kubur saja itu. Kalau tidak, nanti Anjani bisa pindah tidurnya ke kamar Bibi!" jelasku.Bi Marni terlonjak. "Ja—jangan, Den! Bibi takut.""Nggak perlu takut, Bi! Makanya nanti Bibi kubur saja bungkusan itu, biar semua aman!" titahku. Bi Marni hanya mengangguk."Bibi juga harus pastikan, Anjani tidak kelaparan, Bi!""Iya, Den!"Aku mengangguk puas dengan ja
Istri Keduaku (9)***Makan malam sudah tersaji. Aku makan bersama semua penghuni panti yang lain. Anak-anak begitu antusias, karena menu makan malam ini sedikit istimewa dari biasanya.Siang tadi, aku memberikan uang lebih untuk dapur. Sehingga malam ini, tersaji menu mewah dan banyak untuk anak-anak. Agar anak-anak tidak perlu berebutan.Anak-anak makan dengan lahap. Begitupun aku dan Fidelya. Lukman serta istrinya pun tak ketinggalan. Ibu tersenyum bahagia.Selesai makan malam, anak-anak akan dibiarkan bermain sebentar di dalam ruangan sebelum tiba waktunya mereka tidur. Aku mendorong kursi roda Ibu menuju kamarnya bersama Fidelya.Setelah sampai di kamar Ibu, aku memapahnya untuk berpindah duduk ke kasur. Karena ada aku dan Fidelya, maka malam ini, aku dan Fidelya yang menggantikan tugas Lukman dan istrinya menemani Ibu.Lukman dan Nabila sama-sama anak panti dulunya. Mereka tumbuh bersama di panti dan akhirnya mereka menikah dan mengabdikan diri ikut serta mengurus panti. Sementa
Istri Keduaku (10)***"Fi, Mas haus. Mas minta tolong, belikan air minum!" pintaku pada Fidelya setelah menepikan mobil di depan minimarket."Iya, Mas!" jawab Fidelya singkat seraya turun dari mobil. Fidelya meninggalkan tas kecilnya dan hanya membawa dompet masuk ke dalam minimarket.Setelah Fidelya menghilang di balik pintu minimarket, segera aku mengambil tas Fidelya yang tergeletak di atas kursi. Kubuka resletingnya dan mencari tasbih yang tadi Lukman berikan.Aku mendapatkannya. Setelah tasbih itu di tanganku, aku meremasnya. Akan kuhancurkan benda ini. Fidelya tidak boleh memakainya."Aakhh!"Tasbih itu terlempar. Tanganku rasa tersengat panas. Aku belum berhasil menghancurkannya. Sedangkan Fidelya sudah keluar dari minimarket. Cepat aku mengambil tasbih yang terlempar ke bawah tadi dan memasukkannya kembali ke dalam tas Fidelya. Lalu meletakkan lagi tas Fidelya seperti tadi.Fidelya masuk mobil dengan dua botol air mineral dan dua minuman dingin rasa jeruk. Fidelya lantas memb
Keluar dari kamar mandi, kudapati Fidelya ternyata sudah terlelap di tempat tidur. Mungkin Fidelya lelah. Cepat aku berpakaian.Mataku lantas tertuju pada tas kecil yang tergeletak di atas sofa. Tas kecil yang berisi tasbih dari Lukman. Cepat kuambil untuk mencari tasbih berwarna hitam mengkilap itu.Hingga semua barang di dalam tas sudah aku keluarkan tapi tasbih tadi tidak ditemukan. Apa mungkin Fidelya sudah menyimpannya? Tapi dimana? Kuletakan kembali tas Fidelya di sofa.Lalu membuka setiap laci nakas. Tetap saja tasbih itu tidak kutemukan. Aku membuang nafas sejenak. Aku yakin, tasbih tadi bukan tasbih biasa. Pasti Lukman sudah membuat tasbih itu tak bisa aku sentuh. Lukman memang menyebalkan dari dulu.Aku ikut merebahkan diri di samping Fidelya dan merenggangkan otot-otot tubuh. Jam dinding di kamar ini menunjukkan pukul 2 siang. Aku pun memejam sampai akhirnya terlelap.***"Mas!" Panggilan disertai guncangan di tubuhku, meski pelan namun mampu membangunkanku. Lantas kubuka m
Aku merapikan kemeja dan mematut diri di cermin. Sambil menyugar rambut dengan tangan yang telah diberi gel, lalu menyisirnya hingga rapi. Kutatap diriku dalam cermin. Satu kata untuk diriku. Perpect!Fidelya masuk kamar lalu duduk di bibir kasur. Bayangan Fidelya memantul dari cermin tempatku berdiri saat ini. "Mas, struk belanjaan kemarin masih ada gak?""Nggak tahu, Fi. Kemarin Mas masukin ke saku celana jeans. Semalam celananya Mas taruh di keranjang cucian kotor di ruang laundry!" jelasku sambil membalikkan badan.Fidelya menggaruk pelan rambutnya."Kenapa?" tanyaku kemudian."Kemarin sore, aku yakin banget udah beli daging sapi merah. Dua pics, masing-masing 250 graman. Tapi kok gak ada, ya?"Aku memperhatikan raut wajah Fidelya yang kebingungan. "Ya, kamu lihat aja di struknya, Fi!" ujarku."Tapi pakaian di keranjang cucian udah masuk mesin cuci, Mas. Lagi Bi Marni cuci.""Ya, udahlah, Fi. Mungkin kemarin pas di supermarket kamu sempat pilih, tapi lupa masukin ke troli. Bi Mar