Share

Mimpi Lukman

Aku duduk bersandar seraya berpangku tangan. Kulirik Anjani, matanya rapat dengan posisi tengkurap. Anjani akan berubah setiap malam. Selama satu minggu aku tidur di kamar ini dengannya, setiap malam tiba-tiba saja dia sudah menjelma menjadi kuntilanak yang berbaring di hadapanku.

Tapi, karena aku ada di kamarnya, meski setiap malam dia menjadi kuntilanak, dia tidak bisa keluar dari kamar ini. Berbeda jika aku tidur di kamar Fidelya. Itulah kenapa Fidelya memergokinya bertengger saat malam.

Tubuhku sudah berisi dan Anjani bisa kukendalikan. Meski melihatnya dalam wujud asli sekali pun, aku bisa mengendalikan diri.

Aku belum bisa tidur. Aku menatap langit-langit kamar ini. Pikiranku teringat pada Ibu panti. Sekarang Ibu memang sudah tua dan pasti akan sering sakit.

Sudah satu tahun, aku dan Fidelya tidak pergi ke panti. Bukan karena lupa, tapi memang karena pabrik tidak bisa kutinggalkan.

Mana mungkin aku melupakan Ibu. Orang yang sudah membesarkan dan merawatku sejak bayi seperti anaknya sendiri. Pengorbanannya tidak akan pernah tergantikan.

Namaku juga pemberian Ibu. Nuka Refandra.

*****

Aku mematut diri di depan cermin besar yang ada di kamarku dan Fidelya. Aku meninggalkan kamar Anjani jam lima pagi tadi. Anjani masih terlelap dalam rupanya yang cantik.

Pakaianku sudah rapi. Lantas aku menyisir rambut yang sudah diolesi gel. Setelah siap, aku keluar dan bergegas ke meja makan.

Fidelya sudah duduk di sana.

"Pagi, Fi!" sapaku, tak lupa mendaratkan kecupan di pucuk kepalanya.

Fidelya tersenyum menatapku. Dengan cekatan, ia menyalin sarapan yang sudah dibuat Bi Marni. Lalu menghidangkan di depanku.

"Mas," ujarnya pelan di sela-sela sarapan.

"Ya?" jawabku sambil terus menikmati sarapan pagi ini.

"Mas Lukman pulang jam setengah 5 pagi. Tadi aku hanya mengantarnya sampai luar pagar."

"Terus?"

"Sebelum Mas Lukman benar-benar pergi, dia mengatakan sesuatu padaku, Mas!" ucap Fidelya pelan.

"Apa?"

Fidelya belum menjawab. Dia terlihat ragu untuk berkata. Fidelya hanya menggigit bibirnya.

"Kenapa, Fi? Lukman emangnya bilang apa?" tanyaku tak sabar.

Fidelya menghirup nafas panjang. "Mas Lukman mimpi lihat kuntilanak di halaman samping, Mas!"

"Uhhuukk!" Ucapan Fidelya yang di luar perkiraan membuat tenggorokanku tersedak. Cepat aku meneguk air.

Aku berdehem. "Maksudnya dia ngomong gitu apa, Fi?"

Fidelya mengangkat bahu. "Mas Lukman hanya berpesan, agar aku dan Mas Nuka jangan lupa beribadah dan selalu mengingat Tuhan. Gitu katanya, Mas!"

Aku tertawa pelan. "Kamu percaya sama omongan dia, Fi? Lima tahun kita tinggal di rumah ini. Selama itu juga, semuanya baik-baik saja, Fi! Jadi, kamu gak usah dengerin omongannya dia! Dari dulu, si Lukman itu emang suka ngaco!" jelasku panjang lebar.

Fidelya hanya diam. Dia melanjutkan sarapannya yang tinggal sedikit tanpa menyahut ucapanku.

Aku berdehem. "Fi, dengarkan Mas! Semua orang bisa mengalami mimpi dan mimpi apa saja yang di luar keinginan. Mungkin benar, Lukman bermimpi melihat kuntilanak di halaman samping rumah ini, tapi kembali lagi, itu hanya mimpi! Dan mimpi terjadi, di alam bawah sadar. Kamu paham 'kan, Fi?" Aku berkata seraya menatap wajah Fidelya. Sarapanku sudah selesai. Pagi begini, sudah membahas kuntilanak. Dasar Lukman sialan.

"Tapi di rumah ini, ngga ada kan, Mas? Ruma kita nggak berhantu 'kan, Mas?" tanya Fidelya cemas.

"Nggaklah, Fi! Rumah kita aman! Lima tahun kita tinggal di sini, apa kamu pernah bermimpi aneh seperti Lukman yang baru sekali tidur di rumah kita?" Aku bertanya, lalu menggenggam tangan Fidelya yang ada di atas meja.

Fidelya menggeleng. "Nggak, sih, Mas! Cuma, aku merasa aneh sejak Mas membawa Anjani tinggal bersama kita!"

Aku menghela nafas. "Astaga, Fi! Aneh kenapa lagi, sih? Kalau Mas nggak bawa Anjani ke sini, Mas harus bawa dia ke mana? Kamu 'kan tahu, selain dua mobil, rumah juga harus Mas jual untuk modal pabrik kembali. Cuma rumah ini satu-satunya dan uang di tabungan yang tersisa, Fi!"

"Kamu masih inget 'kan, alasan Mas tempo hari menikahi dan membawanya ke mari?" tanyaku pada Fidelya.

Fidelya mengangguk pelan.

"Ya, seperti itu kebenarannya, Fi. Kamu percaya 'kan, sama Mas?"

"Hm, iya, Mas. Mungkin aku terlalu mendengarkan ucapan Mas Lukman. Padahal, Mas Lukman baru sekali tidur di rumah ini," ucapnya.

Aku mengangguk. "Ya, sudah. Memang seharusnya kamu jangan memusingkan omongannya si Lukman. Mungkin saja di panti, dia juga sering mimpiin makhluk lain!" ucapku menenangkan Fidelya.

"Iya, Mas. Aku ngga seharusnya dengerin omongan Mas Lukman." Akhirnya Fidelya setuju untuk tidak mendengarkan omongan Lukman.

"Mas, terus kapan kita mau ke panti?" tanya Fidelya memelas.

Aku menghela nafas dan menyunggingkan senyum. Ku pegang dagu Fidelya. "Weekend nanti, Mas usahakan, ya, Fi!"

Raut wajah Fidelya menjadi cerah. Matanya berbinar. "Serius, Mas?" tanyanya antusias.

"Dua rius, Fidelya Sayang!" jawabku disertai senyuman.

"Akhirnya, terima kasih, ya, Mas!" Fidelya tersenyum puas membuatku gemas dan menjawil dagunya.

Lukman si-a-lan. Aku sudah kehilangan malamku dengan Fidelya gara-gara kedatangannya. Lalu, setelah kepergiannya dari rumah ini, dia malah membuat Fidelya berpikir yang macam-macam. Dasar menyebalkan.

***

Aku tiba di pabrik agak siang. Fidelya minta diantar ke butik langganannya. Ia ingin membeli baju dan celana sebagai hadiah untuk anak-anak panti nanti.

Baru saja turun dan keluar dari dalam mobil, Hardi berlari. "Ada apa, Har? Ngapain kamu lari-lari?"

"Ada kabar gembira, Bos!" jawabnya disela tarikan nafasnya yang memburu.

Aku menautkan alis. "Kabar apa? Istrimu izinin buat kamu nikah lagi?" candaku.

Hardi mendecak. "Si Bos malah bercanda. Kita ke ruangan, Bos."

Aku menyetujui. Hardi berjalan lebih dulu dan masuk ke ruanganku. Ia menuju meja kerjaku dan mengangsurkan selembar kertas.

Aku menerima dan melihat isinya. Permintaan sampel produk untuk dikirim ke toko fashion di salah satu kota di Singapura.

Mataku membulat sempurna. "Hebat, Har!" ucapku takjub.

Aku mengusap wajah tak percaya. Setelah lima tahun berdiri, produk pabrikku mulai dikenal pasar luar. Jika sebelumnya aku yang mengirimkan sampel sebagai bentuk pemasaran, kali ini justru pasar yang meminta sampel terlebih dulu. Karena seingatku, terakhir aku memasarkan produk ke luar negeri sekitar satu tahun lalu. Itu pun sepi. Respon hanya masih dari dalam negeri dan juga jauh dari target.

Aku tersenyum puas. "Har, pastikan tidak ada sedikitpun kesalahan! Meski masih sampel, berikan yang terbaik! Dollar Singapura menanti, Har!" Aku menimpuk lengan Hardi saking senangnya.

Hardi cengengesan. "Beres, Bos! Istriku dikasih dollar Singapura, alamat dapat izin kawin lagi, Bos!" kelakarnya.

Aku terkekeh mendengarnya. "Tentu saja, Har! Makanya, jangan sampai lepas! Itu salah satu toko fashion yang cukup besar di Singapura, Har! Pastikan sampai deal dan masuk order!" perintahku.

Hardi mengacungkan jempolnya. "Siap, Bos! Tenang saja!" balasnya sumringah.

Aku pun tak kalah senang. Akhirnya produk dari pabrik ini mulai menginjak pasar ekspor.

"Oh, ya, Har! Hari Minggu, aku akan ke panti bersama Fidelya. Kemungkinan menginap, kamu jaga pabrik dengan baik!"

"Minggu sekarang, Bos?" tanyanya yang kubalas anggukkan.

Hardi menggaruk kepalanya. "Minggu ini, aku gak pulang lagi lah, Bos?" tanyanya dengan bibir sedikit cemberut.

"Nggak lah, Har! Kamu udah kebelet gak ketemu istrimu dua minggu?" ledekku.

"Iyalah, Bos. Bisa uring-uringan si jago, Bos!"

Aku tertawa. "Makanya kawin lagi, Har! Bawa istri muda-mu tinggal di mess pabrik ini!" usulku.

Hardi terkesiap. "Gila, Bos! Bisa digantung aku sama istriku kalau ketahuan!"

"Kenapa? Kamu takut sama istrimu?"

Hardi tak menjawab hanya menggaruk tengkuknya. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya. "Sudah sana, mulai awasi pekerja!" perintahku.

Tanpa menjawab lagi, Hardi mengangguk hormat dan keluar dari ruanganku. Hardi memang takut pada istrinya. Tapi, dia selalu berkilah. Kalau dia itu suami yang setia pada pasangannya bukan takut istri. Ya, mungkin benar saja. Padaku saja dia tidak pernah berkhianat, apalagi pada istrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status