Share

Nasehat Ibu

Istri Keduaku (9)

***

Makan malam sudah tersaji. Aku makan bersama semua penghuni panti yang lain. Anak-anak begitu antusias, karena menu makan malam ini sedikit istimewa dari biasanya.

Siang tadi, aku memberikan uang lebih untuk dapur. Sehingga malam ini, tersaji menu mewah dan banyak untuk anak-anak. Agar anak-anak tidak perlu berebutan.

Anak-anak makan dengan lahap. Begitupun aku dan Fidelya. Lukman serta istrinya pun tak ketinggalan. Ibu tersenyum bahagia.

Selesai makan malam, anak-anak akan dibiarkan bermain sebentar di dalam ruangan sebelum tiba waktunya mereka tidur. Aku mendorong kursi roda Ibu menuju kamarnya bersama Fidelya.

Setelah sampai di kamar Ibu, aku memapahnya untuk berpindah duduk ke kasur. Karena ada aku dan Fidelya, maka malam ini, aku dan Fidelya yang menggantikan tugas Lukman dan istrinya menemani Ibu.

Lukman dan Nabila sama-sama anak panti dulunya. Mereka tumbuh bersama di panti dan akhirnya mereka menikah dan mengabdikan diri ikut serta mengurus panti. Sementara anak-anak panti lain yang seumuran denganku, mereka bisa dibilang sudah sukses. Kebanyakan dari mereka sekarang tinggal di luar kota, jauh dari panti dan memiliki usaha masing-masing, sama sepertiku.

Aku duduk di samping Ibu. Sedang Fidelya duduk di ujung kaki Ibu sambil memijat pelan kaki Ibu.

Bertemu Ibu, aku seperti anak kecil yang manja. Aku bergelayut di lengan Ibu. Setelah satu tahun, baru malam ini aku bermanja lagi pada Ibu. Dibanding Fidelya, memang aku yang sangat dekat dengan Ibu.

"Bagaimana usaha kalian, Nak?" Ibu memulai pembicaraan.

"Alhamdulillah, Bu, sekarang sudah mulai stabil. Tidak separah satu tahun ke belakang," jawab Fidelya.

"Syukurlah. Kamu masih memproduksi sandal dan sepatu seperti dulu, Nak?" Ibu bertanya padaku.

"Iya, masih, Bu!" balasku.

"Malahan, Bu, produk pabrik Mas Nuka mulai dilirik pasar luar negeri, Bu!" sahut Fidelya.

"Oh, ya? Hebat kamu! Ibu bangga usahamu semakin maju, Nuka!" ujar Ibu.

"Ya, Bu, akhirnya produk pabrikku akan menyentuh pasar ekspor."

Ibu mengusap kepalaku dan tersenyum. "Kamu memang hebat! Dari dulu, kamu memang pekerja keras. Kamu tidak pernah setengah hati dalam mengerjakan sesuatu. Jadi pantaslah, produk pabrikmu bisa sampai pasar ekspor."

Aku mengangguk. Ibu memang selalu bangga dengan hasil kerjaku.

"Fi, kamu masih belum hamil, Nak?" tanya Ibu pada Fidelya.

Fidelya menggeleng, masih memijat-mijat pelan kaki Ibu. "Belum, Bu."

Ibu menghela nafas. "Apa kamu memakai kontrasepsi, Fi?" tanya Ibu lagi.

Fidelya menggeleng cepat. "Nggak kok, Bu. Mungkin memang belum waktunya."

"Apa kalian sudah memeriksa kondisi kesuburan kalian?"

"Sudah, Bu. Aku dan Mas Nuka tidak memiliki masalah kesuburan. Aku dan Mas Nuka sehat, Bu!" jelas Fidelya.

Ibu memijit pelipisnya. "Kalau kalian sehat dan tidak memakai kontrasepsi, seharusnya kalian sudah punya anak. Kalian sudah lima tahun menikah, lho. Apa jangan-jangan kalian memang tidak mau punya anak?"

Aku berdehem. "Nggak gitu, Bu. Mungkin memang belum waktunya aja aku dan Fidelya punya anak," selaku.

Aku dan Fidelya memang merahasiakan hal ini. Hanya aku dan Fidelya yang tahu bahwa selama ini, Fidelya tidak kuizinkan untuk hamil. 

"Iya, Bu, mungkin memang belum waktunya aja," timpal Fidelya.

Ibu terdengar menghela nafasnya. "Hidup kalian sudah berkecukupan. Kelak kalian memiliki anak, ekonomi kalian sudah baik. Pasti anak kalian tidak akan kekurangan. Jangan jadikan masa lalu kalian sebagai anak panti, menghalangi takdir anak yang seharusnya lahir."

"Nggak ada begitu, Bu. Aku sama sekali gak menghalangi takdir anak yang kelak akan lahir," ucapku berbohong.

Tebakan Ibu tadi sangat tepat. Masa laluku sebagai anak yang tidak diinginkan, memang membuatku tidak menginginkan kehadiran anak. Tapi tidak mungkin aku jujur pada Ibu dan mengatakan semuanya. Ibu pasti murka padaku.

"Setiap anak yang terlahir itu bersih, suci, tidak berdosa. Mereka berhak hidup dan mendapatkan kehidupan sekalipun anak itu terlahir di luar ikatan. Yang berdosa itu orangtuanya."

Aku dan Fidelya terdiam, mendengar penuturan Ibu.

"Masa lalu kalian sebagai anak panti, seharusnya menjadi motivasi kalian untuk segera menjadi orangtua. Kalian terikat hubungan yang halal. Kalian sudah matang, baik dari usia dan ekonomi. Kalian sudah pantas menjadi orangtua. Ibu yakin, kalian mampu memberikan anak kalian kelak kehidupan yang layak. Yang orang cari dan usahakan setelah berumah tangga itu, keturunan. Jadi, jangan kalian berpikir untuk tidak memiliki anak, ya!" urai Ibu panjang lebar.

Fidelya mengangguk begitupun aku.

Ibu tersenyum. "Ibu selalu mendoakan kamu agar segera hamil, Fi! Kamu jangan stress dan terlalu banyak pikiran, supaya hormon kesuburan kamu stabil dan bisa cepat hamil, Nak!" Ibu mengusap lengan Fidelya.

"Iya, Bu." Fidelya menjawab disertai senyuman.

"Ya, sudah, kalian segera istirahatlah! Ibu juga mau istirahat ini," perintah Ibu.

Gegas aku turun, diikuti Fidelya. Aku membantu Ibu untuk berbaring dan membenahi selimut hingga menutupi tubuh Ibu.

"Selamat istirahat, ya, Bu!" ucapku pada Ibu yang dibalas anggukan.

Segera aku dan Fidelya keluar dari kamar Ibu. Lalu melangkah menuju kamar yang biasa aku gunakan jika berkunjung ke mari.

***

Dua hari sudah aku tinggal di panti. Sekarang waktunya aku pulang. Ibu mengantarku hingga halaman, dibantu Nabila yang mendorong kursi rodanya. Sebelum masuk mobil, aku menyelipkan amplop coklat pada Ibu, sebagai donasi untuk panti.

Setelah berpamitan pada Ibu dan anak-anak, aku masuk ke dalam mobil. Aku sudah duduk di kursi kemudi sementara Fidelya masih bercengkrama dengan Ibu dan Nabila.

Lukman keluar dari dalam panti, ia menghampiri Fidelya dan seperti memberikan sesuatu untuknya. Entah apa, aku tidak melihatnya dengan begitu jelas dari dalam mobil.

Kemudian Fidelya masuk mobil  dan duduk di kursi sebelahku. Aku dan Fidelya melambaikan tangan perpisahan. Lantas kulajukan mobilku meninggalkan halaman panti yang luas.

"Fi, Lukman ada kasih kamu sesuatu?" tanyaku di sela-sela perjalanan menuju pulang.

"Ada, Mas!" Fidelya lalu membuka resleting tas kecil yang dipakainya dan mengeluarkan sesuatu.

"Mas Lukman kasih ini, Mas! Biar aku selalu mengingat Allah dan tidak putus berzikir katanya." Fidelya menunjuk tasbih berwarna hitam mengkilap di tangannya. Tasbih pemberian Lukman. Aku hanya meliriknya sekilas.

"Kenapa Lukman kasih kamu itu, Fi?" tanyaku penasaran.

Fidelya mengangkat bahu. "Katanya biar jauh dari gangguan jin dan sebagainya, Mas. Gak tahu, deh, Mas Lukman tumbenan kasih aku yang begini. Selama ini 'kan kalo kita berkunjung, Mas Lukman gak pernah kasih apa-apa. Kenapa ya, Mas? Tiba-tiba kasih ini?"

Fidelya bingung sendiri.

Aku tertawa dalam hati. Lukman dari dulu memang selalu ikut campur urusanku. Makanya aku tidak begitu menyukainya.

"Memang selama ini, kamu merasa ada diganggu jin, gitu, Fi?" tanyaku lagi pada Fidelya.

Fidelya menggeleng. "Nggak ada, sih, Mas. Aku ngerasa gak ada gangguan apa-apa. Tapi, ya, gak papalah, aku terima aja tasbihnya, Mas! Gak enak juga kalo aku menolak!" ujarnya.

Aku hanya mengangguk. Ternyata Fidelya tidak ingat sama sekali apa yang dilihatnya ketika malam itu. Benar-benar menakjubkan!

Tapi aku pun tidak boleh terlalu sering memberinya air dalam botol kecil itu. Jika keseringan, Fidelya bisa gila.

🌷🌷🌷

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status