ISTRI KEDUAKU (23)POV FIDELYAFull part🌷🌷🌷Aku berdiri sambil berpangku tangan menghadap jendela kamar. Memandangi kepadatan lalu lintas di bawah sana. Serta semburat merah di atas sana yang menghiasi langit sore ini. Seharian ini aku mengurung diri di dalam kamar hotel. Masih menunggu kedatangan Mas Lukman serta Nabila. Setelah pertemuanku dengan Mas Lukman di roof top cafe kemarin. Aku tidak lagi pulang ke rumah.Aku tidur di kamar hotel. Begitu juga hari ini. Aku menyembunyikan diri dari suamiku sendiri. Suami yang sudah jauh berbeda dari yang kukenali dulu.Aku yakin. Mas Nuka pasti tidak bisa tenang karena tidak mendapatiku ada di rumah. Bahkan Bi Marni dan Pak Yanto, tidak ada yang tahu di mana dan ke mana aku dua hari ini.Aku tidak pernah meninggalkan rumah tanpa kabar seperti sekarang. Pasti membuat Mas Nuka khawatir. Aku yakin sekali. Pasti Mas Nuka sangat takut terjadi hal buruk padaku karena tidak juga pulang ke rumah. Apalagi nomorku yang sengaja tidak ku aktifkan.
ISTRI KEDUAKU (24)POV FIDELYA❤️❤️❤️Aku mengikuti mereka. Kini, mereka tengah duduk hanya beralaskan rumput. Tidak ada cahaya yang menerangi mereka selain dari terangnya sinar bulan di atas sana. Mas Nuka dan Anjani duduk bersebelahan. Dengan kain yang menutupi kepala mereka. Layaknya sepasang pengantin yang akan segera mengikat janji pernikahan. Mereka duduk berhadapan dengan Hardi dan si pria tua.Di tengah-tengah mereka terdapat ayam hutan yang masih hidup. Satu nampan penuh kelopak berbagai macam bunga. Kendi dari tanah liat dan juga gentong."Orang kota! Anjani anakku, bisa mendatangkan kekayaanmu kembali. Asalkan kamu harus mengikuti persyaratan yang aku berikan! Apa kamu siap?"Mas Nuka mengangguk. "Siap, Mbah!" jawabnya pada si pria tua."Sebelum aku menikahkanmu dengan anakku. Kamu dengarkan syarat yang akan kita sepakati." Si pria tua yang Mas Nuka panggil Mbah itu berucap.Mas Nuka hanya mengangguk."Setelah Anjani menjadi istri keduamu. Kamu harus memberikannya persemba
Si Mbah masih berkomat-kamit. Ia menaburkan kelopak-kelopak bunga ke dalam kendi berisi darah.Ia lalu mengulurkan tangannya pada Mas Nuka. Mereka lantas berjabat tangan. Si Mbah meminta Mas Nuka mengikuti setiap ucapannya. Aku tidak bisa menangkap dengan jelas setiap kata yang keluar dari mulut mereka.Lalu, tanpa aku duga. Si Mbah menggores pergelangan tangan Mas Nuka dengan ujung keris yang sama.Darah Mas Nuka mulai menetes ke dalam kendi yang berisi darah ayam hutan tadi. Anehnya Mas Nuka sama sekali tidak merasakan sakit. Dia terlihat biasa saja.Si Mbah lalu melakukan hal yang sama pada Anjani. Setelah selesai, Si Mbah memasukkan ujung keris itu ke dalam kendi. Masih terus menggumamkan mantra-mantra sesatnya.Si Mbah lalu menarik kerisnya dari dalam kendi. Menusukkan sedikit ujungnya di kening Mas Nuka dan Anjani.Lalu Si Mbah menyimpan keris itu. Kali ini, tangan Si Mbah yang masuk ke dalam kendi berisi darah. Setelahnya, Si Mbah menempelkan jempolnya yang berlumur darah pada
BRAKK!Seketika aku menoleh ke sumber suara. Aku yang baru menyelesaikan panggilan, terkaget mendengar pintu rumah dibuka begitu keras. Seperti didobrak. Padahal pintu tidak dikunci.Aku berdiri dari sofa ruang tamu. Berlari ke arah pintu masuk rumah. Ternyata Fidelya sudah kembali. Aku hampir putus asa mencarinya. Karena tidak ada sedikitpun tanda-tanda kemana ia menghilang dua hari ini.Aku memeluknya erat yang kini tengah berdiri di ambang pintu. "Kamu kemana saja, Fi? Mas sangat khawatir. Kamu baik-baik saja 'kan?" tanyaku sambil menghidu dalam-dalam wangi rambutnya.Fidelya tidak menjawab pertanyaan dariku. Dia juga tidak membalas pelukanku. Sangat aneh. Ini bukan Fidelya-ku yang biasanya. "Fi?" tegurku.Fidelya masih diam. Lantas melerai pelukanku di tubuhnya. Aku menautkan alis mendapati sikap anehnya ini. Fidelya menatapku. Sambil mengatupkan mulutnya rapat-rapat.PLAKKK!PLAKK!Tanpa kuduga. Tamparan keras mendarat mulus di kedua pipiku. Meninggalkan rasa panas yang kemudian
POV NUKAAku berdiri. Rasa nyeri di dada membuat langkahku untuk menghentikan Fidelya menjadi lambat. Fidelya berhasil menancapkan paku emas itu tepat di leher Anjani."FIDELYAAAAA" pekikku murka.Aku menarik lengan Fidelya. Lalu mendorongnya menjauh dari Anjani. "APA-APAAN KAMU? KAMU SUDAH GILA!" umpatku kesal.Anjani menggelepar. Tubuhnya seperti kejang-kejang. Bau hangus terbakar mulai menguar di kamar ini.Aku mengacak rambutku. Apa yang akan terjadi dengan Anjani? Apa yang harus aku lakukan?Aku hendak mencabut paku yang menancap pada leher Anjani. Aku mengulurkan tanganku pada lehernya.GLEGARR!“Keaaaakkkk!"Kilatan petir yang begitu keras dan tiba-tiba membuatku mundur. Berbarengan dengan tubuh Anjani yang melebur menjadi debu. Berwarna hitam. Disertai jeritan dari mulutnya yang menusuk gendang telinga.Aku menutup telingaku rapat-rapat.Glegarrr!Suara petir kembali bergemuruh. Lalu turun hujan begitu lebat. Tubuh Anjani yang telah berubah menjadi butiran debu. Melayang. Terb
Ponsel dari genggaman tanganku terlepas. Aku terpaku mendengar suara dari Pak Agus—security di ujung telepon sana. Jantungku berdebar kencang.Namun, sepersekian detik. Aku segera tersadar dari keterpakuan. Aku bangkit dari sofa ruang tamu. Ponsel yang tergeletak, kembali aku masukkan ke dalam saku celana.Aku berlari ke kamar mandi untuk sekadar mencuci muka. Menyambar kunci mobil dan membawa mobilku dengan kecepatan tinggi.**Baru saja sampai di gerbang kavling perindustrian. Aku melihat tiga mobil damkar berjejer. Serta satu mobil polisi. Bangunan pabrik milikku berdiri, terhalang tiga bangunan pabrik lain dari gerbang masuk kavling industri.Aku turun dari mobil setelah sampai di depan gerbang pabrikku. Banyak orang berkerumun. Aku lantas berjalan menerobos kerumunan.Mataku nanar. Menatap pemandangan di depan sana. Aku maju mendekat ke arah tanah bangunan pabrik milikku.Pabrikku habis terbakar.Di hadapanku kini berdiri. Tersisa puing-puing bangunannya saja. Hatiku ngilu. Pabri
Aku mengucek mata. Memastikan dan memeriksa ulang ke luar jendela mobil. Tapi memang tidak ada siapa-siapa di sekitar sini.Apa aku bermimpi? Tapi tidak mungkin. Suara ketukan di kaca mobil barusan sangat jelas aku dengar. Sehingga aku yang hampir terlelap langsung mengerjap karena suara ketukan itu.Ku hela nafas panjang. Menghembuskan perlahan. Lalu menyalakan kembali mesin mobil. Lebih baik aku tancap gas dan segera menemui Mbah Krama. Mungkin yang mengetuk kaca mobil barusan itu orang gila yang lewat.Jalanan yang ku lewati benar-benar sepi. Setelah ladang tebu dan jagung. Mobilku kini melintas di antara pohon-pohon jati. Dengan jalan yang masih berupa tanah bukan aspal. Sepanjang jalan ini. Pohon jati berjejer dan menjulang tinggi.Keluar dari jalan ini. Aku membelokkan mobil ke sebelah kanan lalu mencari letak batu besar sebagai penanda jalan menuju tempat Mbah Krama di dalam hutan.Petang mulai beranjak berganti malam yang turun. Aku sendirian di dalam mobil. Keadaan sekitar mu
Aku mengerjap. Setelah mataku terbuka sempurna. Aku mendapati langit-langit bercat putih serta lampu yang menerangi.Entah dimana aku saat ini. Aku melirik ke kanan dan kiri dengan ekor mata, hanya terdapat tirai berwarna hijau. Sepertinya aku tengah berbaring di brankar pasien.Kepalaku terasa ngilu. Begitu juga dengan kaki sebelah kananku. Perlahan aku coba mengingat apa yang sudah terjadi padaku.Belum sempat aku mengingatnya. Seorang wanita berpakaian layaknya dokter datang menghampiri."Sudah sadar Pak?" tanyanya seraya tersenyum ramah.Sadar? Apa aku pingsan? Aku tak menjawab pertanyaannya."Dicek dulu ya, Pak," ujarnya lagi. Lalu memeriksa keadaanku layaknya aku orang sakit yang tengah berobat."Ini dimana?" Aku bertanya ketika wanita itu sudah selesai memeriksa."Ini di puskesmas desa, Pak," jawabnya.Keningku melipat. Puskesmas desa? Aku semakin tidak paham."Bapak dibawa kemari dengan luka parah di kepala, menyebabkan 20 jahitan. Bapak ditemukan tidak sadarkan diri di dalam