Share

Kegadisan Terenggut di Milan

"Aaaaaa...."

Vin bangun gelagapan. Suara teriakan barusan, sungguh sudah membuatnya harus membuka kedua matanya secara terpaksa.

"Ke...ke...kenapa?" Vin spontan bertanya, di antara kesadaran yang masih setengah.

"KENAPA KATAMU?!" bentak Lea, hingga membuat Vin berjingkat, kaget setengah mati.

Sedetik kemudian, suara sesenggukan Lea terdengar, dan Vin juga telah menyadari sesuatu.

Tatapannya beralih ke kedua tangan Lea yang menggenggam ujung selimut, menutupi bagian bawah dada Lea yang tak tertutup apapun.

Vin kini sadar, keberadaan mereka berdua dalam satu ranjang selama semalaman, tentu saja bukan tanpa alasan. Mereka berdua telah bercinta dalam keadaan sama-sama mabuk.

Vin bisa mencium bau manis dan keras dari botol Applejack di mulut Lea, dan dirinya juga telah menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol di sebuah club malam.

"Aku...kamu..." Vin tak sanggup meneruskan kesimpulannya, karena tangis Lea berubah jadi rintihan. "Ka kamu...kenapa?" tanya Vin, lalu julurkan tangan, berniat menyentuh pipi Lea, guna menyeka air matanya.

"Perih," ujar Lea, memberi jawaban dengan memalingkan wajahnya, sehingga tak sampai tersentuh tangan Vin.

"Apanya yang--" Vin hentikan ucapan, lalu mengikuti tatapan Lea pada bagian selimut di bawah kakinya.

Vin berganti julurkan tangan ke arah yang jadikan Lea kini menangis seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangannya ini, lalu berikan perintah.

"Tutup matamu!" ucapnya lantang, sehingga Leapun menuruti.

Vin keluar dari selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian berjalan cepat ke arah kamar mandi, berganti membalutkan tubuh dengan piyama mandinya, baru kembali ke tempat tidur dengan selimut yang sudah tersingkap lebar.

Vin bergantian menatap Lea dan bagian sprei putih yang terdapat noda merah itu seraya menyisir bagian depan rambutnya dengan jemari tangan kanan.

"Lea...kamu memang masih pera..." berulang kali Vin tak sanggup meneruskan ucapannya.

Baru saja Vin ingin mendekati Lea, suara bel pintu terdengar, dan Vin segera beralih pada jam dinding yang ada di tembok seberang tempat tidurnya.

"Sialan!" umpatnya, setelah menyadari saat ini adalah waktu dimana acara yang paling dia ingin hindari, akan segera berlangsung.

Vin berbalik ke arah penjawab interkom pada pintu masuk penthouse satu-satunya di lantai paling atas bangunan apartemen ini.

"Iya?"

"Vin, ini mommy."

"Tunggu," sahut Vin dingin. Di matikan tombol aktif penjawab interkom, untuk kembali ke Lea yang masih terisak.

"Lea," panggil Vin dengan suara berat.

"Saya ingin pulang...ibu saya sedang sakit dan sekarang sedang di rawat...seharusnya...saya menemaninya saja."

"Ibumu?"

"Ibu...harus operasi angkat kandungan...pak Vin...saya ingin pulang." Lea kesampingkan rasa takutnya, di kala wajah ibunya memenuhi pikiran dan semakin membuatnya menangis perih.

Bel kembali berbunyi, dan Vin tahu siapa itu. Ibu tiri yang usianya hanya terpaut 10 tahunan dengannya, bernama Helena. Istri kedua ayahnya, dan selalu jadi bayangan gelap di setiap langkah Vin sendiri.

"Sialan!" umpat Vin lagi dalam kebingungan. Di hadapannya, seorang gadis sedang menangis karena kegadisannya telah dia renggut, sedangkan di luar sedang menunggu ibu tirinya bersama sebuah dokumen untuk kelangsungan masa depannya.

"Lea, segeralah berpakaian, dan jangan keluar dari kamar, sampai semua urusanku selesai. Ok?"

"Saya ingin pulang saja, pak," pinta Lea sesenggukan. "Sekarang."

Vin putuskan keluar dari kamar pribadinya setelah cepat-cepat berpakaian, tak menghiraukan rengekan Lea.

"Hai, Vin sayang. Senang bertemu denganmu lagi," sapa Helena, bahkan sebelum Vin memberikan sapaan terlebih dulu, setelah pintu di bukakan.

Vin mundur selangkah, menghindari rengkuhan Helena. Namun, gadis di belakang ibu tirinya ini justru memanfaatkannya dengan melewati Helena, lalu melingkarkan kedua tangannya di belakang tengkuk Vin.

"Vin. Aku sangat merindukanmu, dan akhirnya kita akan segera menikah!" pekik gadis yang kini bergelayut manja pada Vin.

Vin tak menggubris ucapan gadis cantik bernama Natalie, yang tak lain adalah keponakan dari Helena.

Helena dan Natalie bersama-sama datang ke Italia, demi meluruskan permintaan Vin yang menginginkan semua rencana mereka di lakukan di negara tempat ibunya berasal tersebut.

Vin segera masuk ke dalam ruang tamu, lalu duduk di single sofa, tapi pikirannya justru teralih pada sofa panjang di sebelahnya.

"Aku dapat laporan, setelah dari makam ibumu, kamu langsung party di club malam, dan pulang dalam keadaan mabuk berat, ya?"

"Iya, mabuk," sahut Vin cepat, sekaligus membenarkan pikirannya yang melayang merunut kejadian semalam, sampai pada tangis Lea pagi ini.

"Kamu harus segera tanda tangani dokumen ini, agar pengacara ayahmu segera muluskan tujuan utama kita, untuk menguasai 100 persen kekayaan keluarga Dharmawan." Helena menyodorkan sebuah tumpukan kertas dengan logo sebuah kantor pengacara terkenal di Indonesia.

Vin meraih dokumen itu, lalu membaca secara serampangan, sampai pada klausula dimana syarat utama pengalihan hak waris padanya, berupa tanda tangan istri di antara dua tanda tangan lain, yaitu Helena dan Vin sendiri.

"Semua sudah mommy siapkan. Acara pernikahanmu dan Natalie, lusa akan di laksanakan secara tertutup di Sicilia, jadi malam ini usahakan tetap di rumah buat persiapan, agar besok pagi--"

Helena menjeda instruksi pada anak tiri dan satu-satunya keturunan dari almarhum suaminya, Anthony Dharmawan, saat Vin bangkit dari tempat duduknya.

"Kenapa? Ada apa?" tanya Helena, yang kemudian ikut berdiri dan mendekati Vin, lalu berbicara di balik punggungnya.

"Mommy sadar, kita tidak pernah dekat. Tapi percayalah, mommy juga menyayangimu seperti anak sendiri, dan Natalie juga bukan gadis sembarangan. Dia wanita berkelas, jadi mommy yakin, dia bisa mengelola kekayaan keluarga kita."

"Aku tidak mau seperti ayah."

"Apa maksudmu, Vin?"

"Bagiku, ayah telah melakukan kesalahan saat menikahimu, dan aku tidak akan mengikutinya dengan menikahi wanita dari keluargamu."

"Vin!" sahut Helena meradang. "Lupakan soal perseteruan kita selama ini. Kamu jangan munafik. Kamu sudah terbiasa hidup mewah, hanya dengan bekerjasama, kita bisa dapatkan semua harta Anthony."

"Tapi aku tidak mau menikah dengan gadis pilihanmu."

"Vin. Waktu kita tidak banyak, dan hanya Natalie pilihan terbaik untukmu. Mommy tahu, kamu sudah banyak menolak cinta gadis-gadis mainanmu. Mereka kamu tinggalkan karena ada yang menurutmu lebih baik, tapi mommy jamin, Nata--"

"Aku bilang tidak mau menikah dengannya!" tandas Vin keras.

"Lalu, kamu akan menikahi siapa? Waktu kita menipis, sebelum kekayaannya di hibahkan ke yayasan sosial. Kamu mau kita hidup miskin?"

Vin balikkan badan, lalu menatap memicing pada Helena.

"Kenapa yang ada di otakmu hanya uang!" bentak Vin.

"Karena aku tidak bisa hidup dengan uang!"

"Karena itu kamu menikah dengan ayahku yang sudah tua?"

"Iya! Puas, kau!"

"Helena. Bagianmu hanya maksimal 20 persen dari saham perusahaan. Kamu tahu kenapa? Karena ayah tahu sifat aslimu yang mata duitan!"

"Tapi aku tetap istri sah Anthony!" Helena tidak mau begitu saja kalah argumentasi dengan anak tirinya ini. "Sudahlah, nikahi saja Natalie, lalu kamu bisa menceraikannya kapan saja, asal kamu menikah. Titik!"

"Tante, kok ngomong begitu, sih? Aku mau jadi istrinya Vin selamanya. Kan tante sudah janji," rengekan Natalie sambil menggoyangkan lengan Helena. "Aku mau saja kalau harus coba tidur dulu dengan Vin. Akan aku servis calon suamiku ini sebaik mungkin," janji Natalie kemudian.

Vin mendengus jijik. Bicara soal tidur dengan wanita, Vin merasakan tubuhnya tak ingin bercinta dengan Natalie, karena sensasi semalam bersama Lea, masih melekat sampai relung terdalamnya.

Baru saja pikirannya ini tertuju pada gadis yang sudah dia renggut kegadisannya semalam, pintu kamarnya terbuka dan Lea berada di sana, berdiri seraya memegang kopernya.

"Pak Vin. Saya harus pulang. Ijinkan saya kembali ke Indonesia sekarang juga," hibah Lea dengan riasan seadanya dan wajahnya pucat pasi.

"Si siapa dia? Kenapa ada wanita di kamarmu?" tanya Helena terkejut.

"Vin. Katakan kalau dia cuma salah satu mainanmu. Iya, kan?" Natalie coba tegaskan sesuatu, namun justru menunjukkan ketakutannya sendiri.

Vin melirik Natalie sekilas, lalu kembali pada Lea yang merunduk dalam kesedihan. Selama beberapa detik, Vin menatapnya, lalu memecah kebekuan suasana di antara 3 wanita ini dengan keputusan besar.

"Tidak. Dia bukan mainanku, tapi gadis ini adalah calon istriku."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
AVA LANE
Helena dan Natalie bikin kesel!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status