Setelah beberapa menit, Lea sudah berada di dalam ruangan presdir yang di kenal sebagai 'zona panas dingin' tersebut.
"Selamat pagi, Pak. Anda memanggil saya?" ucap Lea dengan tundukan kepala. Vin tidak segera menjawab, tapi di tatap penampilan Lea dari ujung kepala sampai kaki. Bukan yang pertama kali di lakukan Vin, tapi kali ini, dia ingin memastikan sesuatu. "Sejauh apa gaya pacaranmu dengan Dani?" Deg! "Mak..maksud, bapak?" sahut Lea terbata. "Oh, jadi dia putusin kamu secara sepihak, karena kamu selalu menolak ajakan bercintanya, ya?" Duarr!! "Mak...maksud, bapak?" tanya Lea masih bingung. Vin berdiri, memasukkan ponsel ke dalam saku celana abu-abu tuanya, lalu berjalan mendekati Lea. "Aku ada meeting dengan salah satu customer yang kamu prospek bulan lalu. Dia pemodal besar, jadi tunjukkan padaku, kalau kemampuanmu bukan hanya by phone, tapi juga dengan bertemu secara langsung." Lea menelan salivanya kasar, di beranikan mendongak menatap Vin secara langsung. "Sekarang, Pak? Pagi ini?" tanya Lea di sertai gerakan menaikkan gagang tengah kacamatanya. Nafas Lea tertahan, saat hembusan aroma mint menyeruak keluar dari tiap kalimat yang Vin keluarkan. "Memang aku bilang malam?" pertanyaan di balas pertanyaan oleh Vin. "Iya, Pak. Maaf," jawab Lea takut-takut. Kembali ruangan itu hening. Vin dan Lea saling terpaku dengan pikiran masing-masing. Tampan. Satu kata itu yang kini memenuhi pikiran Lea. Baru kali ini, bisa sangat dekat memperhatikan wajah setengah bule dari Vin. "Kalau begitu, saya ambil tas dulu," pamit Lea. "Kamu belum beri jawaban dari pertanyaanku tadi," ujar Vin tiba-tiba. Lea paham dengan apa yang di maksudkan Vin, tapi karena moodnya sudah terganggu oleh tiap ucapan Dani, maka jawaban Lea hanya singkat saja. "Biarkan itu jadi masalah pribadi saya, pak. Maaf." Lea lalu keluar dari ruangan, dan tak menyadari, presdir Vin yang di takuti semua karyawannya itu menatapnya terkesima. Baru kali ini, Vin menemui wanita dengan ekspresi datar saja, dan bukannya berusaha mencari perhatian layaknya wanita-wanita yang lain. "Hmm. Aku tahu, orang jujur tidak merasa perlu ulangi jawabannya, karena memang dia berkata sebenarnya dan tak perlu pembuktian sekalipun."** Setelah sampai di tempat yang di tentukan, Lea di minta menunggu di sebuah ruangan makan di dalam restoran bergaya Jepang. Vin sendiri, masih berada di ruangan lain. Mereka berdua datang dengan mengendarai mobil yang berbeda. "Terus gue di sini di suruh nunggu sampai kapan?" gumam Lea, sesekali memperhatikan jam tangannya. Di tengah terpaan kebosanan, pikiran Lea teralihkan oleh suara yang sayup-sayup terdengar dari ruangan sebelah. "Please, Vin. Nikahi aku," hibah seorang wanita dengan suara lembut. "Biar kita bisa semakin sering habiskan malam bersama, dan buang rasa bersalahmu itu jauh-jauh. Aku memang mencintaimu. Hanya kamu." "Aku sudah di jodohkan sama pilihan Tante Helena," sahut sang pria, lawan bicara wanita yang coba merayunya. Bahan pembatas kayu berbentuk seperti bilik dan tempat duduk lesehan ala Jepang itu, semakin memudahkan Lea untuk menempelkan telinganya guna menguping. Lea sangat yakin, pria sebagai pasangan wanita manja di ruangan samping itu adalah atasannya sendiri, yaitu Vincenzo. "Aku harus pergi," pamit Vin. "Tapi, Vin. Bagaimana dengan kita? Aku sudah korbankan banyak hal, dan kamu sudahi semuanya begini saja?" jawaban kekecewaan lawan bicara Vincenzo. "Aku tidak pernah memintamu melakukan semua itu, Nadya. Hubungan kita adalah kesalahan. Ini bukan cinta." "Lalu apa?!" tanya Nadya frustasi. "Aku mencintaimu, Vin. Jangan kamu terima wanita itu jadi tunanganmu. Aku tahu kamu tidak mencintainya." "Aku memang tidak mencintainya." "Vin...Vin, jangan pergi..please." "Sebentar lagi, aku ada meeting di ruang sebelah, kamu--" Mendengar ucapan Vin tersebut, Lea segera bangkit dan berlari kecil ke arah berlawanan dengan panik. "Aduh, Pak Vin pasti mau ke sini," gumam Lea sembari cepat-cepat membentuk kode jari di atas layar ponselnya. "Winda...gue harus pura-pura telpon dia!" putusnya mendadak. Baru saja berniat mengetik nama Winda, pintu geser di hadapannya terbuka, dan wajah Vin muncul di baliknya. "Lea," panggil Vin dengan ekspresi dingin, seperti biasanya. "Kita pergi dari sini," perintahnya. "Pergi? Sekarang, pak?" tanya balik Lea kebingungan. "Memang aku bilang minggu depan?!" sahut Vin ketus. "Habiskan welcome drinkmu itu, dan cepat berdiri!" tambahnya, setelah melihat minuman di hadapan Lea masih utuh. Di luar, terdengar dua penjaga Vin sedang argumen dengan seorang wanita yang bersikeras menemui Vin. Untuk membunuh rasa ingin tahunya, Lea teguk minuman teh Jepang di dalam cangkir hanya dalam sekali sesap, lalu segera berdiri dan berjalan cepat mendekati Vin. "Biarkan aku bicara pada Vin. Kalian tidak tahu aku ini siapa, hah?!" ngotot wanita dengan rambut panjang berwarna blonde, dan berpakaian minim. "Aku adalah wanitanya presdir Vin!" Lea ternganga setengah tak percaya. Teriakan frustasi wanita yang di hadang 2 pria berbadan tegap itu jelas sekali adalah ungkapan terdalam hatinya. Sebagai sesama wanita, Lea bisa merasakan di perlakukan sama oleh Dani, bahkan itu terjadi belum juga dalam sehari. "Pak," panggil Lea, sengaja hentikan langkah dan menghadap mendongak pada Vin. Vin yang terkejut, secara spontan juga hentikan langkahnya. "Kenapa?" tanya Vin dengan tautan dua alisnya. "Wanita itu ingin menemui anda," ujar Lea singkat. Keberadaan mereka saat ini di tengah lorong menuju ke pintu keluar restoran, jadi hanya ada beberapa pelayan yang lalu-lalang. "Kalau aku tidak mau menemuinya, apa kamu akan memarahiku?" tanya balik Vin dengan senyuman smirk arogan khasnya. "Tidak, pak. Hanya saja...saya kira, wanita itu...kekasih anda," jawab Lea jujur, meski gelagapan. Lea kembali kerjapkan kedua mata seolah terkena badai pasir, saat jari telunjuk Vin terangkat dan terarah di depan hidungnya. "Ingat. Kamu asisten pribadiku. Apa yang terjadi di sekitarku, tidak ada yang boleh bocor keluar, dan kalau sudah terlanjur jadi bahan omongan orang, maka aku sudah tahu, darimana sumber gosip itu berasal. Paham?!" Lea menelan salivanya kasar. Pikirannya segera di penuhi akan perintah Vin barusan. Tak ada jalan lain, selain berikan tanggapan pada pria arogan di hadapannya ini, selain hanya anggukan mematuhi. "Baik, pak. Siap," jawab Lea dengan keberanian yang dia paksakan, saat Vin memberi tatapan ancaman. "Hari ini aku maklumi, tapi besok dan seterusnya, tidak ada alasan. Apapun itu!" tandas Vin lantang. Lea menunduk, seraya berikan jawaban menuruti, "Baik, pak." Terdengar helaan napas Vin setelahnya, sebelum memberitahukan suatu berita yang Lea tunggu-tunggu. "Kalau kamu bertanya, dimana customer yang ingin kita temui hari ini, dialah wanita yang pernah kamu prospek itu. Namanya Nadya, dia putri pengusaha garmen besar, dan kamu telah berhasil meyakinkan dia beli saham perusahaan kita di lantai bursa." "Benarkah? Jadi dia Nona Nadya Soedibyo itu?" tanya Lea takjub. "Hmm," sahut Vin dingin, lalu berbalik dan melangkah meninggalkan Lea. "Pak Vin," panggil Lea, sembari berjalan cepat mengimbangi langkah kaki panjang Vincenzo. "Tapi kenapa bapak memperlakukannya seperti itu?" ketidakterimaan Lea, merasa perlu membela kaumnya. Secara tiba-tiba, Vin menghentikan langkah dan berbalik, sehingga tabrakan dengan Lea tak bisa terhindarkan lagi. Lea hampir saja terjatuh ke belakang, kalau saja Vin tidak segera mengarahkan satu tangannya untuk menahan pinggang asisten barunya ini. "Dengar kau asisten bawel." Vin kembali beri ancaman pada Lea, setelah dia lepaskan tangan dan Lea sudah kembali berdiri terkesiap. "Jangan lagi banyak tanya kalau aku tidak memintamu. Kamu cukup diam dan pelajari apa yang aku butuhkan darimu. Mengerti?!" arogansi Vin. "Me mengerti, pak." Lea kembali menunduk takut. "Hmm. Bagus. Setelah ini kamu balik ke kantor pakai mobil lain lagi, dan segera hubungi sekretaris Li. Katakan padanya, aku tidak jadi pergi ke Italy dengan dia, tapi denganmu." Lea dongakkan wajahnya cepat. Sepatu flat yang dia kenakan, sungguh menyiksa dirinya yang harus sering angkat wajah karena jeda postur tubuhnya dengan Vin, lumayan jauh. "Saya, pak?" tanyanya bingung. "Kamu ini memang polos beneran, atau pura-pura polos, sih? Nggak ngerti aku. Katanya prestasi kerjamu bagus, tapi di kasih perintah, lama loadingnya, malah plonga-plongo, hah huh hah nanya terus!" kesal Vin, lama-lama capek juga hadapi Lea yang polosnya kebangetan ini. "Maaf, pak. Baik, segera saya hubungi sekretaris Li. Tapi...berangkat ke italy kapan, pak?" Vin balikkan badan seraya berbicara ketus. "Tahu ah. Cari jawabannya sendiri!""Besok?" Kedua mata Lea membulat, seiring bentuk bibirnya yang juga membentuk huruf O. "Tapi, pak?" "Nona. Anda tahu bagaimana sifat tuan muda Vin. Kalau dia sudah berikan perintah, maka waktu dan kesibukan anda adalah miliknya," sela sekretaris Li. "Jadi tiket pesawat itu sudah anda ganti atas nama saya? Kan saya belum mengurus paspor dan--" "Tuan muda sudah berikan perintah ini sejak tadi pagi. Dokumen pribadi anda, sudah saya dapatkan dari file pegawai yang ada di desk perusahaan. Besok, anda akan gunakan visa settle wisata, jadi jangan lagi bingung soal itu." "Te terima kasih, sekretaris Li. Saya jadi menyusahkan anda," jawab Lea gelagapan. "Tak apa. Begitulah dia. Hanya satu pesan saya untuk anda, Nona. Turuti saja semua perintah dan permintaan tuan muda, karena itu hanya salah satu cara anda bila ingin mencapai karier tertinggi." "Maksud sekretaris Li bagaimana?" Lea benar-benar masih tak mengerti. "Jadilah penjilat yang elegan." Wow. "Maksudnya, pak?" polosnya Lea.
"Aaaaaa...." Vin bangun gelagapan. Suara teriakan barusan, sungguh sudah membuatnya harus membuka kedua matanya secara terpaksa. "Ke...ke...kenapa?" Vin spontan bertanya, di antara kesadaran yang masih setengah. "KENAPA KATAMU?!" bentak Lea, hingga membuat Vin berjingkat, kaget setengah mati. Sedetik kemudian, suara sesenggukan Lea terdengar, dan Vin juga telah menyadari sesuatu. Tatapannya beralih ke kedua tangan Lea yang menggenggam ujung selimut, menutupi bagian bawah dada Lea yang tak tertutup apapun. Vin kini sadar, keberadaan mereka berdua dalam satu ranjang selama semalaman, tentu saja bukan tanpa alasan. Mereka berdua telah bercinta dalam keadaan sama-sama mabuk. Vin bisa mencium bau manis dan keras dari botol Applejack di mulut Lea, dan dirinya juga telah menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol di sebuah club malam. "Aku...kamu..." Vin tak sanggup meneruskan kesimpulannya, karena tangis Lea berubah jadi r
"What?!" Teriakan histeris Natalie. Tak percaya, ketakutannya ternyata jadi nyata. Sudah sejak setahunan ini, Natalie selalu berusaha keras untuk menarik perhatian Vin, bahkan rela menjadi penguntit untuk mengetahui setiap jadwal kegiatan Vin, selain meminta bantuan dari tantenya, Helena. Tapi sayang, Vin selalu menolak ajakan kencan atau bahkan bercinta dari Natalie. Namun di setiap penolakan ini, maka semakin keras usahanya untuk mendapatkan hati dan tentu saja harapan sebagai istri sekaligus nama belakang keluarga Dharmawan. "Vin. Kamu ngomong apa? Kamu itu masih mabuk!" sambung Helena, meneruskan keterkejutan Natalie yang kini menangis dalam pelukannya. "Dia ini gadis apa? Pasti kamu ketemu dia club malam, ya kan? Dia wanita murah--" "Dia asisten pribadiku, sekaligus calon istriku!" tegas Vin. Vin bergeser, berdiri di samping Lea yang menatapnya bingung. "Ca calon istri anda?" tanya Lea, sembari menatap bergantian antara Vin dan dua w
Seharian sejak cinta satu malam dan kesepakatan kontrak pernikahan itu terjadi, Lea hanya sendirian di dalam penthouse milik Vin, sedangkan pemiliknya pergi entah kemana, dan belum menunjukkan kabar beritanya sama sekali. "Dimana orang ini? Dia benar-benar mempermainkan gue!" gerutu Lea, duduk risau di kursi berkaki tinggi pada area dapur. Berada di tempat tertinggi pada sebuah gedung tempat tinggal, dengan fasilitas keamanan tingkat pertama, justru membuat Lea jadi merasa terpenjara. Di tatap layar ponsel dengan satu nama berharga tertulis di sana, jadi keputusan Lea untuk menelponnya. "Mama. Bagaimana keadaan mama sekarang?" tanya Lea to the point, setelah panggilannya di angkat sang ibunda, dan kemudian mengaktifkan loudspeaker. "Justru mama ingin tahu keadaanmu sekarang, sayang? Bagaimana pekerjaanmu di sana? Apa kamu bisa bersenang-senang? Atau cuma di suruh bekerja terus?" cercaan pertanyaan dari Sarah, ibu dari Lea. Sebelum keberangkatannya ke Italia, Lea sempat mencerit
Bola mata hitam Lea melebar karena terbelalak kaget."Pak Vin. Sebelum surat kontak itu kita tanda tangani, saya ingin tegaskan sesuatu.""Perutku mual. Jangan nambahi beban pikiranku. Memangnya kamu mau apa?"Lea hela napas panjang terlebih dahulu sebelum memulai berbicara lagi. Lea berpikir, beberapa hal harus sudah dia bicarakan dengan Vin, sebelum mereka kembali ke Indonesia."Saya berjanji akan mengikuti aturan yang bapak berikan, dan juga berusaha jadi istri kontrak yang baik, tapi..""Tapi apa?""Malam kemarin...bagi kita haruslah...malam pertama dan jadi malam terakhir. Saya--""Hei, dengar ya," potong Vin tak mau kalah. "Siapa yang mau minta malam kemarin itu berulang? Tentu itu bukan dari aku.""Maksud saya seperti itu, dan tentu bukan dari saya juga," perjelas Lea takut menyakiti."Ya sudah. What's the problem? Aku cuma bercanda...sialan!"Lea pasang kacamatanya, di sertai kerutan di dahi."Ke kenapa, pak?" Tak ada jawaban dari Vin, panggilan pun tiba-tiba di tutup, membu
Wanita mana yang tak akan tersinggung, bila penilaian akan penampilannya mendapatkan kesimpulan tak baik, terutama di utarakan secara langsung di hadapannya."Kurang menarik ya, pak?" tanya Lea bergetar.Tetesan air dari perasan kain berbahan handuk dan berukuran kecil itu jadi pengisi keheningan ruang TV, penthouse milik Vin untuk beberapa detik lamanya. "Bukan lagi kurang menarik, tapi memang nggak menarik," sahut Vin dingin.Vin lantas membuang muka ke samping. Kelambu berisi air terlihat di kelopak mata Lea, membuat Vin jadi tak tega sendiri."Maka dari itu, sekalian ku perintahkan perancang gaun pengantin itu bawa pakaian yang sekiranya sesuai buat meeting sama klien," tambahnya kalem."Permisi, pak," ijin Lea ketika akan membasuh luka Vin.Vin masih membuang muka. Ekspresinya menegang, karena menahan rasa perih setelah tetesan-tetesan air itu mengenai tepat di bagian luka menganga akibat pecahan gelas kaca."Apa kamu akan lakukan hal yang sama juga, seandainya aku bukan orang ya
Sontak Lea mendelik, amarah sudah di ujung ubun-ubun kepalanya."Pak Vin. Saya bukan gadis seperti itu. Sudah saya katakan kalau--"Keberatan Lea terhenti, saat melihat Vin memegangi kepalanya, lalu hampir limbung. Lea berlari mendekat dan berusaha menahannya, agar tidak sampai terjatuh ke lantai."Pak Vin!" terkejutnya Lea dengan kedua tangan menopang tubuh atletis Vin, sampai dirinya sendiri hampir tak sanggup menyanggah, kalau saja Vin tidak segera membuat dirinya sendiri tersadar. "Anda tak apa-apa? Ada apa dengan anda? Habis mabuk, atau memang sakit?" tanya Lea penasaran."Bawa aku ke kamar," perintah Vin dengan bantuan Lea. Pikiran dan tubuh Vin kembali kacau . Setelah membantu Vin merebahkan diri secara perlahan, Lea mundur beberapa langkah dan menelusuri tubuh atasannya ini dari ujung kepala sampai ujung kaki."Badan anda panas. Apa perlu saya panggilkan bodyguard anda buat antar ke dokter?""Morgan?" tanya Vin lemah dengan mata setengah terpejam."Morgan?" Lea berikan perta
"Karena aku ngantuk!" jawab Vin singkat, tapi terkesan sekenanya."Tapi--""Ahh, sudahlah nggak usah di bahas lagi!" putus Vin, menyela tanggapan yang akan di berikan Lea. "Kita hanya akan jadi suami istri di atas kertas kontrak saja, jadi jangan mengatur hidupku, ok!""Baik, pak. Maafkan saya," sahut Lea, menyadari telah terlalu memasuki ranah kewenangan di luar kuasanya. "Akan saya siapkan keperluan untuk bertemu klien nanti terlebih dulu. Sekretaris Li sudah email saya.""Iya. Keluarlah." Vin berikan perintah dengan membuang muka. Salah satu sikap dan kebiasaan Vin yang tak di sukai Lea.Lea keluar dari kamar, tapi sengaja berhenti di depan pintu yang tertutup, lalu melihat ke arah samping, dimana terdapat sebuah kamar lain tapi selalu dalam keadaan terkunci."Kenapa aku nggak di suruh tidur di kamar sebelah? Eh, dianya juga malah tidur di hotel seberang. Aneh banget nih orang," gumam Lea tak habis pikir.Memang Lea belum menjelajah isi penthouse milik Vin ini secara seksama. Tapi