Share

bab 8 : Map Merah Tua

Author: Kiamood
last update Last Updated: 2025-07-25 09:01:57

Keesokan paginya, aku pura-pura tidur ketika Reyhan berangkat lebih pagi. Begitu suara mobilnya menjauh dan ketenangan rumah menyelimuti, aku langsung bangkit dari tempat tidur. Jantungku berdetak cepat saat langkahku menuju ruang kerjanya. Kali ini, aku tahu persis apa yang kucari.

Lemari tengah.

Tumpukan dokumen.

Dan… sebuah map berwarna merah tua yang nyaris tersembunyi di dasar laci.

Tanganku gemetar saat menariknya keluar. Map itu tampak usang, ada bekas sidik jari yang samar di permukaannya. Aku membuka penutupnya dengan perlahan, seakan takut isinya akan meledak kapan saja.

Beberapa lembar dokumen pertama hanyalah surat-surat properti… sampai akhirnya aku menemukan selembar foto lama.

Mataku membelalak.

Itu foto Reyhan. Lebih muda. Mengenakan jas hitam, berdiri di samping seorang perempuan—bukan aku, jelas bukan aku. Perempuan itu mengenakan gaun putih sederhana, dengan senyum yang tampak seperti menyimpan sesuatu. Ada nama di belakang foto itu, ditulis tangan: "R & N – 2018".

N?

Nadira?

Tanganku gemetar. Nama itu muncul lagi. Nadira. Nama yang kutemukan semalam dalam catatan kecil di ponsel Reyhan. Nama yang disamarkan, tapi tetap muncul berkali-kali.

Aku membalik lembaran berikutnya.

Salinan akta nikah.

Bukan Reyhan dan aku. Tapi… Reyhan dan Nadira.

Tahun 2018.

Aku tercekat. Mereka… pernah menikah?

Tidak. Tidak mungkin.

Reyhan tak pernah menyebut soal ini. Bahkan saat kami membuat kontrak bodoh itu, dia tak pernah membicarakan masa lalunya. Bagaimana mungkin dia menyembunyikan pernikahan?

Atau… mungkin ini bukan tentang menyembunyikan, tapi tentang menghapus?

Aku duduk di lantai, napasku memburu. Dunia seperti bergeser pelan-pelan dari bawah kakiku. Aku merasa bodoh. Dipermainkan. Digunakan.

Suara pintu terbuka membuatku membeku.

Langkah kaki.

Aku menoleh cepat.

Reyhan berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang. “Kamu enggak ke kantor?” tanyanya, suaranya rendah, nyaris seperti ditahan.

Aku berdiri perlahan, sambil memegang map merah itu. “Kamu lupa sesuatu.”

Dia menatap map itu, lalu wajahku. Sekejap… ada luka di matanya. Tapi cepat-cepat dia menutupinya dengan ketenangan semu.

“Jadi kamu sudah tahu.”

“Bukan cuma tahu,” jawabku lirih. “Aku melihat semuanya. Foto. Akta. Nama Nadira. Kamu menikah dengan dia… sebelum aku.”

Dia menarik napas dalam, lalu menatapku. “Itu bagian dari masa lalu yang sulit aku jelaskan.”

“Coba.”

Dia menutup pintu. Menguncinya.

“Dia… Nadira adalah bagian dari masa lalu yang kusangka sudah terkubur,” katanya pelan. “Kami menikah… iya. Tapi bukan pernikahan biasa. Itu pernikahan bisnis. Perusahaan ayahnya butuh investor, dan aku adalah alat tukar yang mereka pilih.”

Aku mencibir. “Kamu juga bilang itu padaku. Pernikahan kontrak.”

Dia terdiam. “Tapi Nadira berbeda. Dia bukan hanya… istri kontrak. Dia—”

Dia menggigit bibirnya. Ada konflik di matanya, seperti seseorang yang hampir saja mengaku… tapi kembali mundur.

“Dia apa, Reyhan?” desakku. “Masih hidup? Atau sudah kamu kubur juga bersama rahasia lainnya?”

Wajah Reyhan mengeras. Tapi kemudian dia menunduk.

“Dia menghilang. Beberapa bulan setelah kami menikah. Tanpa jejak.”

Aku membeku.

“Awalnya kupikir dia kabur. Tapi… kemudian ada surat kaleng datang. Mengancam. Dan sejak itu, aku tutup semua jejak. Termasuk pernikahan itu. Kupikir aku bisa melupakannya.”

“Dan kamu pikir dengan menikahi aku semuanya akan beres?”

Dia menatapku, kali ini lebih dalam. “Awalnya, iya. Tapi kamu… Alia, kamu membuat semuanya jadi rumit. Kamu bukan seperti yang kubayangkan. Kamu bukan Nadira.”

Jantungku berdegup tak karuan.

“Nadira punya… sisi gelap. Kamu tidak.”

Aku melangkah mundur. “Jadi kamu melihat aku sebagai versi terang dari masa lalu gelapmu?”

Dia tak menjawab.

Aku menggenggam map itu erat-erat. “Kalau kamu memang jujur… kenapa tidak pernah cerita? Bahkan ketika semua ini dimulai?”

Dia diam.

“Reyhan… apa yang sebenarnya kamu sembunyikan?”

Dia akhirnya menatapku, matanya nyaris berair. “Alia… ada hal-hal yang bahkan aku sendiri belum siap hadapi.”

Aku berjalan keluar dari ruang kerja itu tanpa berkata apa-apa lagi. Map merah masih kugenggam erat, seakan menjadi satu-satunya hal nyata dalam hidupku pagi ini.

***

Malamnya, aku duduk di kamar sambil membuka ulang semua isi map. Setiap dokumen, setiap lembaran foto, setiap nama, setiap tanggal.

Dan di balik foto terakhir, kulihat sesuatu yang belum sempat kubaca tadi pagi. Catatan tulisan tangan.

"Jika kamu menemukan ini, berarti kamu mulai mengingat. Tapi belum semuanya. Masih ada satu kebenaran yang lebih besar. Dan itu... bisa membunuhmu."

Tanganku gemetar.

Aku tidak tahu siapa yang menulisnya.

Tapi yang jelas… aku belum tahu segalanya.

Dan waktu sepertinya hampir habis.

Tapi yang jelas… aku belum tahu segalanya.

Dan waktu sepertinya hampir habis.

Aku menatap kembali tulisan itu, mencoba mencari petunjuk. Tidak ada tanda tangan. Tidak ada tanggal. Hanya huruf-huruf yang ditulis dengan tekanan kuat, seolah penulisnya menahan emosi yang meledak-ledak.

Kertas itu menempel pada berkas-berkas tua—berkas tentang perusahaan Reyhan, catatan transaksi, nama-nama asing yang tak kukenal. Salah satunya membuat napasku tercekat: Raka Dirgantara.

Kenapa nama Raka ada di sini?

Tanganku reflek meraih berkas itu. Sebelum sempat kubuka, suara klik terdengar dari arah pintu.

Aku menoleh cepat.

Reyhan berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jas, matanya gelap menatapku.

“Sedang apa kamu di sini, Alia?”

Aku membeku. Map merah masih di tanganku. Catatan rahasia belum sempat kusimpan.

Dia mendekat perlahan. Setiap langkahnya terdengar berat.

Aku mencoba bersuara, tapi tenggorokanku tercekat.

Reyhan mengulurkan tangan. Bukan ke arahku. Tapi ke map itu.

“Aku akan menjelaskan... tapi tidak di sini.”

Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca wajahnya. Tapi ekspresinya terlalu tenang. Terlalu terkontrol.

Dia mengambil map itu dari tanganku, lalu membalikkan badan.

“Ayo ikut aku. Sekarang juga.”

“Ke mana?” tanyaku dengan suara pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI KONTRAK UNTUK TUNANGAN KAKAKKU   Bab 11 : Jejak yang tertinggal

    Aku membuka lemari itu perlahan. Bukan karena takut, tapi karena tanganku gemetar. Di dalamnya tak ada yang aneh—hanya tumpukan pakaian, beberapa kotak kecil, dan sebuah album foto tua yang ditutupi debu. Album itu seperti memanggilku. Aku mengangkatnya, lalu duduk di lantai, menyandarkan tubuhku ke sisi lemari. Kertas-kertas foto itu sudah menguning, menandakan usia mereka yang lebih dari satu dekade. Tanganku menyentuh satu per satu halaman, mencoba menafsirkan kisah di balik setiap senyum yang tertangkap lensa. Hingga aku sampai di halaman tengah. Di sana… ada foto Alya. Kakakku. Wajahnya tersenyum, dikelilingi orang-orang yang aku kenal—termasuk Reyhan. Tapi bukan itu yang membuatku terdiam. Di foto itu, Alya mengenakan gaun yang sangat mirip dengan gaun lamaran… yang kupakai beberapa minggu lalu. Aku menahan napas. Jantungku berdebar pelan namun pasti. Kupelototi keterangan kecil di bawah foto, ditulis tangan dengan tinta pudar: “Lamaran Alya & Reyhan – 18 Maret” Lamar

  • ISTRI KONTRAK UNTUK TUNANGAN KAKAKKU   Bab 10 – Petunjuk Baru Tentang Kakakku

    Pesta usai dengan cara yang tak terduga. Semua orang pulang dalam bisik-bisik. Skandal video itu menyisakan tatapan tajam dan ribuan pertanyaan. Dan di tengah semuanya, aku hanya bisa diam. Aku tahu Reyhan sedang mencoba mengendalikan situasi, tapi keheningannya justru membuat pikiranku semakin gaduh. Malam itu, kami tidak banyak bicara. Aku masuk kamar lebih dulu, memeluk diri sendiri di balik selimut meski udara tidak dingin. Tapi bukan tubuhku yang menggigil—melainkan pikiranku. Pesan dari nomor tak dikenal itu kembali terputar di kepala: “Dia sudah mulai membuka kartu. Tapi dia belum tahu… siapa yang sebenarnya kau gantikan.” Aku memejamkan mata. Tapi bayangan Alya—kakakku—justru datang semakin jelas. Tatapan matanya, senyum misteriusnya, dan cara dia dulu bicara padaku seperti sedang menyimpan banyak hal. Tengah malam, aku bangun. Entah kenapa, aku merasa butuh melihat kotak penyimpanan barang-barang lama Alya yang masih kusimpan sejak kepindahanku ke rumah ini. Kot

  • ISTRI KONTRAK UNTUK TUNANGAN KAKAKKU   bab 9. Sandiwara

    Dia menoleh sedikit. Senyum tipis tergurat di sudut bibirnya, tapi bukan senyum yang menenangkan. “Ke tempat semuanya dimulai. Dan berakhir.” Aku menelan ludah. Tanpa sadar, ponselku di saku bergetar pelan. Satu pesan masuk. Aku mengintip sekilas. Dari: Nomor Tidak Dikenal. "Jangan percaya Reyhan. Jika kamu ikut dengannya sekarang… kamu tidak akan kembali." Tanganku refleks meremas ponsel. Pesan itu masih terpampang di layar, membuat detak jantungku tak beraturan. Jangan percaya Reyhan. Jika kamu ikut dengannya sekarang… kamu tidak akan kembali. Siapa yang mengirim ini? Aku mengangkat kepala, menatap punggung Reyhan yang berjalan beberapa langkah di depan. Bahunya tegap, langkahnya mantap. Seolah tidak ada yang bisa menggoyahkan keyakinannya. Tapi pesan itu… menanam benih ketakutan dalam benakku. “Ayo,” katanya tanpa menoleh, suaranya tenang, tapi entah kenapa membuat bulu kudukku berdiri. Aku ingin bertanya. Ingin menuntut penjelasan. Tapi suara dalam kepalaku berb

  • ISTRI KONTRAK UNTUK TUNANGAN KAKAKKU   bab 8 : Map Merah Tua

    Keesokan paginya, aku pura-pura tidur ketika Reyhan berangkat lebih pagi. Begitu suara mobilnya menjauh dan ketenangan rumah menyelimuti, aku langsung bangkit dari tempat tidur. Jantungku berdetak cepat saat langkahku menuju ruang kerjanya. Kali ini, aku tahu persis apa yang kucari. Lemari tengah. Tumpukan dokumen. Dan… sebuah map berwarna merah tua yang nyaris tersembunyi di dasar laci. Tanganku gemetar saat menariknya keluar. Map itu tampak usang, ada bekas sidik jari yang samar di permukaannya. Aku membuka penutupnya dengan perlahan, seakan takut isinya akan meledak kapan saja. Beberapa lembar dokumen pertama hanyalah surat-surat properti… sampai akhirnya aku menemukan selembar foto lama. Mataku membelalak. Itu foto Reyhan. Lebih muda. Mengenakan jas hitam, berdiri di samping seorang perempuan—bukan aku, jelas bukan aku. Perempuan itu mengenakan gaun putih sederhana, dengan senyum yang tampak seperti menyimpan sesuatu. Ada nama di belakang foto itu, ditulis tangan: "R & N –

  • ISTRI KONTRAK UNTUK TUNANGAN KAKAKKU   Bab 7 : Kebenaran di Balik Foto itu

    Tapi siapa yang paling berbahaya? Aku belum tahu. Suara langkah Reyhan semakin dekat. Ketegangan di antara kami seolah mengental, menyesakkan dada. Raka tak mundur selangkah pun, bahkan menatap Reyhan dengan tatapan menantang, seolah tak takut pada sosok yang selama ini mendominasi segalanya. "Apa yang kau lakukan di sini?" suara Reyhan tajam, hampir seperti geraman. Raka tersenyum tipis. “Taman ini umum, bukan milikmu, Reyhan.” “Kalau begitu caramu menyapa istri orang di taman umum,” Reyhan bergerak lebih dekat, “aku sarankan kau pilih tempat lain untuk bernostalgia.” Aku menggigit bibir. Kata “istri” terdengar seperti penegasan yang disengaja, seolah ia ingin memastikan posisi dan kekuasaannya. Tapi entah mengapa, nada suaranya tak terdengar hanya soal status. Ada sesuatu yang lain. Luka? Cemburu? “Aku hanya ingin bicara dengan Alia,” jawab Raka pelan tapi jelas. “Itu salah?” "Ya, jika kau menyentuh masa lalunya yang ingin dia kubantu lupakan." Aku terkejut mendeng

  • ISTRI KONTRAK UNTUK TUNANGAN KAKAKKU   Bab 6 : Luka Lama Yang Belum Sembuh

    " Pertemuan yang seharusnya tak terjadi, membawa kembali semua luka yang seharusnya telah mati." Aku tak pernah menyangka bahwa hanya dengan satu tatapan… semuanya akan runtuh. Keseimbangan rapuh antara aku dan Reyhan. Ketenangan palsu yang selama ini kupelihara. Dan… rasa yang selama ini berusaha kulenyapkan dari hatiku. Hari itu, aku datang ke galeri seni atas undangan ibu Reyhan. Sebuah acara sosial untuk menggalang dana, katanya. Tapi aku tahu, ini lebih kepada “ajang pamer” keluarga mereka. Membuktikan bahwa menantu baru keluarga Dirgantara bisa tampil dengan anggun di tengah keramaian. Aku sudah mengenakan gaun panjang berwarna gading, rambut disanggul rapi, dan senyum palsu yang kuasah semalaman di depan cermin. Reyhan menggandeng tanganku erat. Seolah kami pasangan yang serasi. Padahal aku masih mengingat dinginnya sikapnya semalam. Ketika dia pulang larut, tidak bicara sepatah kata pun, dan langsung masuk ke kamar sebelah. Rumah itu makin terasa seperti museum—penuh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status