> “Aku hanya pengganti. Tapi kenapa hatiku tak bisa berdusta?” Amara tidak pernah membayangkan akan berdiri di pelaminan menggantikan kakaknya sendiri. Saat sang kakak kabur sebelum ijab kabul, keluarganya memaksa Amara untuk menyelamatkan nama baik mereka. Dan pria yang kini menjadi suaminya bukan orang asing—Reyhan Adinata, mantan tunangan sang kakak. Dingin, penuh luka, dan menyimpan dendam. Pernikahan ini hanya kontrak. Satu tahun. Tanpa cinta, tanpa perasaan. Tapi ketika masa lalu perlahan terkuak dan sang kakak tiba-tiba kembali, semuanya berubah. Reyhan menyimpan rahasia. Alia menyimpan luka. Dan Amara… terjebak di antara dua hati dan satu pernikahan yang tak pernah ia pilih. Apa jadinya jika cinta hadir di antara dusta dan dendam? Dan bagaimana jika satu-satunya jalan keluar… adalah terperangkap selamanya?
View MoreLangkah kaki itu berhenti. Di atas sana, entah siapa yang sedang berdiri di ujung tangga. Aku tak bisa melihatnya jelas dari bawah. Tapi suara langkahnya… pelan, berat, seperti ragu. Tapi cukup keras untuk terdengar di malam yang nyaris senyap ini. Aku dan Reyhan saling pandang. “Siapa di atas?” tanyaku pelan. Reyhan langsung melangkah ke arah tangga, tapi aku menahan lengannya. “Jangan. Kalau itu… sesuatu yang kita belum siap hadapi…” “Kalau kita terus diam, justru bahayanya makin besar,” katanya tenang, tapi aku tahu dia juga tegang. Matanya menatap tajam ke atas, lalu dengan pelan, ia mulai menaiki anak tangga satu per satu. Aku mengikuti di belakangnya. Setiap kayu di bawah kaki kami berderit. Rumah ini sudah lama, dan setiap sudutnya seperti menyimpan rahasia yang sengaja dikunci rapat. Sampai akhirnya kami tiba di lantai atas. Tidak ada siapa-siapa. Lorong itu gelap. Hanya ada satu cahaya redup dari lampu kamar tamu yang dibiarkan menyala. Pintu-pintunya tertutup semu
Pagi itu, aku dan Reyhan berjalan menyusuri sisi belakang rumah tua yang sudah lama tak dihuni. Tanahnya becek, dipenuhi ranting dan daun gugur. Tapi yang membuatku berhenti melangkah adalah jejak sepatu yang belum lama tercetak di tanah. “Ini bukan jejak kita,” gumamku pelan, sambil jongkok dan menyentuh bekas tapaknya. “Masih baru.” Reyhan ikut menunduk, wajahnya berubah serius. “Ada yang datang sebelum kita…” Kami saling pandang. Tidak ada yang bicara, tapi pikiran kami sama: kami diawasi. Tak jauh dari situ, di balik pagar kayu yang hampir roboh, aku menemukan sisa bungkus permen dan puntung rokok. Masih hangat saat disentuh. “Reyhan… kayaknya kita gak sendirian dari tadi,” kataku sambil melirik ke arah jendela dapur rumah tua itu. “Apa mungkin… ada yang ngikutin kita?” Reyhan mengangguk, rahangnya mengeras. “Aku curiga udah dari kemarin. Tapi ini bukti pertama.” Aku menggenggam lengannya. “Kalau gitu… sekarang kita harus cari tahu siapa.” Kami masuk kembali ke rumah, men
Pagi itu aku duduk di meja makan sendirian. Teh di cangkirku sudah dingin, tapi belum juga kusentuh. Pikiran masih berputar pada kalimat Reyhan semalam. “Orang yang nggak boleh tahu kalau kalian berdua masih hidup…” Siapa yang dia maksud? Dan kenapa harus disembunyikan? Langkah kaki Reyhan terdengar dari arah dapur. Dia datang dengan wajah lelah, matanya sembab seperti baru begadang semalaman. “Alia,” ucapnya sambil duduk di seberangku. “Hari ini kita harus ke rumah lama Nadira.” Aku mengerutkan dahi. “Kenapa?” “Aku nemu sesuatu tadi malam. Dari Alya. Aku rasa… udah saatnya kamu tahu semua.” Aku terdiam. Banyak hal yang ingin kutanya, tapi aku tahan. Aku tahu, kalau aku desak, Reyhan bisa saja kembali menutup diri. “Rumahnya di mana?” tanyaku akhirnya. “Di pinggiran kota. Dulu mereka tinggal bareng di sana sebelum… semua ini mulai kacau.” *** Rumah itu sepi dan tua. Lokasinya agak tersembunyi, dikelilingi semak dan pohon yang sudah tak terurus. Reyhan berhenti di depan pag
Suara langkah kaki itu—lembut, pelan, tapi pasti—membuat napasku tercekat. Dada ini sesak oleh ketegangan yang tak bisa kujelaskan. Aku belum siap. Tapi kapan aku pernah benar-benar siap menghadapi kenyataan? Pintu dapur terbuka perlahan. Dan di sana… Seorang perempuan berdiri. Rambut panjangnya tergerai kusut, wajahnya pucat namun cantik. Tatapannya seperti milikku—lelah, penuh tanya, tapi tetap berdiri dengan kepala tegak. Alya. Tubuhku seperti membeku. Kakakku… tunangan Reyhan yang dulu dikabarkan kabur di hari pertunangan. Dia, yang selama ini menjadi bayang-bayang gelap dalam pernikahanku yang aneh ini. “Kau…” suaraku tercekat. Alya menatapku. Lama. Seolah ingin memastikan aku nyata. “Kau mirip Ibu,” katanya pelan. Lalu bibirnya melengkung, bukan senyum, lebih seperti perih yang dipaksakan menjadi ramah. “Tapi kau juga mirip aku.” Reyhan berdiri di tengah kami. Terjebak di antara dua kenyataan yang tak bisa ia hindari. “Alya, ini bukan—” “Bukan waktunya?” potongku cepa
Pertanyaan itu menusuk pikiranku seperti jarum-jarum kecil yang menembus pelan tapi pasti. Semakin aku memejamkan mata, semakin jelas wajah Alya berputar-putar di benakku. Senyumannya. Tatapan matanya. Cara ia bicara—lembut, namun tegas. Kakakku yang sempurna. Kakakku… yang kini menjadi teka-teki hidupku sendiri. Reyhan belum tidur. Aku bisa mendengar langkah kakinya mondar-mandir di ruang kerja, sesekali terdengar suara gelas diletakkan, atau pintu lemari terbuka dan tertutup. Ia bilang besok akan menjelaskan semuanya. Tentang Nadira. Tentang Alya. Tentang pernikahan yang gagal dan tentang masa lalu yang selalu mengendap di antara kami. Tapi aku mulai sadar… mungkin aku tak bisa hanya duduk dan menunggu penjelasan orang lain. Ada sesuatu dalam diriku yang mulai mendorong untuk mencari tahu sendiri. Bukan sebagai Alia si adik yang penurut, tapi sebagai seseorang yang selama ini dijadikan pion dalam permainan yang bahkan tidak kupahami aturannya. Besok, Reyhan akan membawaku ke t
"Alya menghubungimu?" tanyaku lirih, mataku terpaku pada layar ponsel Reyhan yang masih menampilkan nama itu—nama yang terus menghantuiku sejak hari pertama aku menginjak rumah ini. Reyhan tidak langsung menjawab. Ia menatapku sejenak, seolah menimbang apakah sudah waktunya aku tahu. Lalu ia mengangguk pelan. “Iya. Dan itu bukan pertama kalinya.” Aku tercekat. “Maksudmu… dia pernah menghubungimu sebelumnya?” Reyhan menurunkan ponselnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bersandar di dinding, wajahnya penuh ketegangan. “Alya tidak benar-benar kabur, Alia. Dia… memilih pergi. Dan selama ini, dia memang menghindari semua orang—termasuk aku. Tapi beberapa minggu terakhir, dia mulai mengirim pesan.” Kakiku terasa lemas. Aku menjatuhkan diri di sofa, mencoba mencerna semuanya. “Kenapa kau tidak bilang sejak awal?” Pertanyaan itu menusuk pikiranku seperti jarum-jarum kecil yang menembus pelan tapi pasti. Semakin aku memejamkan mata, semakin jelas wajah Alya berputar-p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments