Tapi siapa yang paling berbahaya?
Aku belum tahu. Suara langkah Reyhan semakin dekat. Ketegangan di antara kami seolah mengental, menyesakkan dada. Raka tak mundur selangkah pun, bahkan menatap Reyhan dengan tatapan menantang, seolah tak takut pada sosok yang selama ini mendominasi segalanya. "Apa yang kau lakukan di sini?" suara Reyhan tajam, hampir seperti geraman. Raka tersenyum tipis. “Taman ini umum, bukan milikmu, Reyhan.” “Kalau begitu caramu menyapa istri orang di taman umum,” Reyhan bergerak lebih dekat, “aku sarankan kau pilih tempat lain untuk bernostalgia.” Aku menggigit bibir. Kata “istri” terdengar seperti penegasan yang disengaja, seolah ia ingin memastikan posisi dan kekuasaannya. Tapi entah mengapa, nada suaranya tak terdengar hanya soal status. Ada sesuatu yang lain. Luka? Cemburu? “Aku hanya ingin bicara dengan Alia,” jawab Raka pelan tapi jelas. “Itu salah?” "Ya, jika kau menyentuh masa lalunya yang ingin dia kubantu lupakan." Aku terkejut mendengarnya. Reyhan belum pernah berkata seperti itu padaku. Bahkan, di antara kontrak dan dinginnya interaksi kami, dia tidak pernah terdengar... melindungi. Raka tertawa kecil, tidak mempercayai ucapannya. “Kau pikir dia bisa melupakan begitu saja luka yang kalian semua beri?” Reyhan bergerak maju dengan cepat. Aku buru-buru berdiri dan merentangkan tangan di antara mereka. “Berhenti! Tolong, jangan di sini…” Mata Reyhan bertemu dengan mataku. Untuk sesaat, aku melihat keteguhan yang lain. Tapi dalam sekejap dia berbalik, lalu tanpa berkata sepatah kata pun, meninggalkan taman itu. Raka menatapku. “Kau baik-baik saja?” Aku mengangguk perlahan, meski tubuhku terasa lemas. “Aku harus pulang.” Tanpa menunggu jawaban, aku pergi menyusul Reyhan. Tapi dia tak ada di mana-mana. Mobilnya sudah tidak di tempat parkir, membuatku harus pulang dengan taksi. Sesampainya di rumah, aku disambut sunyi. Tapi suasana rumah tak seperti biasanya. Hampa, dingin, seperti ada yang sedang dipendam. Saat aku masuk ke kamar, kudapati sebuah amplop cokelat besar di atas meja. Tidak ada nama, tidak ada tulisan. Hanya amplop yang tertutup rapat. Jantungku berdetak lebih cepat. Kugenggam amplop itu dan membukanya dengan tangan bergetar. Isinya—foto. Satu lembar foto lama. Warnanya pudar, tapi aku bisa mengenali wajah-wajah di dalamnya. Itu aku. Dan… Alya. Aku nyaris menjatuhkan foto itu ketika menyadari sosok di latar belakang. Seseorang berdiri di balik semak, wajahnya setengah tertutup bayangan. Tapi… aku tahu wajah itu. Itu Reyhan. Tidak seperti dirinya yang sekarang. Wajahnya lebih muda. Tapi tatapan dinginnya… tidak berubah. Apa maksudnya dia ada di foto lama bersamaku dan Alya? Tahun itu... kami belum saling kenal. Tidak seharusnya dia ada di sana. Di balik foto, ada tulisan tangan. Tempat yang sama. Rahasia yang sama. Tanganku gemetar. Aku memandang ke luar jendela, merasakan ketakutan merayap pelan di punggungku. Siapa yang menaruh foto ini? Dan kenapa? Di saat itu, pintu kamar diketuk keras. Tiga kali. Suaranya berat. Terlalu berat untuk suara ibu kos, terlalu kuat untuk sekadar sapaan biasa. Aku menggenggam foto itu erat dan berjalan pelan ke arah pintu. “Siapa di luar?” Tidak ada jawaban. Aku ulangi pertanyaanku, kali ini lebih keras. Masih hening. Lalu suara itu datang. Pelan. Serak. Sangat dekat. “Sudah saatnya kamu tahu, Alia… kamu bukan satu-satunya yang bertukar tempat.” Tubuhku membeku. Suara itu… tak mungkin berasal dari Reyhan. Tapi siapa? Aku menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa di belakangku. Hanya ruang kerja yang kosong, cahaya lampu meja yang temaram, dan suara detak jantungku yang menggila di telingaku sendiri. “Aku… bukan satu-satunya?” bisikku, seolah bertanya pada udara. Dengan tangan bergetar, aku meraih foto tua yang sejak tadi kugenggam. Foto itu kutemukan di salah satu laci tersembunyi di lemari ruang kerja Reyhan, terlipat rapi di antara tumpukan dokumen perusahaan. Dalam foto itu, tampak dua gadis kecil sedang duduk berdampingan di ayunan. Yang satu jelas aku—atau mungkin Alya. Tapi yang satu lagi… wajahnya mirip, tapi bukan aku. Di balik foto itu, ada tulisan tangan yang pudar: "Jika kau menemukan ini, berarti rahasia kita sudah tak bisa disembunyikan lagi. Maafkan aku… A." Aku menahan napas. A? Alya? Kenapa kakakku menulis pesan di balik foto ini? Dan siapa anak perempuan satunya? Kenapa wajah kami nyaris identik? Tiba-tiba pintu ruang kerja terbuka perlahan. Aku sontak menyembunyikan foto itu ke balik saku celanaku. Reyhan muncul di ambang pintu. Tatapannya tajam, seolah tahu aku baru saja menyentuh sesuatu yang tak seharusnya. "Kamu belum tidur?" tanyanya datar. "Aku... cuma butuh udara segar." Jawabanku terbata. Aku berdiri, berusaha bersikap normal. "Di ruang kerjaku?" bibirnya menekuk samar. Aku memaksakan senyum. “Aku nyasar.” Dia tidak tertawa. Matanya menelisik. Lama. Seolah membaca pikiranku. “Apa kamu membuka lemari tengah?” Aku menelan ludah. “Kenapa?” “Ada dokumen penting di sana,” katanya, nadanya setengah peringatan. Aku menggeleng. “Aku cuma duduk sebentar. Nggak sengaja ketiduran.” Reyhan mendekat. Nafasnya hangat menyentuh wajahku. “Kalau kau menemukan sesuatu yang tidak kau mengerti, tanyakan padaku. Jangan mencarinya sendiri.” Aku menunduk. “Seperti apa? Foto masa kecilmu dengan orang asing?” Ia terdiam. Sekilas saja. Tapi cukup untuk memberiku jawaban. “Aku akan ke kamar dulu,” ujarku cepat dan melangkah keluar sebelum dia bisa menahanku lebih lama. *** Di kamar, aku duduk sambil memandangi foto itu lagi. Siapa sebenarnya gadis satunya? Kenapa wajah kami nyaris identik? Rasa penasaran menuntunku membuka kembali kotak-kotak lama yang kubawa dari rumah Ibu. Di antara tumpukan buku harian kecil yang dulu sering kutulis, aku menemukan sesuatu yang membuat napasku tercekat. Sebuah kartu pos. Lusuh, nyaris sobek. Dikirim dari alamat yang tak pernah kukenal, dengan cap pos bertahun-tahun lalu. Tulisan tangan di dalamnya membuat darahku berdesir: “Alia... jika kamu membaca ini, mungkin aku sudah tidak bisa kembali. Tapi percayalah, aku melakukan ini demi kamu.” Alya. Tanganku gemetar. Kartu pos ini… ditulis kakakku? Tapi aku tak pernah menerima ini. Siapa yang menyimpannya di antara barang-barangku? Apa maksudnya “tidak bisa kembali”? Dan kenapa aku merasa seperti sedang berjalan dalam labirin kebenaran yang dijaga rapi oleh semua orang?Langkah kaki itu berhenti. Di atas sana, entah siapa yang sedang berdiri di ujung tangga. Aku tak bisa melihatnya jelas dari bawah. Tapi suara langkahnya… pelan, berat, seperti ragu. Tapi cukup keras untuk terdengar di malam yang nyaris senyap ini. Aku dan Reyhan saling pandang. “Siapa di atas?” tanyaku pelan. Reyhan langsung melangkah ke arah tangga, tapi aku menahan lengannya. “Jangan. Kalau itu… sesuatu yang kita belum siap hadapi…” “Kalau kita terus diam, justru bahayanya makin besar,” katanya tenang, tapi aku tahu dia juga tegang. Matanya menatap tajam ke atas, lalu dengan pelan, ia mulai menaiki anak tangga satu per satu. Aku mengikuti di belakangnya. Setiap kayu di bawah kaki kami berderit. Rumah ini sudah lama, dan setiap sudutnya seperti menyimpan rahasia yang sengaja dikunci rapat. Sampai akhirnya kami tiba di lantai atas. Tidak ada siapa-siapa. Lorong itu gelap. Hanya ada satu cahaya redup dari lampu kamar tamu yang dibiarkan menyala. Pintu-pintunya tertutup semu
Pagi itu, aku dan Reyhan berjalan menyusuri sisi belakang rumah tua yang sudah lama tak dihuni. Tanahnya becek, dipenuhi ranting dan daun gugur. Tapi yang membuatku berhenti melangkah adalah jejak sepatu yang belum lama tercetak di tanah. “Ini bukan jejak kita,” gumamku pelan, sambil jongkok dan menyentuh bekas tapaknya. “Masih baru.” Reyhan ikut menunduk, wajahnya berubah serius. “Ada yang datang sebelum kita…” Kami saling pandang. Tidak ada yang bicara, tapi pikiran kami sama: kami diawasi. Tak jauh dari situ, di balik pagar kayu yang hampir roboh, aku menemukan sisa bungkus permen dan puntung rokok. Masih hangat saat disentuh. “Reyhan… kayaknya kita gak sendirian dari tadi,” kataku sambil melirik ke arah jendela dapur rumah tua itu. “Apa mungkin… ada yang ngikutin kita?” Reyhan mengangguk, rahangnya mengeras. “Aku curiga udah dari kemarin. Tapi ini bukti pertama.” Aku menggenggam lengannya. “Kalau gitu… sekarang kita harus cari tahu siapa.” Kami masuk kembali ke rumah, men
Pagi itu aku duduk di meja makan sendirian. Teh di cangkirku sudah dingin, tapi belum juga kusentuh. Pikiran masih berputar pada kalimat Reyhan semalam. “Orang yang nggak boleh tahu kalau kalian berdua masih hidup…” Siapa yang dia maksud? Dan kenapa harus disembunyikan? Langkah kaki Reyhan terdengar dari arah dapur. Dia datang dengan wajah lelah, matanya sembab seperti baru begadang semalaman. “Alia,” ucapnya sambil duduk di seberangku. “Hari ini kita harus ke rumah lama Nadira.” Aku mengerutkan dahi. “Kenapa?” “Aku nemu sesuatu tadi malam. Dari Alya. Aku rasa… udah saatnya kamu tahu semua.” Aku terdiam. Banyak hal yang ingin kutanya, tapi aku tahan. Aku tahu, kalau aku desak, Reyhan bisa saja kembali menutup diri. “Rumahnya di mana?” tanyaku akhirnya. “Di pinggiran kota. Dulu mereka tinggal bareng di sana sebelum… semua ini mulai kacau.” *** Rumah itu sepi dan tua. Lokasinya agak tersembunyi, dikelilingi semak dan pohon yang sudah tak terurus. Reyhan berhenti di depan pag
Suara langkah kaki itu—lembut, pelan, tapi pasti—membuat napasku tercekat. Dada ini sesak oleh ketegangan yang tak bisa kujelaskan. Aku belum siap. Tapi kapan aku pernah benar-benar siap menghadapi kenyataan? Pintu dapur terbuka perlahan. Dan di sana… Seorang perempuan berdiri. Rambut panjangnya tergerai kusut, wajahnya pucat namun cantik. Tatapannya seperti milikku—lelah, penuh tanya, tapi tetap berdiri dengan kepala tegak. Alya. Tubuhku seperti membeku. Kakakku… tunangan Reyhan yang dulu dikabarkan kabur di hari pertunangan. Dia, yang selama ini menjadi bayang-bayang gelap dalam pernikahanku yang aneh ini. “Kau…” suaraku tercekat. Alya menatapku. Lama. Seolah ingin memastikan aku nyata. “Kau mirip Ibu,” katanya pelan. Lalu bibirnya melengkung, bukan senyum, lebih seperti perih yang dipaksakan menjadi ramah. “Tapi kau juga mirip aku.” Reyhan berdiri di tengah kami. Terjebak di antara dua kenyataan yang tak bisa ia hindari. “Alya, ini bukan—” “Bukan waktunya?” potongku cepa
Pertanyaan itu menusuk pikiranku seperti jarum-jarum kecil yang menembus pelan tapi pasti. Semakin aku memejamkan mata, semakin jelas wajah Alya berputar-putar di benakku. Senyumannya. Tatapan matanya. Cara ia bicara—lembut, namun tegas. Kakakku yang sempurna. Kakakku… yang kini menjadi teka-teki hidupku sendiri. Reyhan belum tidur. Aku bisa mendengar langkah kakinya mondar-mandir di ruang kerja, sesekali terdengar suara gelas diletakkan, atau pintu lemari terbuka dan tertutup. Ia bilang besok akan menjelaskan semuanya. Tentang Nadira. Tentang Alya. Tentang pernikahan yang gagal dan tentang masa lalu yang selalu mengendap di antara kami. Tapi aku mulai sadar… mungkin aku tak bisa hanya duduk dan menunggu penjelasan orang lain. Ada sesuatu dalam diriku yang mulai mendorong untuk mencari tahu sendiri. Bukan sebagai Alia si adik yang penurut, tapi sebagai seseorang yang selama ini dijadikan pion dalam permainan yang bahkan tidak kupahami aturannya. Besok, Reyhan akan membawaku ke t
"Alya menghubungimu?" tanyaku lirih, mataku terpaku pada layar ponsel Reyhan yang masih menampilkan nama itu—nama yang terus menghantuiku sejak hari pertama aku menginjak rumah ini. Reyhan tidak langsung menjawab. Ia menatapku sejenak, seolah menimbang apakah sudah waktunya aku tahu. Lalu ia mengangguk pelan. “Iya. Dan itu bukan pertama kalinya.” Aku tercekat. “Maksudmu… dia pernah menghubungimu sebelumnya?” Reyhan menurunkan ponselnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bersandar di dinding, wajahnya penuh ketegangan. “Alya tidak benar-benar kabur, Alia. Dia… memilih pergi. Dan selama ini, dia memang menghindari semua orang—termasuk aku. Tapi beberapa minggu terakhir, dia mulai mengirim pesan.” Kakiku terasa lemas. Aku menjatuhkan diri di sofa, mencoba mencerna semuanya. “Kenapa kau tidak bilang sejak awal?” Pertanyaan itu menusuk pikiranku seperti jarum-jarum kecil yang menembus pelan tapi pasti. Semakin aku memejamkan mata, semakin jelas wajah Alya berputar-p