Share

4. Malam Pertama

""Ma-af Mas, aku ...."

Tanpa sadar aku menggeleng ragu. Aku terlalu takut untuk melakukan apa yang Mas Bara kehendaki.

"Kamu menolakku?" tanya Mas Bara yang langsung membuatku terkesiap dan mulai menatapnya gamang.

Tatapan Mas Bara masih saja terarah lugas padaku yang membuatku semakin rikuh. Nyatanya Mas Bara sekarang malah tertawa singkat sembari tidak melepas tatapan intensnya pada tubuhku. Sekarang bahkan pria itu sudah beringsut semakin mendekat. Gelisahku kian terunggah nyata ketika akhirnya Mas Bara kembali membelai wajahku seperti yang tadi sudah dia lakukan.

Aku terlalu malu hingga memilih menunduk. Tapi lagi-lagi Mas Bara menahanku kembali mengangkat wajahku dengan meraih daguku untuk ia gerakkan ke atas. "Jangan pernah menundukkan wajahmu lagi."

Mas Bara berbisik begitu dekat kala aku sudah mendongakkan muka. Tatapan Mas Bara intens memindai, membuat degup jantungku semakin sulit dikendalikan. "M-maaf, Mas."

"Berhenti juga meminta maaf, Rindu." Suara pria itu mulai terdengar parau di sela karakternya yang maskulin. "Apa kamu tak pernah menyadari kalau kamu itu cantik? Harusnya kamu bangga dan menampakkan kecantikanmu."

Aku terpekur diam kian terseret gelisah saat pria yang baru saja sah menjadi suamiku itu semakin mendekatkan wajahnya hingga kening kami sekarang mulai saling menempel. Selanjutnya Mas Bara malah membelai rambutku dan meraihnya beberapa helai untuk ia hirup begitu dalam.

"Kamu bukan hanya cantik tapi juga memiliki aroma yang begitu memabukkan."

Aku kian jatuh dalam resah. Bahkan kedekatan yang seperti ini sudah membuat dadaku sesak. Aku menjadi gelisah bahkan terlalu takut untuk menarik napas lebih dalam, sesuatu yang sebenarnya saat ini begitu aku butuhkan.

"Aku sudah tidak dapat menahannya lagi,Rindu. Sejak awal, kamu sudah membuatku gila."

Aku mengernyit gusar ketika suamiku mulai mengeluarkan kata- katanya yang tak bisa aku pahami dengan lugas. Kenapa Mas Bara malah mengatakan kalau aku sudah membuatnya gila sejak lama? Bukannya selama ini kami nyaris tak pernah saling berbicara?

Aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Aku tahu sosoknya saja karena dia memang sangat terkenal di desa kami. Bukan hanya karena pekerjaannya yang seorang mandor dari proyek penting di desa kami, tapi juga karena ketampanannya yang sebetulnya tak pernah berani aku perhatikan dengan lebih teliti.

Ketika tangan Mas Bara mulai bergerak untuk menarik gamis yang aku pakai, aku mulai beringsut menjauh. Aku mulai meletakkan tanganku yang tidak sakit di depan dada, meski pakaianku masih utuh belum terbuka sama sekali. Mas Bara sudah mulai terlihat sedikit kehilangan kesabaran.

"Tenanglah, Rindu. Aku janji, ini adalah pembelajaran penting untukmu."

Mas Bara berkata kian seduktif. Semakin membuatku gelisah. Sampai akhirnya, Mas Bara malah membelai rambutku lagi hingga kemudian menelusupkan tangan hingga menyentuh tengkuk.

Untuk sesaat aku menjadi terlena hingga tanpa sadar suamiku yang selalu terlihat dominan itu mulai membuka resetling bajuku hingga gamis yang aku pakai mulai terasa melorot. Aku tak bisa dengan jelas merasakannya karena kemudian Mas Bara kembali melumat bibirku dengan begitu kuat, menyesap dan menguasai meski kelembutannya tetap ia sisipkan ditengah gejolak gairah yang sudah begitu membuncah.

Ketika akhirnya Mas Bara mulai membawaku ke atas ranjang, aku baru menyadari kalau gamis yang aku pakai telah sepenuhnya terlucuti, bersamaan dengan tubuh suamiku yang sudah sepenuhnya polos.

Aku semakin gelisah, terlebih ketika tangan Mas Bara mulai membuka pengait pakaian dalamku. Sebelum aku sempat mencegahnya Mas Bara sudah berhasil meloloskan penutup tubuhku itu. Rasa malu segera menjalar, membuatku aku memalingkan wajah meski kemudian suamiku menampakkan kilat kekaguman.

"Ini cantik sekali," desah Mas Bara dengan nafas memburu.

Kulirik tatapan mata suamiku yang terus terpaku pada dadaku. Rasa canggung yang disertai malu yang begitu tinggi karena tatapan memuja Mas Bara, membuatku menggerakkan tangan untuk menutupi dadaku yang terumbar lugas.

Namun, dengan segera pula, Mas Bara langsung menyingkirkan tanganku. "Jangan kamu tutupi, aku suamimu dan aku berhak melihatnya." Aku kian tercekat dalam gelisah. "Bukan hanya melihatnya, tapi juga menyentuhnya."

Aku langsung menggigit bibir menahan jeritan sedemikian rupa saat tangan Mas Bara mulai menyentuh bagian tubuhku yang selama ini selalu terjaga. Bahkan kemudian Mas Bara mulai melakukan sesuatu yang lebih.

Tak ada yang bisa aku lakukan selain menggelinjang gelisah, dengan nafas yang semakin tak beraturan.

Untuk pertama kalinya, tubuhku merasakan sensasi yang tak terkatakan. Semua ini terlalu mendebarkan, bahkan ketika Mas Bara mulai menyatukan diri ke dalam tubuhku.

Aku sempat ingin memekik, tapi tanganku langsung menutup mulutku sendiri. Awalnya aku merasakan koyakan yang begitu lugas di dalam diriku, menerbitkan rasa perih. Tapi anehnya setelah aku merasa nyaman dengan keberadaan Mas Bara di dalamku, yang kurasakan adalah derai kesenangan yang membuai di tengah rasa asing yang baru pertama kali kugapai.

Mas Bara terus memacu gelora dirinya yang menggelegak hingga menghantar aku dalam klimaks yang membuatku kemudian tak berdaya. Namun nyatanya suamiku lebih lama bertahan, terus menjelajah setiap detail diriku dengan sentuhan dan hentakannya yang menggetarkan. Ketika akhirnya Mas Bara sampai dalam puncak hasratnya, ia pun limbung di sampingku meski tangannya tetap memeluk tubuhku.

Sejenak aku terdiam ketika segalanya telah usai. Rasanya semua ini begitu luar biasa. Bahkan aku tak tahu apa yang harus aku katakan. Tubuh kami yang masih dipenuhi peluh keringat saling bertaut dengan napas memburu. Untuk beberapa saat kami kemudian malah saling memandang. Aku tetap saja termangu meski tangan suamiku lalu mulai membelai wajahku. Hingga akhirnya senyumannya terbit setelah dia menatapku penuh arti.

"Apa kamu masih sanggup kalau kita mengulanginya sekali lagi?"

**

"Aw--"

Menjelang subuh saat aku bangun, sekujur tubuhku terasa nyeri. Sampai kemudian aku mulai menyadari keadaanku yang masih polos dan semalaman tertidur dalam rengkuhan hangat pria asing yang sekarang malah sudah menjadi suamiku itu.

“Kamu mau ke mana?”

Suara parau Mas Bara sedikit mengagetkan aku ketika aku mulai bergerak berniat untuk bangkit dari ranjang sembari dengan susah payah menutupi sekujur tubuhku yang sekarang baru aku sadari dipenuhi jejak kemerahan.

Sarung yang membelit tubuhku kian kuat aku ikat, terlebih saat melihat Mas Bara mulai mengangkat punggungnya dan menyandarkan diri pada dinding kamar yang terbuat dari papan.

“Sebentar lagi subuh Mas, kita harus segera mandi dan Mas harus ke masjid untuk sholat subuh berjamaah.”

Mas Bara terdiam sejenak, meski aku tahu sekarang dia sedang menelisikku dengan tatapannya yang lekat, tapi aku sama sekali tak memiliki keberanian untuk menoleh ke belakang demi sekedar bisa memastikannya.

Saat aku bergerak dan berniat untuk berdiri, Mas Bara malah segera menahanku.

“Tunggu Rindu, mendekatlah dulu padaku.”

Aku bergeming. Kemudian Mas Bara malah mendekatiku dengan tak sabar.

“Mas, jangan ....“ pintaku resah ketika Mas Bara kembali meraih tubuhku untuk dibawa ke dalam dekapannya.

“Maaf, jika semalam aku membuatmu kesakitan." Bisa kurasakan, pipiku memanas. Adegan lembut nan panas semalam berputar secara otomatis di benakku. "Terima kasih juga karena sudah memberikan hadiah yang begitu indah."

Setelah memberikan kecupan lembut pada keningku, sebuah sentuhan yang selalu membuatku gemetaran, Mas Bara kemudian melepaskan dekapannya. Dia memakai celananya terlebih dahulu lalu melangkah untuk membuka kopernya dan mengeluarkan sebungkus obat yang kemudian diserahkan padaku.

“Minumlah dulu obat ini.”

“Obat apa ini Mas?”

"Aku tidak mungkin meracuni istriku sendiri, Rindu." Wajah tenang Mas Bara langsung berubah tegas ketika aku bertanya padanya. "Minumlah." perintahnya lugas sembari menyerahkan segelas air yang semalam aku siapkan untuknya. Aku segera melakukan apa yang dia minta, meminum obat itu tanpa banyak bertanya.

Setelah aku selesai mandi, aku kembali ke dalam kamar, dan malah mendapati Mas Bara sedang mengganti sprei yang sebelumnya memang sudah berantakan karena apa yang sudah kami lakukan semalam.

Aku segera mengambil alih pekerjaannya, tapi Mas Bara melarangku mendekat dengan gerakan tangannya.

“Harus aku sendiri yang membersihkan noda keperawanan kamu, karena ini begitu istimewa."

Setelah itu Mas Bara melangkah keluar dari kamar dengan membawa sprei itu. Aku segera mengejar.

Tapi sebelum kami sampai di belakang,mendadak Mas Rahmat dan Mbak Murni, kakak pertamaku, memergoki kami. Tanpa kami menjelaskan apapun, mereka segera mengerti apa yang terjadi. Apalagi saat ini rambutku sedang tergerai dan basah.

“Kenapa kamu membiarkan suami kamu membersihkan sprei yang terkena noda keperawanan kamu, Rindu?”

Suara keras Mbak Murni sedikit membuatku risih, meski aku tahu ia berniat baik di balik suara kerasnya itu. Mbak Murni seakan ingin menegaskan tentang anggapan semua orang yang salah padaku, bahwa aku masih seorang wanita yang terjaga kesuciannya.

Setelah semua drama pencucian sprei yang membuatku salah tingkah, akhirnya kami kembali melakukan kegiatan masing-masing.

Ketika Mas Bara masih berada di masjid untuk menjalankan sholat subuh, aku yang sekarang kembali ke kamar mendadak dikagetkan dengan suara musik dari benda pipih yang baru aku sadari tergeletak di atas nakas.

Aku tahu itu adalah ponsel, milik Mas Bara.

Benda itu terus berdering, memancing rasa ingin tahuku. Keningku berkerut ketika aku melirik ke arah layar ponsel dan mendapati sebuah nama wanita tertera di sana.

'Lina? Siapa itu Lina?'

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status