'Lina? Siapa itu Lina?'
Hatiku menjadi bertanya-tanya. Dengan memendam rasa ingin tahu, tanganku mulai bergerak hendak menjangkau benda yang kembali berdering itu. Namun sebelum aku bisa meraih ponsel itu, mendadak Mas Bara datang dan segera menyambar ponsel tersebut begitu saja. Aku hanya bisa termangu memandang punggung lebarnya yang langsung menjauh sembari membawa ponsel itu.Setelah beberapa lama, akhirnya Mas Bara kembali lagi ke dalam kamar dengan membawa senyumnya. Seketika aku menyergapnya dengan tatapan ingin tahu."Telepon dari siapa Mas?""Bukan siapa-siapa," jawabnya datar.Aku memilih untuk tak terlalu banyak bertanya, terlebih sekarang suamiku tampak sibuk mencari sesuatu di dalam kopernya. Aku tak memiliki keberanian untuk mendesak suamiku meski rasa penasaranku masih menghantui."Apa ada yang bisa aku bantu, Mas?"Aku menawarkan diri. Mas Bara hanya melirikku sesaat. "Aku mencari sereal yang aku bawa kemarin untuk sarapan."Mas Bara menunjukkan sebungkus minuman instan yang baru saja dia temukan. Aku mengangguk-angguk karena baru melihat secara langsung minuman instan itu yang sebelumnya hanya bisa aku tonton di televisi."Kalau begitu biar aku seduh minumannya.""Apa kamu yakin?""Tentu saja Mas aku kan sekarang istri Mas."Mas Bara malah menatapku penuh arti sembari menipiskan bibir, tersenyum lembut padaku.Setelah menghidangkan sereal itu di atas meja, di hadapan Mas Bara yang sedang memusatkan perhatian pada ponsel di tangannya, aku mulai duduk di sampingnya."Apa Mas tidak membutuhkan yang lain?"Masih dengan menatap layar ponselnya Mas Bara lalu menggeleng. Pria tampan yang baru saja kemarin menjadi suamiku itu terlihat sangat sibuk. Bahkan detik berikutnya, dia seakan mengabaikan keberadaanku. Bosan, kuputuskan untuk membantu Ibu dan Mbak Murni memasak di dapur. Namun, ketika aku bangun dari duduk, nyatanya Mas Bara malah mencekal tanganku."Mau ke mana?""Eh ... aku mau ikut masak Mas.""Jangan ke mana-mana, tetap di sini saja karena setelah ini aku ingin ngomong sama kamu."Aku kembali duduk dan mengurungkan niatku. Tapi tetap saja aku masih harus menunggu sampai beberapa waktu sebelum akhirnya suamiku yang hari ini terkesan sangat misterius itu memberikan perhatian padaku."Sebelum ini, kegiatan kamu apa?" tanya Mas Bara terlihat sangat serius."Sebelum kecelakaan, aku sama bapak bekerja menggarap sawahnya Pak Kades juga sawah kami sendiri yang luasnya nggak seberapa."Tatapan Mas Bara langsung melebar, seolah tak percaya. "Kamu bekerja di sawah?!"Aku mengangguk. "Aku ikut membantu Bapak biar uang yang aku butuhkan buat kuliah cepat terkumpul.""Jadi itu alasannya?"Mas Bara bertanya sembari menyeruput sereal yang sudah aku hidangkan dengan tatapannya yang begitu lugas memindai, sukses membuat dadaku berdebar tak karuan. Aku memilih menunduk untuk sekedar meredakan degup jantungku yang tidak menentu."Mulai sekarang kamu tak usah bekerja di sawah. Kamu adalah istriku, jadi kamu adalah tanggung jawabku. Aku akan menafkahi kamu dan mencukupi semua kebutuhan kamu."Aku mulai mengangkat wajahku menjadi tak bisa menyembunyikan rasa antusiasku ketika mendengar ucapan suamiku yang terdengar begitu bersungguh-sungguh. Walau aku tak pernah benar-benar menginginkan pernikahan ini, tapi aku tetap merasa beruntung karena memiliki seorang suami seperti Mas Bara yang kelihatannya bertanggung jawab. Berbeda jauh dengan kakak iparku Karso yang sekarang tak diketahui rimbanya itu, yang selama ini selalu membuat Mbak Murni susah, dan harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan kedua anaknya.Melihat keraguan di wajahku, suamiku itu justru kembali mengangsurkan pertanyaan. "Kamu minta nafkah berapa?"Aku menjadi gamang untuk mengungkapkan. Karena sebenarnya aku memendam harapan besar jika suamiku ini akan memberiku nafkah yang cukup hingga aku dan keluargaku tak lagi merasa kekurangan."Kalau boleh aku tahu, gaji Mas Bara sebagai mandor itu berapa?"Ketika mendengar pertanyaanku Mas Bara malah mengulas senyuman tipis. "Memangnya kenapa?""Eh ... maaf, bu-bukan apa-apa sih, kalau boleh, aku minta dikasih separuhnya.""Kamu yakin? Cuma separuh?" katanya dengan pandangan menggoda. "Padahal gaji mandor itu kecil cuma 5 juta. Aku tidak keberatan untuk berikan semuanya buat kamu."Aku terperangah ketika mendengar ucapan suamiku yang terdengar begitu yakin. Mendapati uang 5 juta akan aku terima setiap bulannya, tubuhku sudah terasa panas dingin. Sungguh aku tak pernah memiliki uang sebanyak itu. Walau sampai berbulan-bulan aku bekerja di sawahnya Pak Kades, aku tak akan pernah mendapat uang sebanyak itu."Menjadi mandor bukanlah pekerjaan utamaku, Rindu. Mungkin juga takdir yang sudah membawaku ke desa ini untuk bisa bertemu dengan kamu."Mulutku tak tahan untuk membulat, kaget dengan penuturannya barusan. 'Jika menjadi mandor adalah pekerjaan sampingan Mas Bara, lantas ... Apa sebenarnya pekerjaan suamiku itu?'Kali ini Mas Bara melirikku sontak menerbitkan kecanggungan di dalam diriku. "Aku bisa dengan yakin mengatakan kalau kamu adalah takdir terbaik di dalam hidupku."Mas Bara kembali memandangiku begitu intens. "Apa kamu percaya dengan apa yang aku katakan?"Aku tergeragap tak bisa menjawab apapun. Ada banyak hal yang kemudian tak bisa aku pahami."Apa yang kamu pikirkan, Rindu?" tanya Mas Bara saat aku terpekur diam hanyut dalam pikiranku sendiri.Aku tergeragap menjadi ragu menjawab. "Jangan berpikir macam-macam, Rindu. Aku hanya minta kamu percaya, kalau aku bersungguh-sungguh dengan pernikahan kita."Sekarang bahkan tangan Mas Bara mulai membelai wajahku, membuatku menatapnya dengan sempurna."Segera, aku akan membuktikannya sama kamu."Aku termangu ketika mendengar ucapannya yang begitu serius. Detik selanjutnya aku mulai mengangguk pelan."Begini Rin, untuk beberapa hari ini ... mungkin aku akan mengijinkan kamu untuk kita tinggal di sini, tapi setelahnya kita akan pindah. Kamu harus tinggal bersamaku di rumah yang sebelumnya sudah aku tempati di desa ini."Aku kembali mengangguk mengiyakan sembari membayangkan rumah besar di dekat jembatan yang aku tahu selama ini menjadi tempat tinggal Mas Bara saat menjadi mandor proyek."Bagus, kamu memang istri yang penurut. Tapi aku rasa kita akan tinggal di desa ini hanya untuk sementara saja."Aku langsung mengernyit gusar ketika mendengar ucapan suamiku berikutnya. "Memangnya kita nanti akan tinggal di mana Mas?"Mas Bara malah mengulas senyumnya sembari mengelus pucuk kepalaku. Dia tampak begitu mesra dan lembut memperlakukanku. "Yang penting ke mana pun aku pergi, kamu harus ikut bersamaku."Rasanya, tubuhku meluruh. Aku menjadi tak tahu harus berkata apa."Satu lagi, mulai sejak saat ini kita harus saling percaya. Aku percaya sama kamu, dan kamu juga percaya sama aku. Jangan pernah terpengaruh dengan segala berita di luar sana tentang aku. Kalau tidak kamu dengar langsung dariku, jangan kamu percayai."Aku kembali tertegun berusaha mencerna ucapan suamiku yang seperti menyimpan sesuatu yang tersembunyi.Tapi anehnya saat aku menatap sepasang matanya yang tampak tajam mendominasi itu, aku sontak mengangguk tak terlalu menuruti segala raguku sendiri."Kamu akan mempercayaiku kan, Rindu?"Aku kembali mengangguk. Mas Bara langsung mengulas senyumnya. Tapi beberapa saat kemudian kebersamaan kami ini menjadi terusik dengan kedatangan seseorang yang begitu aku kenal, yang membuatku bahkan terperangah gelisah."Assalamualaikum, Rindu!"***“Assalamualaikum, Rindu!” Aku yang sedang duduk berdampingan dengan pria asing yang baru kemarin menjadi suamiku segera mendongak dan mengarahkan tatapan pada asal suara di ambang pintu. Segera kerikuhan menyergapku terlebih setelah melihat tatapan Mas Bara yang begitu tajam ketika melihat sosok pemuda yang sedang mengulas senyum padaku itu, tamu kami yang tak terduga datang di awal pagi. Aku berusaha menenangkan diri dengan membalas salamnya. “Wa’alaikumsalam,” balasku dengan pelan sembari mulai bangkit dari dudukku. Aku tak bisa segera mendekat pada pria berpenampilan rapi yang masih menyunggingkan senyumnya padaku itu. Tatapan lugas Mas Bara yang membuatku ragu melangkah. “Siapa dia Rindu?” Pada akhirnya Mas Bara bertanya dengan tegas meski dia masih bertahan duduk di tempatnya. Aku tak segera menjawab karena detik berikutnya tatapan Mas Hilman yang merupakan teman baikku itu ikut tertuju pada Mas Bara yang masih menampakkan dominasinya. Ketika melihat tatapan Mas Hilman ya
Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Bara kemudian malah memintaku untuk menemaninya berolahraga dengan berlari di sekeliling desa.Sudah sejak setengah lalu aku mendampinginya, berlari mengitari desa sembari sesekali membalas sapaan para tetanggaku, penduduk desa yang tampak sangat menaruh hormat untuk pria yang tak pernah aku sangka sekarang berstatus sebagai suamiku itu.Tapi ketika sampai di pertengahan desa aku sudah mulai menyerah. Rasanya dadaku menjadi sesak dan butuh asupan oksigen besar yang membuatku menarik nafas dalam-dalam sembari berhenti sejenak hingga aku tertinggal di belakang Mas Bara.Ketika mulai menyadari keberadaanku yang tak lagi di sisinya, Mas Bara kemudian ikut menghentikan larinya dan segera menoleh ke belakang.“Maaf Mas, berhenti dulu ya, aku capek,” ucapku sembari menyeka keringat di keningku dengan lengan baju.Tanpa banyak berkata Mas Bara lalu memutar tubuhnya dan berlari menghampiriku.“Apa kamu tidak pernah berolahraga sebelumnya?”“Aku biasanya
Meski aku sedikit bisa menduga kalau Mas Bara memintaku melayani hasratnya, tapi tetap aku tidak menyangka kalau suamiku akan menggempurku sedahsyat ini hingga menjelang saat maghrib.Jika saja aku tidak mengatakan kalau aku harus datang ke acara pengajian tujuh harinya bapak, pasti Mas Bara tetap akan mengurungku di kamar megah ini dengan kasurnya yang sangat empuk.Saat berada di kamar mandi lagi-lagi aku terpukau dengan berbagai perangkat modern yang ada di dalamnya. Ada kran yang dilengkapi dengan wajah keramik halus dan berkilau, yang dikatakan Mas Bara sebagai wastafel, juga ada kran besar lubang-lubang kecil yang disebut dengan shower, yang bisa mengucurkan air dengan deras. Belum lagi ada bak besar yang sekarang kami masuki bersama yang membuat Mas Bara kembali menjahiliku saat dia memaksa untuk mengusapkan gelembung-gelembung sabun di sekujur tubuhku.Aku sendiri tidak mengerti Mas Bara sangat suka sekali mengel
Aku semakin gusar kian terseret dalam sikap yang serba salah saat Mas Hilman terang-terangan mengajakku untuk mengobrol dan saling bercerita seperti dulu.Bahkan tatapan Mas Bara sudah terlihat nyalang sekarang. Pastinya Mas Bara sudah terlihat tersinggung sekarang karena ajakan Mas Hilman padaku.“Tapi tentu saja kamu harus mengajak suami kamu juga, karena aku juga ingin bisa mengenal suami kamu lebih dekat.”Kali ini Mas Hilman mulai menyunggingkan senyumnya pada suamiku, tapi tetap saja Mas Bara masih menunjukkan sikapnya yang cenderung dingin.Ibu yang melihat jika suasana sudah menjadi kurang nyaman, akhirnya mulai melerai kami.“Sepertinya kamu sudah mengantuk ya Rindu? Ya sudah kamu pulang saja, ke rumah suami kamu. soal baju-baju kamu besok saja kamu ambil, nanti biar Mbak Murni yang menyiapkannya.”“Benar Rindu memang me
“Kenapa kamu mendadak bertanya tentang manusia iblis itu?” sergah Mas Bara yang sekarang bahkan ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin dan tegas.Aku mulai merutuki pertanyaan sendiri yang membuat wajah manis suamiku berubah dalam sekejap.“Maaf, Mas,” gumamku gusar.Jika melihat perubahan sikap Mas Bara aku menjadi enggan untuk mendesak meski hatiku masih saja diliputi rasa ingin tahu.“Kamu cukup tahu kalau mereka tidak akan bisa mendekati kamu lagi. Aku sudah mengatakan padamu kalau sekarang aku adalah pelindung kamu,” tegas Mas Bara lagi.Aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata lagi.“Sudahlah, mulai sekarang jangan pernah kamu tanyakan tentang mereka.”Mas Bara kemudian menarik nafas panjang seakan ingin mentralisir segala emosinya yang sempat terpantik tadi.
“Apa ini?”Dahiku langsung mengernyit lugas sembari tanpa sadar aku mulai memandang penasaran pada Mas Bara yang malah tersenyum simpul padaku.“Aku ingin kamu mencobanya sekarang,” ucap Mas Bara tegas.Sudah lebih dari seminggu kami menikah, aku mulai sedikit hafal dengan karakter suamiku. Jika nada bicara Mas Bara sudah seperti itu, jelas dia tak akan bisa ditolak.Tapi aku sendiri masih tak yakin, karena memang aku tak pernah memakai pakaian seterbuka ini.Gaun berbahan halus itu semuanya tanpa lengan dengan belahan dada rendah dan begitu pendek. Ada banyak warna dan model, ada yang polos tapi kebanyakan dipenuhi renda yang cantik.“Tapi apa ini Mas?”“Itu namanya lingerie, dan aku ingin kamu memakainya setiap malam saat kita tidur bareng.”Aku langsung disergap gelis
Walau awalnya sulit pada akhirnya aku mendapatkan ijin dari suamiku untuk mengajar mengaji di mushola meski waktunya harus aku ubah. Yang awalnya sehabis ashar menjadi sehabis maghrib.Untunglah anak-anak tak ada yang keberatan. Yang lebih penting Mas Bara juga malah semakin aktif menjalankan sholat berjamaah di mushola juga.Jelas aku merasa begitu bahagia sekarang. Karena setiap sore aku akan selalu diantar Mas Bara dengan sepeda motor keluaran terbaru yang selalu akan memancing perhatian para tetanggaku yang menjadi terpukau dengan perubahan diriku setelah dipersunting oleh mandor proyek yang ternyata cukup kaya itu, bahkan mampu menyaingi juragan Mukti yang seorang pengepul hasil panenan di desa kami, yang nyatanya keberadaannya kini tak ada yang mengetahui, tak lama setelah percobaan perkosaannya padaku.Saat aku sibuk mengajar, maka Mas Bara akan duduk di teras mushola setia memusatkan perhatian pada gawai di tanga
Aku tak pernah menyangka kalau suamiku mengajak untuk pindah ke kota lebih cepat dari yang aku sangka.“Kita pindah ke kota Mas? Kenapa begitu cepat?”“Tentu saja kita harus segera pindah ke kota, karena aku sudah berjanji pada seseorang untuk mengkuliahkan kamu,” ungkap Mas Bara datar dengan tatapannya yang terus memindai pada kaleng sarden yang sedang ia genggam.Sontak aku menyergap wajah tampan suamiku dengan tatapan lugas.“Apa yang Mas bilang tadi?”Mas Bara malah melirikku sekilas.“Apa kamu lupa kalau aku pernah bilang sama kamu, untuk menanggung biaya kuliah kamu?”Aku langsung menarik nafas sesaat, karena ternyata kalimat Mas Bara memiliki pengertian lain karena aku sempat mengira Mas Bara memiliki hutang janji pada seseorang untuk mengkuliahkan aku, yang aku pikir adalah orang lai