“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
"Kang kita mau ke mana?"Aku tak dapat menahan tanya ketika pria dewasa berkumis tebal yang tak lain adalah Karso, kakak iparku sendiri, mendadak datang dan menyeretku dari makam bapak untuk mengikuti langkahnya."Nggak usah banyak tanya. Ikut saja!"Karso tetap saja memaksa sama sekali tak melepaskan cekalan tangannya. Pria bertabiat kasar yang selama ini suka mabuk dan judi itu, benar-benar terlalu kuat untuk aku lawan. Terlebih, sekarang tangan kiriku masih merasakan nyeri setelah menjalani operasi patah tulang usai kecelakaan di pagi buta tiga hari lalu yang merenggut nyawa bapakku.Aku masih terus memberontak, tetapi cekalan Karso pada tanganku begitu kuat, membuatku sulit untuk melepaskan diri. "Kang aku nggak mau ikut kamu!" Melihatku melawan Karso langsung menoleh ke samping dan menatapku tajam. "Katanya mau kuliah?!" Mata pria itu mendelik tajam ke arahku, membuat nyaliku sedikit ciut, terlebih ketika ia mengungkit cita-cita terbesarku. "Kalau mau kuliah, ikuti saja kataku!
Apa Pak? "Menikah?"Aku terlalu terkejut ketika mendengar tawarannya. Bagaimana mungkin seorang pria yang begitu luar biasa seperti dirinya mengajakku menikah? Aku hanya seorang gadis desa yang tidak memiliki keunggulan apapun selain wajahku yang lumayan bening, yang malah membuatku nyaris kehilangan kehormatan tadi.Perasaanku menjadi campur aduk. Baru saja aku terbebas dari jerat licik Juragan Mukti, tetapi kini aku kembali dikejutkan dengan ajakan menikah tiba-tiba dari Pak Mandor. Lidahku kelu, pikiranku penuh. Berbanding terbalik denganku, pria berwajah bersih khas orang kota itu malah terlihat menatapku penuh arti. "Tidak perlu dijawab sekarang. Aku akan berikan kamu waktu berpikir beberapa hari." Matanya kemudian bertemu dengan netraku, yang langsung aku alihkan menatap objek lain. "Tapi kuharap, hanya jawaban 'iya' yang keluar dari mulutmu."Pak Mandor berucap dengan sangat tegas yang membuatku kembali terperangah resah. "Ta-tapi, Pak--""Sekarang, masuklah dan bersihkan tubu
“Mas ....”Tanpa sadar aku menarik nafas panjang saat mendengar kalimatnya barusan. Ia menjauhkan wajahnya, kemudian menatap penuh padaku. Ada sorot kagum, penuh kerinduan yang kutangkap dari matanya kala menatapku.“Kamu sudah membuatku lama menunggu, Rindu.”Aku kembali dibuat terkesiap oleh kalimat Mas Bara. Kami bahkan tidak akrab, bagaimana mungkin ia sudah lama menungguku?Namun, karena kalimatnya itulah aku kembali teringat oleh berbagai tanya dalam kepala. Apa yang membuat seseorang seperti Mas Bara dengan ketampanan dan kemampanannya memilih untuk memperistri diriku yang cuma seorang gadis desa? Ditambah lagi, dengan nama baik yang sudah tercoreng karena peristiwa itu.Posisi kami bagaikan bumi dan langit. Mas Bara orang terpandang dengan pendidikan yang pasti tinggi, kalau tidak mana mungkin dia bisa merancang bangunan jembatan. Satu lagi yang selalu membuat para gadis kampung sepertiku bangga, adalah bahwa pria yang sudah memperistriku itu berasal dari kota. Kabarnya, Mas B
""Ma-af Mas, aku ...."Tanpa sadar aku menggeleng ragu. Aku terlalu takut untuk melakukan apa yang Mas Bara kehendaki."Kamu menolakku?" tanya Mas Bara yang langsung membuatku terkesiap dan mulai menatapnya gamang.Tatapan Mas Bara masih saja terarah lugas padaku yang membuatku semakin rikuh. Nyatanya Mas Bara sekarang malah tertawa singkat sembari tidak melepas tatapan intensnya pada tubuhku. Sekarang bahkan pria itu sudah beringsut semakin mendekat. Gelisahku kian terunggah nyata ketika akhirnya Mas Bara kembali membelai wajahku seperti yang tadi sudah dia lakukan.Aku terlalu malu hingga memilih menunduk. Tapi lagi-lagi Mas Bara menahanku kembali mengangkat wajahku dengan meraih daguku untuk ia gerakkan ke atas. "Jangan pernah menundukkan wajahmu lagi."Mas Bara berbisik begitu dekat kala aku sudah mendongakkan muka. Tatapan Mas Bara intens memindai, membuat degup jantungku semakin sulit dikendalikan. "M-maaf, Mas.""Berhenti juga meminta maaf, Rindu." Suara pria itu mulai terdenga
'Lina? Siapa itu Lina?'Hatiku menjadi bertanya-tanya. Dengan memendam rasa ingin tahu, tanganku mulai bergerak hendak menjangkau benda yang kembali berdering itu. Namun sebelum aku bisa meraih ponsel itu, mendadak Mas Bara datang dan segera menyambar ponsel tersebut begitu saja. Aku hanya bisa termangu memandang punggung lebarnya yang langsung menjauh sembari membawa ponsel itu.Setelah beberapa lama, akhirnya Mas Bara kembali lagi ke dalam kamar dengan membawa senyumnya. Seketika aku menyergapnya dengan tatapan ingin tahu."Telepon dari siapa Mas?" "Bukan siapa-siapa," jawabnya datar.Aku memilih untuk tak terlalu banyak bertanya, terlebih sekarang suamiku tampak sibuk mencari sesuatu di dalam kopernya. Aku tak memiliki keberanian untuk mendesak suamiku meski rasa penasaranku masih menghantui."Apa ada yang bisa aku bantu, Mas?"Aku menawarkan diri. Mas Bara hanya melirikku sesaat. "Aku mencari sereal yang aku bawa kemarin untuk sarapan."Mas Bara menunjukkan sebungkus minuman inst
“Assalamualaikum, Rindu!” Aku yang sedang duduk berdampingan dengan pria asing yang baru kemarin menjadi suamiku segera mendongak dan mengarahkan tatapan pada asal suara di ambang pintu. Segera kerikuhan menyergapku terlebih setelah melihat tatapan Mas Bara yang begitu tajam ketika melihat sosok pemuda yang sedang mengulas senyum padaku itu, tamu kami yang tak terduga datang di awal pagi. Aku berusaha menenangkan diri dengan membalas salamnya. “Wa’alaikumsalam,” balasku dengan pelan sembari mulai bangkit dari dudukku. Aku tak bisa segera mendekat pada pria berpenampilan rapi yang masih menyunggingkan senyumnya padaku itu. Tatapan lugas Mas Bara yang membuatku ragu melangkah. “Siapa dia Rindu?” Pada akhirnya Mas Bara bertanya dengan tegas meski dia masih bertahan duduk di tempatnya. Aku tak segera menjawab karena detik berikutnya tatapan Mas Hilman yang merupakan teman baikku itu ikut tertuju pada Mas Bara yang masih menampakkan dominasinya. Ketika melihat tatapan Mas Hilman ya
Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Bara kemudian malah memintaku untuk menemaninya berolahraga dengan berlari di sekeliling desa.Sudah sejak setengah lalu aku mendampinginya, berlari mengitari desa sembari sesekali membalas sapaan para tetanggaku, penduduk desa yang tampak sangat menaruh hormat untuk pria yang tak pernah aku sangka sekarang berstatus sebagai suamiku itu.Tapi ketika sampai di pertengahan desa aku sudah mulai menyerah. Rasanya dadaku menjadi sesak dan butuh asupan oksigen besar yang membuatku menarik nafas dalam-dalam sembari berhenti sejenak hingga aku tertinggal di belakang Mas Bara.Ketika mulai menyadari keberadaanku yang tak lagi di sisinya, Mas Bara kemudian ikut menghentikan larinya dan segera menoleh ke belakang.“Maaf Mas, berhenti dulu ya, aku capek,” ucapku sembari menyeka keringat di keningku dengan lengan baju.Tanpa banyak berkata Mas Bara lalu memutar tubuhnya dan berlari menghampiriku.“Apa kamu tidak pernah berolahraga sebelumnya?”“Aku biasanya