Share

3. Suami Dari Kota

“Mas ....”

Tanpa sadar aku menarik nafas panjang saat mendengar kalimatnya barusan. Ia menjauhkan wajahnya, kemudian menatap penuh padaku. Ada sorot kagum, penuh kerinduan yang kutangkap dari matanya kala menatapku.

“Kamu sudah membuatku lama menunggu, Rindu.”

Aku kembali dibuat terkesiap oleh kalimat Mas Bara. Kami bahkan tidak akrab, bagaimana mungkin ia sudah lama menungguku?

Namun, karena kalimatnya itulah aku kembali teringat oleh berbagai tanya dalam kepala. Apa yang membuat seseorang seperti Mas Bara dengan ketampanan dan kemampanannya memilih untuk memperistri diriku yang cuma seorang gadis desa? Ditambah lagi, dengan nama baik yang sudah tercoreng karena peristiwa itu.

Posisi kami bagaikan bumi dan langit. Mas Bara orang terpandang dengan pendidikan yang pasti tinggi, kalau tidak mana mungkin dia bisa merancang bangunan jembatan. Satu lagi yang selalu membuat para gadis kampung sepertiku bangga, adalah bahwa pria yang sudah memperistriku itu berasal dari kota. Kabarnya, Mas Bara berasal dari Ibukota, sangat jauh dari desaku yang berada di kaki gunung.

“Aku tahu ada yang ingin kamu sampaikan. Bicaralah.”

“Mas, apa yang membuat Mas bersedia menikahiku?”

Aku mulai membuka suara dan mengatakan rasa ingin tahuku yang paling besar saat ini. Aku sendiri masih meraba-raba sendiri alasannya tapi tetap tak bisa menemukan kepastian apapun. Terlebih ketika Mas Bara sekarang malah kian memandangku lekat sembari menyunggingkan segaris senyuman yang kian membuat dadaku berdebar. Napasku bahkan seolah tertahan karena terseret pada pesona wajahnya yang tampan paripurna.

“Ada banyak hal yang membuatku begitu mudah untuk memilihmu." Ia kembali mengunggingkan senyuman tipis ke arahku. "Kalau aku bilang aku kepincut sama kecantikan kamu, apa kamu kemudian berpikir kalau aku sama mesumnya seperti orang-orang yang ingin memiliki kamu sebelumnya?”

Napasku semakin tercekat. Kecanggungan yang aku rasakan semakin membuat tubuhku kaku. Ketika Mas Bara kembali menggerakkan tubuhnya mendekatiku, aku bahkan hanya bisa terpaku. Tangannya yang kokoh kembali membelai wajahku, menyentuh dengan sepenuh perasaan pada kening, hidung, kedua pipiku dan setelah itu dia mengusap lebih lama pada bibirku.

Mas Bara terus saja memandangiku dengan tatapan penuh arti. Bahkan kini aku melihat ada kilat gairah pada sepasang matanya.

“Kecantikanmu terlalu luar biasa untuk ukuran seorang gadis desa." Ia membuat jeda beberapa saat. "Kepolosanmu membuatmu senantiasa dalam bahaya. Kamu membutuhkan pelindung yang bisa melindungi kamu, seorang pelindung yang kuat.”

Aku hanya bisa diam terkesiap mendengar kata-katanya. Aku masih merasa bingung mendengar kata-katanya. Pujiannya terlalu berlebihan karena aku tak pernah merasa diriku secantik itu.

“Percayalah, untuk sekarang dan selamanya ... aku akan selalu melindungi kamu.”

Perlahan Mas Bara kemudian kian mendekatkan wajahnya. Sementara aku masih mematung di depannya bahkan menjadi diam tak mampu bergerak sama sekali.

Meski aku tahu apa yang akan dilakukannya, nyatanya aku tak kuasa berontak hingga akhirnya Mas Bara mulai mendaratkan ciumannya pada bibirku. Ia memagut dengan begitu lembut yang nyata mampu membawaku melayang ke awang-awang, menghapus canggung dan rasa gelisahku. Ketika cumbuan Mas Bara semakin dalam dan menuntut, aku mulai kehabisan napas hingga membuatku terengah ketika suamiku mulai melepaskan pagutannya.

Mas Bara kembali menyunggingkan senyumnya saat aku spontan memegangi dada yang semakin berdebar tak karuan. Keringat dingin mulai mengucur di dahiku. Kedekatan seperti ini benar-benar terlalu meresahkan.

"Bagian itu, aku akan memintanya nanti." Mas Bara kemudian berdiri dan menanggalkan pakaian atasnya, membuatku memalingkan wajah.

Teringat oleh pesan ibuku sebelum akad tadi, aku buru-buru menawarkannya air hangat. Udara di sini sudah cukup dingin, kasihan kalau ia harus mandi dengan air kran yang mampu membuat tubuh menggigil.

Saat Mas Bara mandi, aku segera mengganti pakaianku mumpung Mas Bara tidak berada di dalam kamar. Aku masih sangat canggung menampakkan ketelanjanganku di hadapan pria yang baru beberapa jam berstatus sebagai suamiku itu.

Ketika akhirnya Mas Bara mulai masuk ke dalam kamar dan melihatku memakai abaya panjang yang biasa aku pakai sehari-hari, suamiku malah meresponnya dengan helaan nafas panjang.

“Apa kamu selalu tidur dengan pakaian seperti itu?” tanya Mas Bara sembari mengusap rambutnya yang sekarang basah dengan handuk.

Aku yang sedang menyisir rambutku di depan cermin melirik sekilas ke arahnya dan langsung menahan napas ketika melihatnya kembali membuka bathrobe yang dipakainya.

Pahatan tubuhnya yang sempurna kembali terunggah jelas, terlalu mendebarkan untuk gadis polos seperti aku yang sebelumnya tak pernah berdekatan dengan pria manapun.

“Kamu kenapa?”

Mas Bara kemudian mendekat seakan memaksaku untuk memandangi semua pesonanya dengan lebih jelas. Perut berotot yang berbentuk seperti ada kotak-kotaknya itu malah didekatkan padaku yang sekarang hanya bisa mematung dan tak berkutik.

Aku langsung menunduk menjadi terlalu canggung.

Tak mendapatkan jawaban dariku, Mas Bara kemudian kembali bertanya. “Apa kamu tidak punya lingerie dan semacamnya?”

“Apa?”

Aku mengernyit, kembali tak paham dengan apa yang dikatakan suamiku. Dari tadi, sudah beberapa kosakata asing yang kupelajari dari Mas Bara. Mulai dari heater; alat pemanas air yang otomatis keluar dari kran, bathrobe; jubah mandi yang tadi ia gunakan, hingga kini ... Lingerie.

“Kamu juga tidak tahu apa itu lingerie?’

Aku langsung menunduk dan menggeleng. Ternyata mempunyai suami orang kota itu sangat sulit. Terlalu banyak benda yang tidak aku ketahui. Mas Bara bahkan begitu terkejut saat tahu kalau aku tak memiliki ponsel tadi. Untuk gadis desa sepertiku yang hanya tamatan SMA, dan bekerja serabutan ... Ponsel pintar memang sebuah barang mewah yang sulit kugapai.

"Apa itu?"

Kali ini Mas Bara tak menertawakan ketidaktahuanku. Dia malah menepuk keningnya sendiri. “Sudahlah kalau begitu kamu lepaskan pakaian kamu, lalu kita tidur.”

Ketika mendengar permintaan suamiku spontan aku meletakkan kedua tanganku di depan dada. Sementara tanganku yang sebelah yang masih belum sembuh benar tetap aku gantung.

“Apa Mas memintaku untuk tidur dengan telanjang?”

Aku sudah bergidik ngeri memikirkan semuanya. Mas Bara malah menatapku dengan tegas.

“Iya, karena aku akan mulai memberikan kamu pelajaran pertama yang harus kamu pahami sebagai istri dari Richard Sembara.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status