Share

6. Tamu Tak Terduga

“Assalamualaikum, Rindu!”

Aku yang sedang duduk berdampingan dengan pria asing yang baru kemarin menjadi suamiku segera mendongak dan mengarahkan tatapan pada asal suara di ambang pintu.

Segera kerikuhan menyergapku terlebih setelah melihat tatapan Mas Bara yang begitu tajam ketika melihat sosok pemuda yang sedang mengulas senyum padaku itu, tamu kami yang tak terduga datang di awal pagi.

Aku berusaha menenangkan diri dengan membalas salamnya.

“Wa’alaikumsalam,” balasku dengan pelan sembari mulai bangkit dari dudukku.

Aku tak bisa segera mendekat pada pria berpenampilan rapi yang masih menyunggingkan senyumnya padaku itu. Tatapan lugas Mas Bara yang membuatku ragu melangkah.

“Siapa dia Rindu?”

Pada akhirnya Mas Bara bertanya dengan tegas meski dia masih bertahan duduk di tempatnya.

Aku tak segera menjawab karena detik berikutnya tatapan Mas Hilman yang merupakan teman baikku itu ikut tertuju pada Mas Bara yang masih menampakkan dominasinya.

Ketika melihat tatapan Mas Hilman yang tampak bingung dan ragu, aku memilih memalingkan wajah ke arah Mas Bara yang sekarang sedang menyergapku dengan sorot matanya yang lugas.

“Dia temanku Mas, putranya Pak Kades, Mas Hilman.”

Aku berusaha memperkenalkan sosok yang selalu menampakkan gurat wajah yang selalu penuh keramahan itu pada suamiku.

Sekarang tatapan Mas Bara kembali terarah pada sosok pemuda yang kedatangannya benar-benar tak aku duga itu.

Karena setahuku Mas Hilman masih berada di kota untuk kuliah di sana.

“Siapa pria ini Rindu?”

Sekarang Mas Hilman yang menyudutkan aku pertanyaannya yang terdengar lugas.

Aku kembali tak bisa menjawab, memilih memandang pada Mas Bara yang sekarang mulai ikut bangkit.

“Aku Bara, suaminya Rindu,” tegas Mas Bara tanpa ragu yang sontak membuat Mas Hilman membeliakkan mata.

Aku sangat yakin Mas Hilman masih tak tahu apa yang terjadi padaku.

Sekarang aku hanya bisa menunduk saat Mas Hilman menegaskan sorot matanya ke arahku. Jelas dia sedang terseret dalam kekagetannya, karena dia pasti tak pernah mengira jika aku akan menikah secepat ini karena sebelumnya aku pernah mengikrarkan keinginanku untuk kuliah dan mewujudkan cita-citaku menjadi guru, sebuah harapan yang terus Mas Hilman dukung selama ini.

Tak aku sangka detik berikutnya Mas Hilman malah mendekat, seakan mengabaikan keberadaan Mas Bara di dekatku yang bahkan baru saja menandaskan tentang posisi dirinya.

“Tangan kamu kenapa Rindu?”

Aku yang sedang menunduk mulai mengangkat wajah ketika menyadari Mas Hilman mulai menyentuh tanganku yang dibalut.

Tapi sentuhan Mas Hilman segera menerbitkan sikap posesif suamiku hingga dia menjadi begitu lugas menghempaskan tangan Mas Hilman yang sempat menyentuhku.

Aku terkesiap kaget, pun dengan Mas Hilman yang kemudian menyorot suamiku dengan lugas.

Tapi dengan cepat tatapan Mas Hilman kembali beralih padaku.

“Aku benar-benar tak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi, kenapa kamu mendadak menikah?”

Mas Hilman kian terang mengunggah kebingungannya.

Tapi sebelum aku menjawab apapun mendadak ibu muncul dari dalam dan tampak terkejut dengan kedatangan Mas Hilman yang pasti tak diduganya.

“Nak Hilman?!”

Mas Hilman memandang ke arah ibu yang tergopoh-gopoh menghampiri kami.

Tatapan Mas Hilman sangat terang menuntut sebuah penjelasan.

“Kapan pulangnya?”

Ibu bertanya dengan basa-basi sembari sedikit melirik padaku yang sekarang bahkan sudah terkukung oleh pelukan Mas Bara.

Aku hanya bisa diam tak mengatakan apapun.

Tapi sejurus kemudian ibu malah tersenyum lebar.

“Saya baru semalam pulang Bu.”

Mas Hilman menjawab dengan datar.

Tapi ibuku masih saja menyunggingkan senyumnya.

“Oh iya, apa Nak Hilman sudah kenalan dengan suaminya Rindu?”

Aku sedikit heran mendapati sikap tenang ibu bahkan bisa dengan sangat santai memperkenalkan Mas Bara sebagai suamiku.

Wajah Mas Hilman kembali masam, meski kemudian aku melihat dia tetap berusaha untuk membalas senyuman ibuku.

Bagaimanapun aku tak akan menyalahkan ibu karena memang pernikahanku dengan Mas Bara sejak awal memang tanpa paksaan. Meski aku sekarang malah merasa jika ibu memang menginginkan aku menikah dengan Mas Bara, terlihat dari sikap ibu yang masih begitu tenang saat mendapati kedatangan Mas Hilman yang tidak terduga.

Nyatanya memang selama ini aku dan Mas Hilman tak pernah menjalin hubungan yang istimewa, setidaknya itulah anggapanku karena pembicaraan kami tak pernah sekalipun menjurus tentang hubungan yang serius apalagi cinta.

“Kami sudah berkenalan tadi, Bu,” jawab Mas Hilman datar.

Pria itu kemudian menarik nafas panjang.

“Saya datang pagi-pagi niatnya ingin mengajak Rindu sekalian ke sawah, biar Pak Slamet bisa naik sepeda nggak harus keberatan membonceng Rindu seperti biasanya.”

Aku termangu ketika mendengar ucapan Mas Hilman. Ada rasa sedih yang menekan dada ketika dia menyebut nama ‘bapak’. Sangat terang kalau Mas Hilman tak tahu juga tentang meninggalnya bapak.

Sekarang sepasang mata ibu sudah tampak berkaca-kaca.

“Maaf Nak, bapaknya Rindu sekarang sudah nggak ada,” gumam ibu sedih.

Ketika akhirnya ibu mulai menceritakan semuanya tentang kecelakaan yang menimpa kami beberapa hari lalu, juga tentang luka patah tangan yang aku alami disamping nyawa bapak yang menjadi terenggut karena kecelakaan itu, Mas Hilman kemudian malah menyergapku dengan tatapan tegas.

Ada kecewa yang kemudian bisa aku tangkap di matanya. Meski aku tetap tak ingin terlalu memperturutkan rasa ingin tahuku.

Walau kemudian setelah itu Mas Hilman mulai menggumamkan ucapan bela sungkawanya.

Tapi Mas Bara malah menanggapi dengan kata-katanya yang tegas.

“Mulai sekarang Rindu tidak lagi bekerja di sawah, dia sudah menjadi istriku dan pastinya Rindu akan menjadi tanggung jawabku,” ucap Mas Bara tegas yang membuat tatapan Mas Hilman menjadi luruh.

“Aku sungguh tidak tahu, maafkan aku Bu, karena tadi aku langsung ke sini tanpa sempat mengobrol dengan ayah,” gumam Mas Hilman lirih.

Mas Hilman masih mengabaikan tatapan Mas Bara yang baru saja menegaskan tentang posisi diriku untuknya.

Pria berpembawaan santun itu malah mengarahkan perhatian pada ibuku.

“Maaf ya Nak Hilman kalau kesannya pernikahan Rindu mendesak, karena memang bapaknya Rindu sendiri yang meminta,” ucap ibu sembari memendam kesedihannya.

Apa yang dikatakan ibu segera menerbitkan penasaran di hatiku. Sebenarnya apa maksud ibu kalau pernikahanku dengan Mas Bara adalah atas permintaan bapak. Bukannya Mas Bara melamarku setelah bapak berpulang?.

Tapi ketika melihat tatapan ibu yang nanar ke arah Mas Hilman membuat hatiku menguntai jawaban sendiri atas rasa penasaranku. Bisa saja ibu berkata seperti itu untuk meleram rasa kecewa Mas Hilman yang saat ini tampak terang disajikan saat mendapati aku menikah dengan pria lain.

“Kalau begitu, sekarang aku pamit Bu.”

Mas Hilman kemudian kembali melirikku.

“Rindu, aku pulang ya, assalamualaikum.”

Setelah Mas Hilman mulai membalikkan badan lalu melangkah pergi sebelum aku sempat menjawab salamnya dan benar-benar mengabaikan keberadaan Mas Bara yang sampai saat ini bahkan masih memeluk pundakku.

Sepeninggal Mas Hilman, ibu lalu mendekati kami.

“Rindu, ayo siapkan sarapan buat suami kamu, masakannya sudah matang.”

Tatapan ibu lalu beralih pada Mas Bara.

“Maaf ya Pak Mandor, kalau hidangannya cuma ala kadarnya saja, maklum di desa.”

Setelah itu ibu kembali ke dalam meninggalkan kami berdua.

“Mas, mau makan sekarang?” tanyaku memastikan karena aku tahu tadi Mas Bara sudah menghabiskan segelas sereal yang tadi sudah aku hidangkan.

“Aku biasanya tak pernah makan berat di awal pagi, tapi mungkin aku akan makan sedikit saja untuk menghormati ibumu yang sudah bersusah payah memasak.”

“Kalau begitu ayo sekarang kita ke ruang tengah,” ajakku pelan.

Mas Bara kemudian malah tak langsung beranjak, sedikit mencekal pundakku untuk menahan langkahku.

“Tapi nanti setelah sarapan, kamu harus menemaniku melakukan sesuatu.”

Aku langsung memandangnya sembari mengernyit penasaran.

“Melakukan apa Mas?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status