Share

7. Permintaan Bara

Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Bara kemudian malah memintaku untuk menemaninya berolahraga dengan berlari di sekeliling desa.

Sudah sejak setengah lalu aku mendampinginya, berlari mengitari desa sembari sesekali membalas sapaan para tetanggaku, penduduk desa yang tampak sangat menaruh hormat untuk pria yang tak pernah aku sangka sekarang berstatus sebagai suamiku itu.

Tapi ketika sampai di pertengahan desa aku sudah mulai menyerah. Rasanya dadaku menjadi sesak dan butuh asupan oksigen besar yang membuatku menarik nafas dalam-dalam sembari berhenti sejenak hingga aku tertinggal di belakang Mas Bara.

Ketika mulai menyadari keberadaanku yang tak lagi di sisinya, Mas Bara kemudian ikut menghentikan larinya dan segera menoleh ke belakang.

“Maaf Mas, berhenti dulu ya, aku capek,” ucapku sembari menyeka keringat di keningku dengan lengan baju.

Tanpa banyak berkata Mas Bara lalu memutar tubuhnya dan berlari menghampiriku.

“Apa kamu tidak pernah berolahraga sebelumnya?”

“Aku biasanya cuma jalan kaki biasa untuk ke sawah atau pas dulu waktu aku masih sekolah, aku selalu jalan kaki juga. Soalnya kami cuma punya sepeda satu, yang biasanya dipakai oleh Bapak.”

Mas Bara lalu memandangku penuh arti.

“Ya sudah kalau gitu kita jalan kaki saja.”

Tak aku sangka Mas Bara malah begitu mudah menghentikan acara olahraganya, dan mulai menemaniku berjalan kaki biasa.

Aku mulai ikut melangkah di sampingnya dengan tatapan sedikit bingung.

Tapi suamiku itu malah mengarahkan tatapannya ke depan, terlihat begitu tegas dan cenderung dingin.

Aku yang masih tak terlalu mengenalnya memilih untuk tak banyak bertanya, tetap berusaha menyamakan langkahku karena memang Mas Bara memiliki sepasang kaki panjang yang membuatku sedikit kewalahan mengikutinya.

Sampai kemudian Mas Bara melirikku seklias.

“Katakan padaku berapa pacar yang kamu punya sebelumnya?”

Aku terperangah rikuh ketika mendengar pertanyaan Mas Bara yang sebetulnya tak pernah aku duga.

“Pacar Mas?”

Aku malah melontarkan pertanyaan yang bodoh karena kegugupanku saat mendapati sikapnya yang cenderung tegas seperti sekarang.

Aku merasa jika Mas Bara terusik dengan kedatangan Mas Hilman tadi.

“Apa pria tadi juga pacar kamu?”

“Eh ... eh ....”

Mas Bara langsung menghentikan langkahnya demi bisa memindaiku dengan lebih lekat.

“Katakan saja iya atau tidak?”

Aku berusaha membalas tatapannya karena aku sangat tahu jika Mas Bara selalu tidak suka saat melihat aku menundukkan kepala. Setelah itu aku menggeleng pelan.

“Kamu yakin? Apa kamu tidak pernah menyukai dia?”

Aku terpekur diam meski tatapan mataku masih terarah pada sorot mata Mas Bara yang lugas yang saat ini seakan mengukungku dengan kuat.

Dengan sikapnya yang seperti ini aku bisa merasakan kalau Mas Bara sedang disusupi rasa cemburu. Karenanya aku harus bisa meredakan segala prasangkanya yang jelas membuatku sangat tidak nyaman seperti.

Aku kembali menggeleng menjawab dengan isyarat pertanyaan Mas Bara yang terdengar mendesakku itu.

Aku benar-benar mengungkapkan kejujuran, karena memang sejak awal aku sudah menjaga hati ini untuk tidak menaruh hati terhadap lawan jenis, apalagi kepada sosok seperti Mas Hilman pria sempurna, anak dari keluarga terpandang, yang jelas tak akan pernah bisa aku gapai.

Meski sekarang akhirnya aku malah mendapatkan sosok suami seperti Mas Bara, yang juga tak kalah sempurnanya dengan Mas Hilman, yang bahkan sejak tadi mendapatkan sapaan penuh hormat dari beberapa penduduk yang kebetulan melintas di dekat kami tadi.

“Ya, sudah, aku percaya sama kamu, jadi kamu nantinya juga harus percaya sama aku.”

Tanpa aku sangka Mas Bara kemudian malah menyunggingkan senyumnya dan begitu mudah menghentikan desakannya, tidak lagi mencecarku dengan pertanyaan yang menyudutkan.

“Ayo sekarang ikut aku, aku akan menunjukkan sesuatu sama kamu,” ucap Mas Bara sembari meraih tanganku untuk ia gandeng, yang sontak membuat kedua pipiku terasa memanas karena menahan malu karena sekarang teman-temanku yang kebetulan sedang melintas melihat apa yang sedang dilakukan suamiku.

“Cie ... cie, pengantin baru, mesra sekali!” celetuk teman-teman sekolahku yang sekarang kebanyakan sudah mulai merencanakan hari pernikahan mereka.

Kebanyakan para gadis di desa ini lebih memilih langsung menikah daripada melanjutkan kuliah atau bekerja di luar kota. Kalaupun ada itu hanya segelintir orang saja.

Aku sendiri, tak pernah menyangka akan mengikuti juga jejak teman-temanku di kampung ini padahal aku sudah gigih berencana ingin melanjutkan kuliah dengan dukungan penuh dari bapak yang membuatku, sempat begitu yakin sebelumnya.

“Rindu beruntung banget ya, punya suami yang ganteng dan mapan seperti Pak Mandor,” timpal salah seorang temanku lagi.

Tak ada kata yang bisa aku lontarkan untuk menanggapi ucapan mereka. Aku hanya mengulas senyumku seperti yang juga dilakukan Mas Bara kepada mereka.

Karena setelah itu Mas Bara lebih memilih memintaku untuk mempercepat langkah kami hingga akhirnya kami sampai di rumah besar yang setahuku ditempati oleh Mas Bara selama menjadi mandor karena memang letaknya yang berdekatan dengan jembatan yang masih belum kelar pembangunannya itu.

Mulutku langsung membulat menjadi sangat terpukau ketika untuk pertama kalinya memasuki rumah yang dulu hanya bisa aku lihat luarnya saja.

Rumah ini ternyata begitu megah dengan lantai keramik yang tampak sangat bersih juga indah.

“Ayo masuk Rindu, aku akan tunjukkan sama kamu kamar kita.”

Mataku langsung menyergap sosok pria maskulin yang sudah berstatus sebagai suamiku itu. Ketika Mas Bara menyebut tentang ‘kamar kita’, entah mengapa darahku malah terasa berdesir panas.

Pikiranku menjadi tak bisa aku cegah untuk membayangkan tentang apa yang sudah kami lalui semalam, penyatuan kami yang penuh gairah yang jelas menggambarkan kekuatan suamiku yang begitu mendominasi.

Sekarang aku malah berpikir apa Mas Bara ingin mengajakku melakukan itu lagi?.

Bila mengingat itu hatiku malah menjadi bergidik, dengan perasaan yang kemudian menjadi tidak menentu.

Mendapati aku hanya terbengong diam, Mas Bara kemudian menghampiri dan menggandeng tanganku lagi untuk dia tuntun memasuki kamar luas yang kembali membuatku terpukau karena melihat kemewahan yang jelas masih begitu asing untukku.

Aku nyaris tidak percaya ternyata di kamar ini Mas Bara tidur di atas kasur pegas yang pastinya sangat empuk dengan busanya yang terlihat begitu tebal.

Bahkan baru pertama kali aku melihat kasur seperti itu secara langsung bukan hanya sekedar aku saksikan di tayangan iklan televisi saja.

Selama ini orang-orang di kampungku sudah cukup bersyukur tidur beralaskan kasur kapuk karena itu sudah sangat empuk dan sangat membuat kami tidur nyenyak.

“Apa kamu ingin mencoba ranjang kita?” tanya Mas Bara lembut ketika dia melihatku terus memandang kasur berukuran besar yang benar-benar membuatku terpukau itu.

Tanpa banyak bicara aku ikuti saja gandengan tangan Mas Bara yang menuntunku untuk duduk di sisi kasur yang ternyata memang sangat empuk itu.

Tanpa aku sadari bibirku mengulum senyum sembari tanganku terus mengelus sprei katun yang begitu halus dan adem terasa itu.

Setelah itu aku mulai memandang penuh arti ke arah Mas Bara yang sejak tadi memandangi dengan tanpa jenuh entah apa yang sedang dia lihat dariku saat ini.

“Mas, pasti Mas selalu bisa tidur nyenyak ya di sini, soalnya kasur ini sangat empuk.”

“Kenapa tidak kamu coba saja?” ungkap Mas Bara sembari mulai menghempaskan punggungnya di atas kasur yang kemudian membuat tubuhnya terlihat seakan berayun-ayun di atas kasur.

Aku benar-benar ingin mencobanya tapi aku masih saja terlalu canggung.

Namun sebelum aku menyadari semuanya mendadak tangan Mas Bara lalu meraih pinggangku yang membuatku ikut terseret dan berbaring di sampingnya, bahkan tubuhku menjadi tertarik untuk berada di dalam pelukannya, yang segera menerbitkan jerit kekagetan dari mulutku yang malah ditanggapi dengan kekehan gembira dari Mas Bara.

“Bagaimana rasanya? Empuk kan kasurnya?”

Aku hanya mengangguk menjawabnya tak bisa berkata apapun karena saat ini aku menjadi sibuk mengendalikan rasa gugupku karena harus kembali berdekatan dengan pria menarik dengan pesonanya yang luar biasa yang sungguh tak terbayangkan sudah menjadi suamiku itu.

“Rindu siang ini kita tidur di sini saja ya?” ajak Mas Bara tanpa ragu.

Aku terperangah gembira ketika mendengar ajakannya. Jelas aku bahagia bisa dengan segera merasakan keempukan kasur pegas yang dulu tak pernah aku rasakan.

Aku kemudian kembali mengangguk.

Mas Bara kemudian tersenyum penuh arti.

“Tapi kalau aku minta kita melakukan yang lain juga di sini, apa kamu akan mengabulkannya Rin?”

Aku sedikit mengernyitkan dahi sembari memandang wajah tampan suamiku yang saat ini begitu dekat denganku itu dengan rasa penasaran.

“Mas Bara mau minta apa?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status