Seminggu berlalu dengan cepat. Rachel bahkan tidak punya banyak waktu untuk memikirkan ulang keputusannya. Sejak menerima lamaran Martin, hidupnya berubah drastis.
Hari ini, ia berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin berwarna putih gading yang begitu indah, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan bisa ia kenakan. Namun, meskipun penampilannya sempurna, hatinya terasa kosong. Ia akan menikah dengan pria yang hampir tidak ia kenal, tanpa cinta, tanpa harapan untuk sebuah kebahagiaan seperti yang ia impikan sejak kecil. Upacara pernikahan berlangsung megah di sebuah hotel mewah. Tidak ada keluarga dari pihak Rachel yang hadir dan bukan karena ia tidak mau mengundang mereka, tetapi karena Martin sendiri yang melarang. “Tidak ada yang boleh tahu tentang latar belakangmu. Kamu adalah istri Martin Hartono, dan itu saja yang dunia perlu tahu.” Kata-kata pria itu terngiang di kepalanya. Rachel mengangguk pada dirinya sendiri di depan cermin. Hari ini bukan tentang cinta. Ini hanya sebuah perjanjian. Ia menarik napas panjang sebelum berjalan menuju altar. Martin berdiri dengan jas hitam yang sempurna, tatapannya dingin seperti biasanya. Tak ada kehangatan di matanya saat melihat Rachel mendekat. Para tamu undangan yang terdiri dari pebisnis, sosialita, dan orang-orang berpengaruh menyaksikan mereka dengan senyum penuh arti. Bagi dunia luar, ini adalah pernikahan antara dua insan yang saling mencintai. Tapi bagi mereka berdua, ini hanyalah sebuah kesepakatan bisnis. Martin mengulurkan tangan, dan Rachel meraihnya dengan ragu. Jari-jarinya terasa dingin di telapak tangan pria itu, seperti seseorang yang tak memiliki perasaan. Pendeta mulai berbicara, mengucapkan janji suci yang harus mereka ikuti. “Apakah Anda, Martin Hartono, bersedia menerima Rachel sebagai istri Anda, dalam suka maupun duka, sampai maut memisahkan?” Martin menatap Rachel sejenak, lalu berkata dengan nada datar, “Ya, saya bersedia.” Rachel menggigit bibir. Ia tahu kata-kata itu tak memiliki makna bagi pria itu. Pendeta lalu menoleh padanya. “Apakah Anda, Rachel, bersedia menerima Martin sebagai suami Anda, dalam suka maupun duka, sampai maut memisahkan?” Rachel terdiam sejenak. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ia baru saja menjual dirinya kepada iblis. Namun, ia mengingat ibunya yang sakit, mengingat hutang yang membelit, mengingat bagaimana hidupnya bisa berubah dengan kesepakatan ini. Akhirnya, dengan suara hampir berbisik, ia berkata, “Ya, saya bersedia.” Martin menyematkan cincin berlian di jarinya, dan ia melakukan hal yang sama pada pria itu. “Dengan ini, saya nyatakan kalian sebagai suami dan istri.” Tepuk tangan menggema di ruangan, dan para tamu bersorak. Tapi Rachel merasa seperti jiwanya baru saja direnggut. Martin menatapnya dengan datar sebelum berkata pelan, “Sekarang ciuman pengantin.” Rachel tercekat. Ia belum siap untuk ini. Namun, sebelum ia sempat mundur, Martin menarik pinggangnya dan mengecup bibirnya singkat tanpa perasaan dan tanpa kelembutan. Itu hanya sebuah formalitas, sesuatu yang harus mereka lakukan agar pernikahan ini terlihat nyata. Saat Martin melepasnya, Rachel tahu satu hal: hidupnya tak akan pernah sama lagi. Malam itu, mereka tiba di rumah baru Rachel sebuah vila mewah di atas bukit dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Rachel menatap sekeliling dengan kagum. Ia bahkan tak bisa membayangkan harga rumah ini. “Tuan M—maksud saya, Martin…” Rachel menoleh pada suaminya yang baru, merasa canggung. “Terima kasih untuk semuanya.” Martin hanya meliriknya sekilas. “Jangan salah paham. Aku tidak melakukan ini untukmu, tapi untuk kesepakatan kita.” Rachel menggigit bibirnya. Ia tidak tahu kenapa, tapi mendengar kata-kata itu tetap membuat hatinya nyeri. Martin melepas jasnya dan berjalan menuju tangga. “Kamar kita ada di lantai dua. Tapi jangan khawatir, aku tidak akan menyentuhmu. Ini hanya pernikahan di atas kertas.” Rachel mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya ada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa pun lagi, ponsel Martin bergetar. Pria itu mengernyit sebelum menjawab panggilan tersebut. “Apa?” Martin terdengar tegang. Rachel melihat ekspresi pria itu berubah. Mata dinginnya kini dipenuhi sesuatu yang berbeda—kekhawatiran. “Aku akan segera ke sana,” kata Martin sebelum menutup telepon. Rachel menatapnya bingung. “Ada apa?” Martin berbalik, wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. “Kakekku sekarat.” Rachel membelalakkan mata. Tanpa berkata apa-apa lagi, Martin bergegas keluar, meninggalkan Rachel sendiri di rumah besar yang terasa semakin asing dan menakutkan. Dan untuk pertama kalinya, Rachel menyadari bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang dirinya saja tapi juga tentang rahasia besar yang belum ia ketahui.Sudah hampir dua minggu sejak Dali Malik mulai bekerja di butik Rachel. Ia bukan hanya pekerja yang disiplin, tapi juga sangat telaten dan sopan kepada semua orang. Rachel sempat berpikir bahwa kehadiran Dali adalah keberuntungan. Ia bisa lebih fokus mengatur strategi penjualan dan peluncuran koleksi barunya.Namun tidak dengan Martin. Sejak pertama kali menatap mata Dali, ada sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang. Bukan karena Dali melakukan kesalahan, tapi karena firasat yang mengusik masa lalu.Saat Rachel sedang sibuk mempersiapkan promo untuk koleksi musim baru, Martin sengaja datang ke butik lebih awal dari biasanya. Ia memperhatikan bagaimana Dali bekerja dan memeriksa daftar pengiriman, membungkus paket dengan rapi, dan mengatur waktu pengantaran.Tatapan mereka sempat bertemu. Dali tersenyum sopan, tapi Martin tidak membalas senyuman itu. Ia justru menatap lebih dalam, seolah-olah ingin membaca isi pikiran pria itu.Setelah Dali pergi mengantar paket, Martin langsung mend
Surat dari Dali itu menghantam Rachel dan Martin seperti palu godam. Kalimat singkat namun penuh teka-teki itu menghantui pikiran mereka sepanjang malam: “Apa yang kau cari selama ini, lebih dekat dari yang kau kira.”Rachel duduk terpaku di kursi ruang tamu, surat itu masih tergenggam di tangannya. Sementara Martin mondar-mandir, mencoba menguraikan maksud dari pesan misterius itu.“Apa maksudnya ‘lebih dekat dari yang kau kira’?” gumam Rachel pelan.“Bisa saja dia bicara tentang Adrian,” balas Martin dengan nada penuh kekhawatiran. “Atau tentang keluargaku. Atau bahkan… kamu.”Rachel mengernyit. “Aku?”Martin menghela napas panjang. “Kita belum tahu apa tujuan dia sebenarnya, Rachel. Tapi dari caranya menyusup ke dalam butikmu, memalsukan identitas, dan kemudian meninggalkan surat seperti ini… jelas dia sedang bermain-main dengan kita.”Rachel memejamkan mata. Kepalanya terasa berat, seperti sedang ditarik oleh dua arah: logika dan firasat.Keesokan harinya, Rachel dan Martin memutu
Sudah seminggu sejak Martin mengetahui identitas asli Dali Malik. Namun, sampai saat ini, ia belum mengatakan apa pun kepada Rachel. Ia masih belum yakin apakah waktu ini tepat, terlebih karena kondisi Rachel baru mulai stabil, dan bisnisnya sedang berkembang pesat.Rachel tampak begitu bahagia menjalani hari-harinya. Ia aktif memantau penjualan butik, bahkan mulai menerima beberapa undangan kerja sama dari influencer fashion. Senyumnya kembali hangat seperti dulu. Dan Martin tahu, ia tak ingin merusak kebahagiaan itu—setidaknya belum sekarang.Namun, malam itu Martin kembali dibuat gelisah. Ia menatap foto lama Adrian dan pria yang belakangan ia yakini sebagai Malik Anshari—ayah dari Dali. Rasa curiga itu semakin kuat. Ia mulai menyusun rencana untuk menyelidiki lebih jauh masa lalu Dali secara diam-diam.Sementara itu di butik, Rachel mulai menyadari sesuatu yang janggal. Seorang pelanggan yang memesan gaun khusus komplain bahwa paketnya belum sampai, padahal sistem menyatakan sudah
Martin belum bisa tidur malam itu. Matanya terus menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang kacau. Di sampingnya, Rachel tertidur pulas, tidak menyadari gejolak yang berkecamuk dalam hati suaminya. Ia memandangi wajah Rachel yang terlihat tenang—wajah perempuan yang telah mengalami banyak luka, kehilangan ingatan, namun perlahan bangkit kembali dan menjadi dirinya yang sekarang: mandiri, kuat, dan penuh semangat. Tapi justru karena itulah, Martin semakin khawatir. Ia tidak ingin Rachel kembali terjebak dalam pusaran luka masa lalu, apalagi jika orang yang menyimpan bahaya berada begitu dekat dengannya. Martin kembali menatap foto lama yang ia temukan. Sosok pria muda di dalam foto itu adalah Malik Anshari, ayah kandung Dali Malik, yang juga merupakan orang yang sangat dekat dengan Adrian. Nama itu tak asing, dan kini Martin tahu pasti: Dali bukan sekadar kurir biasa. Ia punya koneksi yang tidak bisa dianggap sepele. “Dali bin Malik Anshari…” gumam Martin sekali lagi, penuh t
Sudah hampir dua minggu sejak Dali Malik mulai bekerja di butik Rachel. Sejauh ini, kinerjanya tidak mengecewakan. Ia bekerja tepat waktu, mengantarkan paket tanpa keluhan, dan selalu bersikap sopan kepada Rachel maupun staf lainnya.Rachel merasa lega karena beban pekerjaan semakin terbagi. Kehadirannya memungkinkan Rachel untuk lebih fokus mengelola desain dan produksi pakaian, juga menjalin kerja sama dengan vendor-vendor baru. Outlet yang ia kelola di salah satu mal ternama Jakarta kini menjadi sorotan banyak pelanggan. Bisnis berjalan lancar, dan setiap hari orderan online terus membludak.Namun, ada satu hal yang perlahan-lahan mulai mengganggu pikirannya. Beberapa kali, ia menangkap tatapan aneh dari Dali. Bukan tatapan menggoda atau tidak sopan—melainkan seperti tatapan seseorang yang menyimpan rahasia. Tapi Rachel selalu mengabaikannya. Ia mengira itu hanya prasangkanya saja.Suatu sore, Martin datang menjemput Rachel sepulang kerja. Saat ia menunggu di parkiran belakang mal,
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu. Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya. Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda. Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih b