Pagi yang biasanya tenang berubah menjadi medan perang bagi Rachel. Baru saja ia duduk di ruang kerjanya, ponselnya berdering tanpa henti. Pesan masuk dari berbagai platform: WhatsApp, email, bahkan DM Instagram pribadinya.Clara menerobos masuk sambil membawa tablet.“Kamu harus lihat ini sekarang!”Rachel mengambil tablet itu. Sebuah artikel berjudul “Keluarga Anshari Palsu? Istri CEO Terlibat Skandal Warisan” terpampang di laman depan salah satu portal gosip nasional.Rachel membaca cepat, matanya menyusuri tiap paragraf yang ditulis dengan nada insinuatif:“Menurut sumber terpercaya, Rachel Ayuningtyas, istri dari CEO Anshari Group, diduga memalsukan dokumen warisan demi mempertahankan posisi suaminya di jajaran direksi. Tak hanya itu, kabarnya ia juga pernah menjalin hubungan pribadi dengan mantan supir keluarga yang kini buron…”Tangannya mengepal.“Mereka mulai menyerang secara pribadi,” desisnya.Clara mengangguk. “Itu bukan portal abal-abal. Mereka punya trafik jutaan per ha
Rapat dewan luar biasa diadakan lebih cepat dari jadwal. Lokasinya masih sama—ruang rapat utama lantai 25 gedung Anshari Group, dengan meja panjang melingkar dan kursi berbalut kulit. Namun suasananya jauh lebih panas dari biasanya. Para pemegang saham dan komisaris hadir lengkap, beberapa bahkan datang dari luar negeri hanya demi agenda ini.Di ujung meja, duduk Ketua Dewan, Pak Nurdin—pria tua yang pernah sangat dekat dengan Tuan Malik. Wajahnya serius, membaca dokumen yang dikirim oleh kuasa hukum Renata pagi tadi.Pintu terbuka. Rachel melangkah masuk mengenakan setelan formal berwarna krem. Wajahnya tenang, langkahnya mantap. Semua mata tertuju padanya.“Maaf saya terlambat,” ucapnya.“Saudari Rachel,” suara Pak Nurdin berat. “Kami tidak memanggil Anda sebagai anggota dewan, tapi sebagai pihak yang akan memberi klarifikasi. Silakan duduk.”Rachel duduk dengan tenang. Ia meletakkan map di atas meja dan menatap satu per satu wajah di ruangan itu—termasuk Renata, yang duduk menyila
Kabut tipis masih menyelimuti kawasan Lembang saat Rachel dan Martin kembali mengunjungi vila peninggalan Tuan Malik. Hari itu, mereka datang tidak hanya sebagai pewaris, tapi sebagai penyelidik atas kebenaran yang selama ini dikubur rapat.Rachel memegang berkas-berkas dari Pak Ramli, matanya terpaku pada selembar akta kelahiran lama yang mencantumkan nama berbeda sebagai ayah Martin. Bukan nama Malik Anshari—melainkan seseorang bernama Yusuf Wijaya.“Yusuf Wijaya…” gumam Martin lirih. “Aku bahkan tidak pernah dengar nama ini.”Pak Ramli yang duduk di kursi rotan tua menghela napas panjang. “Tuan Malik bukan ayah biologismu, Nak. Tapi dia membesarkanmu sebagai darah dagingnya. Yusuf Wijaya adalah adik tiri beliau. Seorang idealis, tapi dianggap aib karena jatuh cinta pada wanita kelas bawah—ibumu.”Rachel menyentuh tangan Martin lembut. Wajah suaminya mulai berubah—antara bingung, marah, dan kecewa.“Kenapa semuanya disembunyikan?” tanya Martin. “Kalau memang dia ayahku, kenapa tida
Setelah keputusan pengadilan diumumkan, suasana di rumah Rachel dan Martin berubah. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ada kedamaian. Tapi di balik senyuman dan perayaan kecil itu, Rachel tahu badai belum benar-benar berlalu.Pagi itu, Rachel duduk di beranda belakang rumah dengan secangkir kopi. Clara, yang datang menginap semalam, menyusul sambil membawa dua potong roti panggang.“Tumben pagi-pagi kamu bangun duluan. Biasanya kamu baru keluar setelah Martin berangkat,” canda Clara.Rachel tersenyum tipis. “Entah kenapa, hari ini rasanya… hati aku tetap gelisah. Seperti ada sesuatu yang belum selesai.”Clara duduk di sebelahnya. “Karena kamu tahu Renata bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.”Rachel mengangguk pelan. “Dia kehilangan hak waris, tapi dia masih punya koneksi. Dan kalau dia mulai memainkan simpati publik, bisa saja dia pelan-pelan merebut pengaruh di perusahaan.”Clara menatap sahabatnya dengan prihatin. “Kalau begitu kamu juga harus siapkan dirim
Renata duduk di ruang kerjanya dengan tangan gemetar. Di atas meja, secangkir teh sudah dingin tak tersentuh. Telepon genggamnya terus bergetar—para pengacara, jurnalis, bahkan kenalan lamanya dari kalangan sosialita mengirimkan pesan bertubi-tubi.“Martin Anshari dinyatakan anak kandung Malik Anshari.”“Surat wasiat asli ditemukan.”“Video pengakuan pribadi Tuan Malik tersebar luas.”Renata menghempaskan ponselnya ke meja. Matanya merah, bukan karena menangis, tapi karena marah yang membakar.“Bocah itu… Rachel! Semua ini gara-gara dia!” desisnya.Dari balik tirai, dia melihat halaman rumahnya yang biasanya dipenuhi ketenangan kini dijaga oleh dua pengawal tambahan. Ia sadar, posisi dan reputasinya mulai terguncang. Tidak hanya dalam keluarga Anshari, tapi juga di dunia sosialita yang telah lama ia kuasai dengan topeng citra wanita elegan.Pintu diketuk. Rina, asisten pribadi Renata, masuk pelan.“Maaf Bu, ada tamu. Pengacara dari Jakarta, katanya urgent.”Renata menatap tajam. “Sur
Rachel duduk di ruang kerja rumahnya, jantung berdegup cepat. Martin di sebelahnya sedang menyalakan laptop. Di antara mereka, flashdisk kecil dari Pak Bowo tergeletak di atas meja—tampak biasa, namun terasa berat seolah menyimpan seluruh masa lalu keluarga Anshari.“Siap?” tanya Martin, menatap Rachel dalam-dalam.Rachel mengangguk. “Apa pun yang kita temukan… kita harus berani menghadapinya.”Martin memasukkan flashdisk ke port USB. Layar komputer langsung menampilkan folder berjudul: “Dokumen Rahasia – MA”.Rachel membuka folder itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada tiga file utama:1.Surat Wasiat Asli Malik Anshari (versi lengkap dengan sidik jari dan video testimoni)2.Hasil Tes DNA – Malik Anshari dan Martin.3.Video Pribadi Malik Anshari“Buka yang kedua dulu,” ujar Martin pelan.Rachel mengklik file Hasil Tes DNA. Tertulis jelas di dokumen itu: Martin Anshari adalah anak biologis Malik Anshari dengan tingkat kecocokan 99,97%.Martin terdiam, menatap layar tanpa be