Share

Selai madu cokelat

SABRINA

 

Aku meneguk kopi selagi terus mengunyah roti bakar Coklat madu di tangan kananku. Sarapan ini sangat lezat dan praktis. Ya, cukup juga mengenyangkan sebelum memulai mengawali hari. Tak butuh banyak waktu untuk menyelesaikan sarapanku tiap pagi, setelahnya aku langsung bersiap untuk berangkat.

 

"Sudah mau berangkat?" Suara seseorang mengintruksikan, membuatku menengok ke sumbernya seketika.

 

Cukup pagi kali ini Mas Bara bersiap ke kantor. Dia sudah menggunakan setelan rapi dan memasang dasinya sembari menghampiriku ke meja pantry dapur.

 

Aku mengangguk kecil, "Aku berangkat dulu, Mas."

 

Setelah mencuci tangan aku langsung menyambar tas dan berangkat kerja. Hari ini hari penting untuk meeting final konsep brand baru kami. Sekalian aku akan melakukan persiapan seleksi foto untuk model yang akan mengenakan pakaian couple dengan desain baju gamis terbaru kami. Ya, aku bersemangat dengan projects ini! Selain karena ini berarti tantangan baru, aku senang bisa bekerja sama dengan Salsabila, adik iparku.

 

Saat ini, adik iparku itu sedang bekerja sebagai editor dan fashion advisor dari Turki. Kalau Mas Bara dulu memanfaatkan masa mudanya dengan banyak berpesta, Salsabila menghabiskan waktu itu bekerja di luar dunia perbisnisan milik keluarga Majid.

 

"Aku harus puas meraup banyak ilmu dari perusahaan lain sebelum mengendalikan majalahku sendiri, Sabri. Kalau aku main pegang aja, ya identitas majalah itu ya sama aja kayak sekarang. Membosankan." Ujarnya kala itu.

 

Salsabila memang sudah berencana akan mengambil alih perusahaan majalah fashion keluarga Majid. Nama majalahnya pun masuk tiga terbaik di Indonesia, lumayan, kan? Tapi meskipun termasuk tiga majalah dengan penjualan terbaik, Salsabila bilang isi majalah itu membosankan. Tentu saja ia hanya akan mengatakan itu padaku saja, kalau orang lain tahu ia bisa diomelin.

 

Saat ini perusahaan itu masih dibawah pengawasan Mas Bara, akan dialihkan ke Salsabila saat dia kembali ke Indonesia beberapa hari lagi. Kalau aku ingat-ingat Mas Bara memang banyak memegang kerjaan sih. Kurasa dia memang suka sibuk diluar, entahlah.

 

Selama ini aku cuma mengawasi pekerjaan Salsabila melalui majalah tempatnya bekerja. Dia memang berbakat di pekerjaannya. Aku tak sabar menunggu aksinya ketika kami bekerjasama kelak.

 

***

 

BARA

 

Aku harus melakukan perjalanan go show ke Singapura. Itulah mengapa aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Aku tak terlalu suka bangun pagi, apalagi setelah minum-minum semalam. Saat aku menuruni tangga aku melihat punggung Sabrina yang bergerak-gerak di dekat meja pantry. Dia punya kebiasaan makan pagi sembari berdiri, seolah duduk dan makan dengan tenang bisa menghabiskan seluruh harinya. Selain itu, dia selalu terburu-buru saat sarapan, meskipun aku tahu dia selalu cuma sarapan roti oles coklat madu dan secangkir kopi atau terkadang teh.

 

"Sudah mau berangkat?" tanyaku.

 

Punggungnya menegang seketika dan tatapan kami bertemu. Dia mengangguk kemudian beralih kembali ke depan untuk cuci tangan kemudian berpamitan. Tidak ada obrolan berarti di antara kami, ya hanya begitu saja setiap harinya.

 

Aku melihat di meja makan dan menemukan makanan yang biasa dimakannya setiap pagi. Ku rasa tadi dia kebanyakan membuatnya, jadi tak dihabiskannya. Aku tak begitu suka rasa manis Madu, tapi entah kenapa aku ingin mencicipinya. Aku mengambil satu potong roti oles itu dan memakannya.

 

Kenapa tidak semanis dugaanku?

 

"Pagi, Pak."

 

Aku menoleh dan menemukan Bik Upik, pembantu di rumahku.

 

"Mau di buatin minum apa?" tawarnya.

 

"Air putih saja, Bik."

 

Aku tak lagi menggubris pembantuku yang sedang mengambilkan aku minum dan menikmati sisa makananku.

 

"Tumben kok makan roti, Pak? Kepengen roti gara-gara lihat Bu Sabrina makan itu ya?"

 

Aku tersenyum, "Iya. Tapi kenapa selainya nggak begitu manis ya, Bik?"

 

Wanita itu tersenyum, "Ibu bikin sendiri selainya, Pak. Makanya bisa atur manisnya. Ibu sama kayak Bapak, nggak terlalu suka manis."

 

Oh ya? Kukira kebalikannya.

 

"Bapak nyesel ya baru cobain sekarang? Dulu ibu suka bikin selai sendiri dengan berbagai rasa, Pak. Kadang bikin rasa vanila madu juga buah-buahan, bahkan kacang, Pak. Buat Bapak dulu Ibu sering bikin selai apel, buah kesukaan Bapak. Tapi karena Bapak nggak pernah memakannya, Ibu jadi cuma bikin selai untuk Ibu sendiri."

 

Skak mat. Aku pasti benar-benar mirip suami yang sering mengecewakan istrinya. Ya, tentu itu benar.

 

"Saya juga suka rasa yang ada varian madunya mulai sekarang kok, Bik," jawabku untuk menyembunyikan perasaan tidak enakku.

 

Bukannya niat membela diri, hanya saja menikah dengan wanita yang secara acak dipilih untukku membuatku canggung dan tak bisa menerima perhatian darinya. Mungkin kelewatan, sampai empat tahun aku memperlakukannya seperti itu. Sedari awal, aku sebisa mungkin menggambar garis batas yang jelas untuk kami. Sabrina tak pernah protes soal itu, sama sekali. Pengendalian dirinya cukup menakjubkan.

 

Sekarang? Tentu aku sudah nyaman hidup dengan Sabrina. Dia sangat pengertian dan menghormatiku. Dia bukan istri posesif yang gemar menanyaiku kapan aku pulang, sedang di mana, atau pertanyaan mengganggu lainnya. Selain itu dia menyenangkan untuk di ajak kompromi.

 

Aku rasa Sabrina memiliki pemikiran yang berbeda mengenai pernikahan ini. Dulu dia masih berusaha menjalankan kewajibannya sebagai istri. Salah satunya ya yang tadi di sebut pembantuku, menyiapkan sesuatu yang kusukai. Pemahaman kami yang berbeda tapi aku juga tak ingin menyakiti hatinya, jadi menghindari dia sampai dia menangkap maksudku kemudian berlalu begitu saja. Aku juga masih memiliki hati nurani, jadi masih ada rasa bersalah. Tapi bukan kah perasaan tak bisa dibohongi? Namun memang sejujurnya sikapku dulu memang selalu membuatnya sakit hati.

 

***

 

SABRINA

 

Masih di awal tahun pernikahan....

 

Sarapan pagi ini hanya ditemani roti selai buah alpukat plus kopi dan segelas teh hangat. Ku dengar suara pintu terbuka dari arah kamar Mas Bara yang sepertinya dia hendak pergi keluar.

 

"Mas?" Mas Bara mengehentikan langkahnya, ia kemudian menatapku seperti biasanya, wajah datar terkesan dingin.

 

"Apa?"

 

"Aku mau ke pasar, Mas,"

 

"Terus?"

 

"Boleh temani aku, Mas? Aku masih belum terlalu fasih dengan jalan di kota ini."

 

"Saya kerja."

 

"Tapi Mas, ini kan hari sabtu,"

 

"Saya kerja!" Perkataan Mas Bara barusan di barengi dengan tekanan tegas dari sebelumnya. 

 

Aku tak lagi melanjutkan perkataanku, ku tutup rapat-rapat bibir ini, menggigit bibir bawahku untuk meredam rasa sesak dalam dadaku. Padahal ini hari sabtu, kenapa Mas Bara masih tetap bekerja? Aku pikir di hari sabtu ini bisa ditemani Mas Bara ke Pasar, aku masih baru sekali di kota metropolitan ini. Jika masih di kampungku, Padang. Mungkin aku tak akan ingin menyusahkannya seperti ini.

 

"Ya udah, kalau begitu hati-hati, Mas."

 

Mas Bara berlalu tak menanggapi perkataanku. Ku coba menepuk dadaku sedikit kencang, agar rasa sesak ini tak makin menumpuk. Akupun sebenarnya juga tak ingin di posisi ini, tapi melihat wanita yang telah merawatku setelah Bunda tiada, tak kuasa aku untuk mengatakan tidak.

 

Aku berharap Allah masih mau berbaik hati padaku agar aku di berikan kelapangan dada, untuk bisa sabar menerima ini semua.

 

Bukankah ini terlihat sangat harmonis? Atau perlu diperjelas kalau ini sangat terasa miris?

 

***

 

BARA

 

"Jadi semua persiapan brand baru sudah beres?" tanyaku sembari menatap pria kurus berkaca mata di hadapanku.

 

"Sudah, Pak. Bu Sabrina tinggal bertemu dengan model untuk pemotretan kemudian usai."

 

"Akhir-akhir ini, Sabrina hanya berkutat soal brand baru aja? Tidak ada yang lainnya?"

 

Bimo, asisten sekaligus sopir pribadi Sabrina menggeleng dan mengatakan tidak. Bimo yang selalu mengikuti kemanapun Sabrina pergi adalah informan yang sempurna untukku.

 

Hubunganku dengan Sabrina memang tidak begitu dekat, tapi aku tidak mampu mengabaikan wanita itu begitu saja. Bagaimana pun dia istriku, aku harus tahu gerak geriknya di luar sana. Dia tanggung jawabku, setidaknya itu anggapan orangtuaku yang sangat menyayangi Sabrina. Mengabaikan keadaan Sabrina bisa membuatku dimarahi habis-habisan. Mereka lebih baik kehilangan satu perusahaan yang kutangangi ketimbang kehilangan Sabrina. Besar sekali bukan, pengaruhnya?

 

Untuk keperluan itulah aku menjadikan Bimo sebagai infomanku. Bimo adalah informan sempurna, karena dia selalu ikut kemanapun Sabrina pergi. Jadi sudah pasti dia tahu semua hal yang di lakukan Sabrina dan siapa saja yang ditemuinya.

 

"Ibu tidak pernah pergi kemana-mana, Pak. Apalagi semenjak Ibu Salsabila nggak ada di sini. Ibu cuma pergi ke tempat-tempat untuk urusan pekerjaan saja."

 

Salsabila adalah adikku satu-satunya sekaligus satu-satunya teman Sabrina di sini. Pertemuan di antara mereka terjalin semenjak empat tahun yang lalu. Salsa sengaja datang dari Turki untuk menemui calon kakak iparnya saat itu. Aku tahu bertapa kesepiannya Sabrina ketika dia masuk ke kehidupanku. Tidak ada teman yang menemaninya. Syukurlah kedatangan Salsa menjadi obat tersendiri untuk Sabrina. Keduanya mudah sekali akrab bahkan Salsa membantu Sabrina dalam banyak hal.

 

"Kamu boleh pergi."

 

Mendengar perintahku, Bimo pun keluar dari ruangan. Tanganku beralih mengambil handphone dan menekan satu nomor.

 

"Ini saya," ujarku ketika orang di sebrang sana menyapa.

 

"Telepon istri saya, bilang dia harus perawatan di salon. Bilang saja ini perintah Nyinya Majid, Sabrina pasti tidak akan menolak. Dia sudah lama tidak perawatan, kan?"

 

Dua tahun lalu sebelum Salsa berangkat ke Turki, dia pernah berpesan padaku untuk lebih memperhatikan Sabrina, karena istriku itu kesepian. Aku jelas tak mungkin mengajaknya menghabiskan waktu dengan teman-temanku bukan? Jadi aku melakukan hal kecil ini, meminjam nama Mama untuk membuatnya menghabiskan waktu di salon atau belanja. Sabrina sudah jarang melakukan perawatan di salon atau belanja. Sabrina sudah jarang perawatan, dia lebih memilih tenggelam dalam kesibukannya. Aku ingin Sabrina bisa sedikit santai menjalani hidupnya.

 

"Semua tagihannya kirimkan ke rekening saya," ujarku.

 

***

 

SABRINA

 

Aku tidak bisa menolak kalau yang menyuruh adalah Mama. Padahal aku sedang repot menyiapkan line brand baru, tapi salon tempatku biasa merawat diri mengatakan Mama memintaku perawatan. Yang ini sekarang jadi hal yang wajib kulakukan semenjak menjadi istri Mas Bara. Ini semua berawal dari kemauan Salsa agar aku memperhatikan penampilanku.

 

"Kamu itu cantik, Sabrina. Lesung pipimu juga menambah kecantikanmu. Dulu saja Mas Bara selalu menyebut asetmu itu sebagai hal yang paling mencolok. Tapi apa gunanya lesung pipi kalau lainnya tidak di rawat?!?!" omelnya.

 

Setelah itu dia membawaku untuk perawatan di salon ini. Mulai dari ujung rambut dan kaki, semua di rawat dengan baik. Awalnya aku tak terbiasa ketika tubuhku disentuh orang lain, tapi sekarang sudah kebiasaan saja. Aku menjalani perawatan hingga nyaris jam sepuluh malam. Pihak salon tentu tidak akan protes kalau melayaniku membuat membuat beberapa pegawainya lembur. Itu semua karena kekuasaan orangtuanya Mas Bara.

 

"Biar kali ini saya bayar tagihannya," ujarku ketika menuju kasir.

 

"Maaf, Bu. Sudah dimasukkan ke tagihan biasanya."

 

Ya sudahlah kalau begitu. Akupun segera meninggalkan salon itu dan pulang ke rumah.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status