Share

Berubah

BARA

 

Aku melihat ke Rolex Daytona di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Sabrina harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Sabrina dipertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu bagaimana gatalnya mulut para rekan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Sabrina tak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul seperti ini.

 

Setelah kulirik jam sekali lagi, akhirnya Sabrina muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gamis hitam yang sangat terkesan elegan dan make up yang membuatnya semakin terlihat bersinar. Senyum yang diikuti lesung pipi dari kedua sisi itu ekstrak sempurna yang menyempurnakan dalam balutan hijabnya. Tatapan kami bertemu kemudian Sabrina menghampiriku.

 

"Makin cantik saja kamu, Sabrina." Puji Bu Bambang, istri penyelenggara acara malam ini yang berdiri di dekatku.

 

Sabrina tersenyum, "Terimakasih, Bu."

 

Sulit menyembunyikan kecantikan wanita itu memang. Aku lelaki normal dan mengakui kalau Sabrina memang mempesona. Tanpa di suruh, sama seperti biasanya dia menemaniku ke acara seperti ini, dia akan menempeli aku untuk menyapa rekan-rekan kami. Menyapa dan berbasa-basi mengenai usaha masing-masing memang harus dilakukan disini.

 

"Bara," sapa seseorang yang membuatku dan beberapa orang disekitar menoleh.

 

"Selamat ulang tahun, Pak." Aku mengucapkan selamat pada yang empunya acara, sembari memeluk Pak Bambang yang barusan menyapaku.

 

Pak Bambang adalah salah satu pengusaha sukses dan teman lama orangtuaku. Kalau saja tak terhalang kesibukan mengurus usaha di Padang, Papa dan Mama pasti juga menghadiri acara malam ini. Tak hanya aku, Sabrina dan orang disitu mengucapkan selamat ulang tahun ke enam puluh tujuh tahun untuk pria sepuh itu.

 

"Bara, boleh aku ajak Sabrina berkeliling menemani laki-laki tua yang berulang tahun ini? Sudah lama aku tak bertemu kekasih hatiku yang cantik ini," ujar Pak Bambang yang diikuti tawa istrinya dan Sabrina.

 

Aku menatap Bu Bambang yang terlihat santai kemudian kepada Sabrina yang nampak tak keberatan. Selanjutnya Pak Bambang membawa Sabrina berkeliling menikmati semua jamuan yang tersedia disana, sambil sesekali berinteraksi dengan tamu yang lainnya.

 

Pak Bambang memang sedari dulu mengagumi banyak wanita cantik, makanya sering menggoda mereka seperti itu. Tapi tak ada itikad buruk, kepada Sabrina godaan itu hanya seperti candaan orangtua kepada anaknya. Baik aku maupun Sabrina pun sudah paham, jadi kami bisa santai saja menerima perhatian seperti itu. Toh, Pak Bambang kalau berani macam-macam bisa kulumpuhkan dengan cepat, dia sudah berada di usia yang tak bisa melawan kalau disakiti olehku yang berolahraga rutin boxing dan muay thai.

 

"Aku bahkan sudah tidak bisa cemburu melihat kelakuannya. Dia selalu mengatakan mengagumi Sabrina," ujar Bu Bambang padaku.

 

"Sabrina menganggapnya seperti Papa, Bu."

 

"Tentu saja. Kamu memang beruntung memiliki Sabrina. Dia perhatian dan juga cantik," puji Bu Bambang lagi.

 

Ya, kecantikan Sabrina sekarang memang jauh berbeda dari dulu saat pertama kali kami bertemu. Meskipun cukup manis dengan lesung pipi yang dalam, Sabrina memang tak terlihat begitu memikirkan penampilannya dulu. Perubahan Sabrina terjadi karena campur tangan adikku Salsabila. Dia membawa Sabrina merawat diri ke salon secara rutin dan mengajarkan Sabrina mengenai fashion. Tidak sia-sia, Sabrina yang sekarang memang berkilau dan membuat orang lain memujiku beruntung memilikinya.

 

"Kamu nggak ada rencana buat punya anak sama Sabrina memangnya, Bara? Belum ada penerus lagi di keluargamu," tepukan ringan di lenganku membuyarkan lamunanku sesaat tadi.

 

"Aku yakin, orangtuamu juga berharap kamu segera beranak pinak. Empat tahun menikah masa tidak ada tanda-tandanya punya anak. Mumpung kalian masih muda, bikinlah beberapa anak," sambung Bu Bambang.

 

Aku hanya tersenyum kecil menanggapi topik itu. Bagaimana bisa hamil jika tidak pernah mengusahakan punya? Selama empat tahun bersama, kegiatan tidur bersama memang sering kami lakukan. Hanya saja, kebanyakan tidak ada hubungannya dengan kegiatan yang bisa menghasilkan anak. Sebenarnya pernah. Hanya sekali terjadi, dan hingga saat ini aku mengutuk kejadian itu.

 

"Mungkin Salsabila bisa mendahului, Bu."

 

Aku memilih menyambar nama adikku untuk menghindari topik pembicaraan ini.

 

"Aku ragu kalau Salsabila akan menikah. Dia masih suka dengan hidupnya sendiri. Adikmu itu bukan tipe yang betah dan telaten seperti Sabrina."

 

Wajar saja Bu Bambang berpikiran seperti itu, pemikiran itupun sama  bagi kebanyakan orang. Salsabila seumuran dengan Sabrina, tapi dia masih suka bekerja, menghadiri fashion show dan menghadiri banyak pesta menyenangkan lainnya. Tak ada tanda-tanda dia ingin melepaskan masa lajangnya.

 

"Sebentar lagi juga akan menikah, Bu. Ibu tahukan umur tiga puluh itu umur maksimal saya dan Salsabila bebas?"

 

Aku menyinggung soal batas usia bebas yang di berikan orangtua kami untuk kami melajang.

 

"Tentu. Dzikri pasti akan menjodohkan Salsabila segera. Oh ya, bagaimana kalau dengan anakku saja?"

 

Aku terkekeh namun dalam hati tak setuju. Tama, anak keluarga Bambang, terlalu berbahaya. Playboy yang belum tobat.

 

"Ah, tapi susah juga punya menantu seperti Salsabila. Aku pasti kewalahan mendidiknya." Aku terkekeh mendengar timpalan Bu Bambang barusan. Ku rasa memang ide buruk menjodohkan dua orang itu.

 

"Sabrina itu hebat, Bara. Karena bisa beradaptasi sama lingkungan kita ini. Jujur saja dulu kupikir dia akan meminta cerai darimu tak lama setelah kalian menikah. Dia gadis yatim piatu, walaupun sebenarnya ayahnya masih belum diketahui entah hidup atau tidak di kota asalnya, tiba-tiba menjadi menantu dikeluargamu. Aku yakin dia kaget-kaget menghadapi dunia barunya. Tapi siapa sangka dia masih bertahan saja. Aku salut dengannya," ujar Bu Bambang yang entah kenapa terasa sedikit menyinggungku.

 

Dari kejauhan aku menatap wanita itu. Dia terlihat fokus mendengarkan Pak Bambang dan sesekali tertawa. Sabrina memang selalu seperti itu, mudah tersenyum dan tertawa saat disekitar orang lain, bahkan orang lain. Garis bawahi, dengan siapapun kecuali saat bersamaku. Saat hanya ada kami berdua, biasanya suasana akan menjadi kikuk dan tidak nyaman. Ah, aku tidak suka merasa bersalah seperti ini.

 

Untungnya pembicaraan itu usai saat Sabrina kembali. Dia nampak lelah berkeliling dan berinteraksi dengan orang lainnya cukup lama. Melihat hal itu aku menyodorkan segelas fruit punch untuk mengusir dahaga yang diterima Sabrina.

 

"Sudah kuduga, setelah Sabrina pasti dia mengincar Stella," cibir Bu Bambang ketika suaminya beralih partner dengan wanita muda lainnya.

 

Sabrina dan aku tersenyum melihat Bu Bambang yang nampak menyerah menghadapi suaminya.

 

"Bapak bilang apa saja? Kamu dirayu?" tanyaku ketika Bu Bambang berlalu.

 

Sabrina mengangguk, "Sudah biasa."

 

Aku tersenyum seolah memahami isi pembicaraan Pak Bambang dan Sabrina.Tak lama kemudian pesta usai. Bersama dengan para undangan lainnya, aku dan Sabrina bersiap meninggalkan tempat acara.

 

"Seharusnya Mas tadi kasih tahu aku kalau ini undangan ulang tahun Pak Bambang. Aku tidak tahu jadi tidak menyiapkan kado," ujar Sabrina saat kami keluar beriringan.

 

"Kamu mau jadi partner berkelilingnya saja dia pasti senang, Na. Lagian aku sudah menyiapkan hadiah, itu cukup."

 

Sabrina tersenyum kecil dan kembali mengikuti langkah kakiku keluar dari gedung.

 

"Kamu nggak pulang sama aku aja, Na?"

 

Kami berhenti di lobi dan menantikan mobil datang.

 

Sabrina menggeleng, "aku harus kembali ke kantor, Mas."

 

"Mengurus brand baru?"

 

Aku sudah mendengar kabar itu dari beberapa orangku.

 

"Ya, Mas."

 

"Aku sudah mendengar berita line baru itu. Selamat, Na."

 

Sabrina tersenyum kemudian berlalu menuju mobilnya sendiri yang datang terlebih dahulu.

 

"Na," panggilku tepat sebelum dia masuk ke mobil.

 

Panggilan itu membuatnya berhenti dan menoleh.

 

"Hati-hati."

 

Sabrina cuma membalas dengan tersenyum kecil. Mobilnya kemudian bergerak menjauh meninggalkan gedung ini.

 

Sabrina memang sudah berubah dari empat tahun lalu.

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status