Lisa tersenyum dan mengangguk kecil sembari mengulurkan kedua tangan.
“Ayo, Bik! Berikan padaku.” “T-tapi, Nyonya. Tadi Aden bilang kalau—” “Enggak pa-pa, Bik. Dia enggak akan berani marahin Bibik. Nanti aku yang bakalan ngomong kalau aku yang minta nampannya ke Bibik. Hm?” Dengan rasa sungkan dan juga bingung, akhirnya kedua tangan Bik Darsih pun maju untuk menyerahkan nampan berisi sarapan milik sang tuan muda. “Makasih, Bik Darsih.” “Iya, Nyonya. Kembali kasih.” Lisa pun mulai melangkah hendak menuju kamar putra dari suaminya. Namun, baru sampai di undakan anak tanggal kelima, ponsel di saku gamisnya berdering. Refleks ia menghentikan langkah. Bik Darsih sigap mendekat. “Biar saya saja, Nyonya.” Tiba-tiba dering ponsel berakhir. “Kayaknya cuma orang iseng yang nelepon, Bik. Nih, udah mati,” ucapnya dengan senyum ramah. Sungguh. Pesona nyonya muda sangat menentramkan jiwa. Walau masih dua puluh lima tahun, tetapi Lisa bukan wanita matrealistis. Ia ada di rumah megah ini karena kemauan Atmaja, bukan ia yang memaksa menjadi penghuninya. Wajahnya ayu, tubuhnya pun sintal. Poin plusnya, Khalisa menutup keindahan tubuhnya dengan pakaian muslimah. Dan lagi, Bik Darsih hanya mengangguk patuh mendengar kalimat istri tuannya. “Bibik belum sarapan, kan?” “Iya, Nyonya. Belum.” “Ya sudah, Bibik sarapan saja. Ini aku yang bawa. Oke?” Bik Darsih tak mau membantah. Ia hanya pelayan keluarga walau sudah senior. Akan tetapi, wanita muda di hadapannya adalah seorang nyonya walau usianya sama seperti anaknya di kampung. “Baik, Nyonya.” Namun, lagi-lagi ponsel Lisa berdering. Deringnya cukup lama hingga akhirnya ia berbalik dan mengembalikan nampan beserta isinya kepada pelayan senior di mansion-nya. Dengan cepat Bik Darsih menyambut. “Ah. Sepertinya memang belum rezekiku, Bik.” “Tidak apa-apa, Nyonya. Masih banyak kesempatan bertemu dengan Aden.” Lisa mengangguk dan segera mengeluarkan ponsel dari saku gamisnya. Bik Darsih pun bergegas naik menuju kamar Deva sebelum tuan mudanya kesal karena menunggu terlalu lama. Mata Lisa terpaku menatap nomor pemanggil yang tertera di ponselnya. Nomor itu berkali-kali melakukan panggilan sejak beberapa hari yang lalu, tetapi tak pernah Lisa respons. “Siapa, ya, ini?” gumamnya pelan. Takut penting akhirnya panggilan pun Lisa jawab. “Assalamualaikum?” ‘Akhirnya ....’ DEG! Lisa terdiam saat mengenal suara di seberang sana. Ia pun menahan napas demi menahan segala amarah jika mengingat cerita di masa lalu. “B-Bude Rukmi?” ‘Ingat juga kamu sama saudara ibumu.’ Lisa tersenyum hambar. “Bude tahu dari siapa nomor Lisa?” ‘Udahlah. Enggak usah banyak tanya,’ jawab Rukmi mulai ketus. ‘Kamu jangan seperti kacang lupa kulitnya, ya, Lis. Mentang-mentang jadi istri orang kaya, keluarga sendiri dilupakan!’ Lisa memejam sebentar. Ia pun menuruni anak tangga dan berjalan ke arah sofa. “Bude apa kabar?” ‘Halah! Enggak usah sok-sok'an peduli kamu. Mana ada kamu nanyain kabarku kalau aku tidak meneleponmu lebih dulu?’ “Iya, Bude. Lisa minta maaf. Lisa kehilangan ponsel.” ‘Maaf! Maaf! Kamu pikir dengan kata maafmu itu hidupku langsung bisa kaya, ha?!’ Lisa sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Bukan. Bukan ia tak peduli pada kakak dari ibunya itu. Namun, konon, Rukmi adalah anak pancingan yang diasuh oleh kedua kakek nenek Khalisa sebelum ibunya hadir dalam rahim sang nenek. Selama ini, Rukmi-lah yang menguasai harta peninggalan kakek dan nenek Lisa hingga Lisa beserta ibunya harus pergi dari rumah warisan yang sebenarnya menjadi hak Bu Rika, ibunda Lisa. Bu Rika dan Lisa memilih pergi dari rumah itu lantaran Rukmi sudah menggadaikan sertifikat rumah tersebut pada bank. Bu Rika tak mau terus-terusan dijadikan alat bagi kakak angkatnya untuk membayar cicilan bank di setiap bulan. “Terus sekarang Bude nelepon Lisa maksudnya apa?” Lisa pun mulai terpancing emosi. ‘Heh! Kamu itu enggak ada sopan-sopannya sama yang tua! Aku butuh uang!’ “Lalu? Kenapa minta sama Lisa?” 'Ya karena kamu keponakanku.’ Lisa tersenyum sinis. “Keponakan yang selalu Bude zolimi? Iya? Bukankah Bude Rukmi yang menggadaikan sertifikat rumah kakek dan menikmati uangnya sendiri? Apa Lisa dan almarhumah ibu pernah memakainya? Sepeser pun kami tak ikut menikmati. Tak tahu menahu soal semua itu. Lalu sekarang Bude menghubungi Lisa hanya untuk minta uang? Gurih sekali hidupmu, Bude.” Akhirnya Lisa mulai geram. Baru pertama ini ia bisa meluapkan segala kekesalan yang dipendam. ‘Heh! Sudah mulai berani kamu, ya?!’ Klik! Lisa memutus sambungan sepihak dan langsung memblokir nomor salah satu kerabatnya itu. Ia bersandar pada bahu sofa. Hidupnya sempat terlunta-lunta setelah sang ayah pergi. Ibunya yang sudah janda harus berjuang sendiri demi dirinya. Bu Rika dan Lisa kembali ke rumah warisan dari sang nenek lantaran tak kuat lagi membayar sewa kontrakan. Namun, di rumah itu Rukmi malah menjadikan keduanya sapi perah. Rika yang berjualan nasi uduk di depan rumah selalu dimaki-maki oleh Rukmi lantaran tak bisa membantu membayar cicilan rumah pada bank. “Mbak, harusnya Mbak Rukmi yang bertanggung jawab. Kenapa harus melemparkannya pada kami?” “Karena kamu anak kandung dari ibu dan bapak!” “Tapi, Mbak Rukmi yang menggadaikan rumah ini, bukan aku!” “Dan apa kamu rela jika rumah ini akan disita bank karena tak ada yang mau mencicil angsurannya?” “Aku tak peduli, Mbak. Hidup ini hanya sebentar. Aku tak akan mau menjadi sapi perahmu. Ada Lisa yang harus lebih aku utamakan. Kamu yang berbuat, jadi kamulah yang mesti bertanggungjawab.” “Kurang ajar!” Lisa dan sang ibu pun akhirnya kembali keluar dari rumah tersebut secara diam-diam. Pergi ke desa sebelah dan mencari kontrakan agar hidup lebih tenang. Awalnya semua berjalan dengan harapan. Hidup tenang berdua saja dengan putri semata wayangnya yang sudah berkuliah semester tiga. Lisa yang semakin tumbuh cantik mulai menjadi perbincangan para laki-laki desa seusianya. Dan kabar wangi itu pun sampai pada seorang pria hidung belang yang punya banyak istri. Ialah pria bernama Tatang Kurnia yang lebih dikenal dengan nama Tuan Takur. “Aku ke sini hanya ingin menyampaikan, bahwasanya almarhum suamimu memiliki hutang padaku.” Ucapan Tatang Kurnia cukup membuat Rika terkejut. “Ti-tidak mungkin, Tuan. Suami saya tak mungkin berhutang sampai sebanyak ini.” “Ya. Memang tidak. Tapi, cicilan kurang dua kali suamimu sudah mati. Cicilan dan bunga terus berkembang karena aku pun tak tahu ke mana rimba istri dan anaknya yang seharusnya ikut bertanggungjawab pada hutang itu.” Bu Rika menggeleng. Lisa pun yang mengintip dari balik gorden kamar hanya bisa diam sembari mendengarkan. “Tolong, Tuan. Jangan bebani kami dengan bunga hutang itu. Kami hidup pas-pasan. Uang jualan saya hanya cukup untuk makan dan membayar sewa kontrakan. Masih untung si Lisa kuliah karena beasiswa." “Kalau begitu, berikan saja anak gadismu itu padaku, Rika. Aku janji akan menghapus semua hutang suamimu dan akan menjadikanmu mertua yang paling aku hormati. Bagaimana?” “Hei, Pak Tua! Ingat umur, dong. Kamu itu sudah jadi incaran malaikat maut.” Sebuah suara dari luar rumah membuat Rika dan Lisa tercengang. []Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.