Pagi hari, Atmaja sudah rapi dengan pakaian kerja yang amat sangat pas membalut tubuh proporsionalnya. Ia berdiri di depan cermin full badan hingga pantulan keindahannya terlihat sempurna. Lisa berjalan menghampiri suaminya.
“Bagaimana kamu tak semakin digilai oleh para karyawatimu, Mas? Apa tak bisa pergi ke kantor dengan tampilan biasa saja?” Kalimat satir penuh nada cemburu itu membuat Atmaja tersenyum lebar. Ia berbalik dan menarik pinggang istrinya hingga wajah ayu Lisa terangkat dan menghadapnya. “Kamu cemburu? Hm?” tanya Atmaja dengan lembut. “Perempuan mana yang tak akan ketar-ketir melihat suaminya tampil sempurna ketika berangkat kerja? Bukan hanya ipar yang maut, Mas. Karyawati pun bisa menjadi maut untuk bos-nya yang super perfeksionis.” Atmaja tergelak dan mengecup pelan bibir istrinya. “Apa istri Mas Maja yang jelita ini mau menjadi sekretaris suaminya?” Lisa menggeleng. “Nanti Mas malah tak fokus bekerja.” “Ya, tentu saja. Karena Mas akan lebih memilih bekerja denganmu sepanjang waktu.” “Ih, gombal!” “Kalau Mas mau, sudah sejak dulu Mas akan gilir para karyawati Mas satu persatu untuk kencan setiap hari, Sayang. Tapi, satu pun dari mereka tak ada yang membuatku bern*fsu.” Lisa hanya mencebik walau itu memang benar adanya. Atmaja Gandhi, seorang pimpinan yang cukup setia pada mendiang sang istri. “Ah, aku jadi ingin cepat mengandung anakmu, Mas. Biar aku semakin yakin kalau saat ini dan seterusnya cintamu memang hanya untukku.” “Pasti, Sayang. Kita akan segera berkonsultasi dengan dokter terbaik untuk program kehamilanmu nanti. Meminta vitamin terbaik dan pastinya harus sering lembur.” Kerlingan Atmaja membuat Lisa tergelak renyah. Ia pun mulai ketagihan dengan permainan panas tapi penuh kelembutan yang Atmaja berikan. Ternyata benar opini orang-orang, bahwa yang matang memang jauh lebih menantang. Namun, terkadang hubungan itu menarik Lisa pada sebuah insiden di masa lalu. “Ya, sudah. Ayo kita turun. Temani Mas sarapan.” "Sebentar, Mas. Aku pakai kerudung dulu." Tiga orang pelayan dengan pakaian khas sudah menunggu. Segala macam hidangan tertata di meja mahal dengan sentuhan warna gold. Awal-awal menjadi nyonya muda, Lisa pernah protes. Kenapa makanan di meja amat sangat banyak? Ternyata walau hanya makan berdua saja dengan porsi cukup, para karyawan di mansion megah Atmaja selalu makan dengan menu yang sama. Itu artinya sisa makanan tak akan terbuang percuma. “Terima kasih, Bik Darsih,” ucap Lisa lembut pada ketua pelayan. “Sama-sama, Nyonya.” Kepala pelayan yang sengaja Atmaja bawa dari mansion sebelumnya ingin mengatakan sesuatu. Namun, bibirnya kembali terkatup rapat saat mengingat ucapan tuan muda yang baru datang semalam. “Kami permisi, Tuan, Nyonya.” Atmaja hanya mengangguk, sementara Lisa tersenyum mempersilakan. “Kalau kamu bosan, ajak mereka berbincang,” ucap Atmaja di sela mengunyah. “Jangan pernah keluar rumah tanpa seizin Mas, ya, Sayang. Mas hanya tak ingin kepolosan, rasa simpati, dan juga empatimu akan dimanfaatkan orang-orang di luar sana.” “Iya, Mas ...,” jawab Lisa lembut. “Kalau kamu mau belanja atau nyalon, ajak juga salah satu dari mereka. Bik Darsih, dia orang kepercayaan Elnara. Ajak dia atau pelayan lainnya ke mana pun kamu mau.” Elnara Yildiz, mendiang istri Atmaja Gandhi yang berwajah ayu berdarah Turki. “Iya, Mas. Aku akan patuhi semua perintahmu dan akan mengingat apa-apa yang kamu larang padaku.” “Kamu begitu manis, Sayang.” “Terima kasih, Mas.” Keduanya melanjutkan sarapan dengan bahasa cinta yang indah. “Bik, Tuan Maja itu memang romantis, ya?” tanya Wati, pelayan junior yang belum ada enam bulan ikut bergabung. “Ya. Beliau selalu memperlakukan istrinya seperti ratu,” jawab Bik Darsih. “Tampan, kaya raya, menghormati wanita, apa masih ada stok pria seperti Tuan, ya, Bik?” “Kamu mau?” “Iyalah, Bik. Siapa juga yang tak mau diratukan oleh suaminya nanti? Lili aja juga ngiler itu.” “Dih? Kenapa bawa-bawa nama saya?” Wati terkikik. “Sudah, sudah. Sebentar lagi Tuan dan Nyonya akan selesai makan.” “Eh, iya, Bik. Tuan muda kenapa enggak dibangunkan juga?” Bik Darsih langsung meletakkan jari telunjuk ke tengah bibirnya. Wati hanya mengangguk patuh setelah disenggol oleh Lili. “Biarkan Aden keluar kamar dan turun sesuai keinginannya. Kalau beliau memanggil, langsung datang dan tanya apa yang diinginkan.” “Oh. Siap, Bik!” Tak berapa lama, Atmaja berikut sang istri meninggalkan meja makan. Dengan penuh sayang, Atmaja merangkul pinggang Lisa dan keduanya berjalan ke depan. Atmaja akan segera pergi ke kantor. Sementara di kamarnya, wajah bantal Deva masih amat sangat kentara. Ia lapar, tapi matanya masih teramat sangat lengket dan ia sangat malas jika harus turun. Nomor ponsel Bik Darsih yang tak pernah diganti sejak dulu langsung Deva panggil. ‘Iya, Den?’ “Aku lapar, Bik. Tapi, mataku masih lengket. Bisa bawakan makanan untukku?” ‘Bisa, Den,’ jawab Bik Darsih dengan sopan. “Makasih, Bik.” Bik Darsih mengangguk. “Eh! Satu lagi. Bibik yang ngantar, ya. Jangan pelayan yang lain.” 'Siap, Den. Bibik langsung yang akan ke kamar Aden.' “Hm.” Klik! Bahkan suara Deva masih terdengar serak khas orang bangun tidur. Bik Darsih tersenyum dan segera menyiapkan nutrisi pagi favorit anak sang majikan. Roti gandum dan susu almond. “Buat siapa, Bik?” tanya Wati. “Tuan muda,” jawab Bik Darsih singkat. “Biar saya yang antar, Bik.” Bik Darsih menggeleng. “Kalian sarapan saja. Panggil satpam dan pekerja lainnya sekalian. Tuan muda menyuruhku yang datang ke kamarnya untuk membawa sarapan ini.” “Oh, begitu.” Lili dan Wati mengangguk. Bik Darsih segera melangkah untuk menaiki tangga. Rumah mewah nan megah yang Wati sebut sebagai istana di awal bekerja itu cukup membuat para pelayan capek berjalan di dalamnya. Wati dan pekerja lainnya sering tersesat di dalam mansion tersebut. Namun, lama-lama mereka pun terbiasa. Langkah Bik Darsih pun sudah menginjak anak tangga pertama. Dan bersamaan dengan itu, keletuk sandal berbahan sintetis milik Lisa datang mendekat. “Bik, mau bawa makan untuk siapa?” “Eh, Nyonya. I-ini untuk ....” Bik Darsih terdiam. Alis Lisa mengernyit. “Ada yang datang?” tebaknya. “E, a-anu, Nyonya. Semalam tuan muda sudah pulang. Tapi, beliau menyuruh kami semua untuk tidak memberitahu Tuan Besar dulu. Katanya, dia ingin istirahat dulu, tak mau diwawancarai oleh papanya.” Lisa tersenyum tipis. Ia teringat ucapan suaminya jika sang putra sedikit nakal dan penuh kejutan. “Biar saya yang bawakan makanan untuk dia, Bik. Kami belum berkenalan,” ucap Lisa sembari meminta nampan yang dibawa oleh Bik Darsih. []Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.