“Deva?” Lisa keluar dari kamarnya.
Tuan Takur menatap Lisa, lalu beralih pada pria bertindik di salah satu telinganya itu. Deva melangkah dan ikut bergabung ke ruang tamu. “Berapa hutang suami Bu Rika? Aku yang akan melunasinya.” Tatang Kurnia tersenyum miring. “Bocah bau kencur mau ikut campur!” “Yang penting belum bau tanah dan enggak jadi lintah pengis*p darah,” balas Deva begitu berani. “Kurang ajar!” Kepalan tangan sang rentenir terangkat hendak memukul Deva. Namun, dengan gerakan cepat langsung ditangkap. Kekasih Lisa itu cukup berotot hingga beberapa detik kemudian pergelangan tangan Tatang Kurnia berhasil Deva putar. “Aooww! L-lepaskan, Anak Muda. Ini sangat sakit. Aoooww!” “Katakan, berapa uang yang harus aku lunasi?” “B-baik. Tapi, lepaskan dulu.” Bu Rika dan Lisa setengah memeluk. Mereka takut jika para pria sudah menggunakan aksi fisik untuk membereskan satu masalah. Deva pun segera menyodorkan ponsel setelah melepaskan tangan pria tersebut. “Catat nomor rekeningmu. Aku akan mentransfer uangnya.” Tatang Kurnia menatap ponsel mahal yang disodorkan dan juga pemiliknya secara bergantian. Ia percaya kalau pria tampan seusia Lisa itu bukan anak orang biasa. Dengan masih menahan sakit di pergelangan tangan dan jarinya, sang juragan yang ahli menggandakan uang itu segera menuliskan sebuah angka melebihi nominal yang harus dibayar plus nomor rekeningnya. “Dua puluh juta?” ucap Deva membaca tulisan di ponselnya. “B-bohong!” sentak Bu Rika. “Bukankah Tuan hanya bilang sepuluh juta?” Dengan cepat Deva mendorong leher pria berhidung besar itu hingga badannya terduduk kembali ke kursi yang sempat ia duduki tadi. Tatang Kurnia terbatuk-batuk karena tekanan jari Deva pada lehernya cukup kuat. Bukannya pasrah dan merasa bersalah, sebelah kaki Tatang terangkat hendak menendang kaki Deva. Namun, dengan cepat Deva menginjak lutut kanannya lebih dulu. Krekk! “Aaargh!!!” “Berhenti bermain-main denganku, Pak Tua!” desis Deva sembari menambah kekuatan jarinya menekan leher sang lawan. “Apa kau ingin aplikasi pin*jol yang kau kelola akan kuhapus permanen data-datanya, hm?” Mata Tatang Kurnia membola. “Si-siapa kau, Anak Muda?” “Kau pasti tak asing dengan nama Aleksei Moriz, bukan? Dia abangku.” Tubuh Tatang mulai gemetar. Ucapan dan sebuah nama yang Deva sebutkan cukup memprovokasi pikirannya. Walau ia belum pernah berurusan dengan dunia bawah tanah, tetapi nama putra dari hacker hitam—Jhonzey Moriz—pembobol nomor satu soal pertahanan perusahaan itu cukup menjadi perbincangan hangat di kalangan bandit kelas kakap. “Jangan pernah intimidasi Lisa dan ibunya, atau ... kau akan kehilangan sumber uang-uangmu. Paham, Pak Tua?” “B-baik. Aku anggap lunas semua hutang bapaknya Lisa. T-tapi tolong, jangan kau adukan perbuatanku pada Aleksei Moriz.” Ternyata Tatang Kurnia cukup ketakutan. Padahal Deva hanya pernah tahu jika papanya memakai jasa Aleksei Moriz untuk men-take down virus yang pernah menyerang sistem perusahaannya. “Oke. Pulanglah! Jangan pernah ganggu Lisa dan ibunya!” Mata Lisa sudah basah mengenang kisah flash back itu. Ia mengusap air kesedihannya mengingat hidupnya yang dulu cukup sulit. "Kadeva ...," ucapnya lirih. “Nyonya?” “Eh?” Lisa menoleh dan melihat Wati berdiri agak jauh di sampingnya dengan sebuah nampan. Di atasnya ada segelas air putih dan sebotol vitamin kecantikan yang biasa Lisa konsumsi. “Nyonya nangis?” Dengan cepat jari lentik Lisa mengusap air matanya. Ia pun tersenyum. “Sini, Ti. Duduk!” ucapnya sembari menepuk sofa di sebelah ia duduk. Wati menggeleng dengan tersenyum. Ia langsung menekuk lutut di karpet tebal yang menjadi alas sofa. Kedua tangannya terulur meletakkan nampan di meja. “Tidak usah, Nyonya. Saya di sini saja.” Lisa menggeleng. “Enggak pa-pa. Kalau enggak sedang sama Tuan, kita biasa saja, Ti. Seperti teman.” “Jangan, Nyonya. Ada CCTV.” Lisa terkekeh. “Memangnya kenapa? Kita hanya berbincang. Bukan sedang melakukan adegan kejahatan.” “I-iya, sih.” Lisa kembali tersenyum dan segera menelan satu kapsul penunjang kulit sehatnya. “Kamu punya pacar, Ti?” “Eh? Belum, Nyonya.” “Berapa usiamu sekarang?” “Dua puluh tiga, Nyonya. Sama dengan Lili.” “Kalian satu desa?” “Iya, Nyonya.” Lisa senang mengobrol dengan para pelayan di rumahnya. Ia hanya ingin mengakrabkan diri. Insiden sebelum ia akhirnya dinikahi oleh Atmaja Gandhi membuatnya tak mau lagi mengenal dunia luar. Kecantikan dan kemolekan tubuhnya ternyata mengundang petaka. Itulah sebabnya kini Lisa menutup rapat tubuhnya dengan gamis dan hijab. Namun, aura kecantikannya malah semakin terpancar. “Kenapa kalian memilih merantau jauh sampai ke sini?” tanya Losa yang ingin tahu apa alasan Wati bekerja. “Kami sering jadi gunjingan warga karena belum menikah, Nyonya. Makanya saya ikut Lili saja kerja ke Jakarta daripada kuping saya panas digibahin setiap hari.” Lisa mulai antusias mendengar cerita Wati. “Oh, ya? Apa mereka pikir, belum menikah itu sebuah aib?” “Ya. Mungkin mereka berpikir seperti itu, Nyonya. Katanya belum menikah di usia dua puluh tahun itu perawan tua. Lah, apa kabar dengan saya dan Lili, yekan? Kami perawan sepuh gitu? Lemes banget mulut mereka, Nyah. Udah sebelas dua belas sama host Bibir Dower.” Lisa terpingkal-pingkal mendengar curhatan Wati, pelayannya yang cukup ceria dan energic. Berbeda dengan Lili yang lebih kalem. Sementara di kamar dengan cat dominasi abu tua dan putih, Bik Darsih menggeleng melihat putra tuannya masih mendengkur. “Den Deva ... Den Deva, katanya lapar. Bik Darsih ke sini malah masih molor,” ucap wanita paruh baya seusia mendiang Elnara Yildiz itu. Bik Darsih menaruh nampan berisi pesanan Deva di atas nakas. Melihat jam dinding yang sudah merangkak ke angka sembilan lebih, Bik Darsih mulai membersihkan kamar Deva yang cukup berantakan. Kaus kaki dan sepatu berserakan. Hoody dan koper tergeletak di sembarang tempat. Belum lagi kaleng-kaleng minuman isotonik penambah ion yang juga berserakan di karpet depan TV LED jumbo. Deva menggeliat. Ia sedikit mengangkat kepalanya dengan mata sipit. “Bik Darsih?” “Eh? Aden sudah bangun?” “Hm!” Deva meletakkan kembali kepalanya ke bantal. “Maaf, Den. Bibik berisik, ya, sampai bangunin Aden?” “Enggak, kok, Bik.” Kini, Deva mulai terduduk sembari mengucek matanya. Bik Darsih mendekat, meraih susu almond hangat dalam gelas dan menyodorkannya pada Deva. “Makasih, Bik.” “Iya, Den. Sama-sama.” Setelah menenggak susu hingga tandas, Bik Darsih mengulurkan nampan yang terdapat piring berisi lembaran roti gandum. “Roti gandumnya, Den.” Deva mengangguk. Namun, bukannya tangan yang terangkat, tetapi hidung bangirnya malah maju lebih dulu. Ia merasakan aroma wewangian yang sangat ia kenal. Di antara jutaan aroma parfum yang ada, Deva masih sangat hafal dengan aroma klasik dan manis milik sang kekasih. “Bibik pakai parfum aroma vanila?” “Eh? Parfum?” Deva mengangguk. “Enggak, Den. Emang kenapa?” Deva penasaran. Ia menerima nampan dari tangan Bik Darsih dan menghidu pinggirannya. Pria itu pun mulai memejam merasakan aroma yang sangat ia rindukan. Pelayan senior di depan Deva itu malah mengernyit. Tuan mudanya seperti sedang menikmati sebuah sensasi. Entah apa. “Aden?” “Bik? Siapa yang megang nampan ini selain Bibik?” Bik Darsih mengernyit sesaat. “Oh, iya, Den. Mungkin nyonya. Tadi beliau sempat megang nampan ini karena katanya mau kenalan sama Aden.” “Nyonya? Maksud Bibik istri barunya Papa?” “Iya, Den.” Kini, Deva yang mengernyit. “Siapa dia, Bik?”[] ______ Noted📌 Tokoh fiktif Aleksei Moriz sengaja saya hadirkan di novel ini setelah mendapat izin dari penulisnya, ya😊Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.