Andai waktu bisa diputar kembali, Khalisa tak akan mau dinikahi oleh Atmaja Gandhi. Duda tampan dan mapan yang tak lain adalah ayah kandung dari sang mantan kekasih. Dalam pernikahan penuh intrik, Khalisa dihadapkan pada cinta masa lalu yang tak kunjung padam. Apa yang akan terjadi ketika rahasia masa lalunya mulai terungkap? Mampukah Khalisa bertahan dalam permainan takdir? Dua pria, satu cinta. Siapa yang akan bertahan?
View More“KYAAA ...!”
Teriakan yang cukup nyaring dari dalam kamar pengantin itu berhasil menghentikan langkah Deva. “Kenapa, Sayang? Mau pegang? Nih!” “Jangan, Mas!” “Coba, deh, kamu sentuh bentar. Dielus-elus aja. Enggak pa-pa, kok.” “Iiih ... geli, Mas. Gede banget itu!” Awalnya Deva ingin langsung rebah saja di kamarnya. Ia baru datang dan masih jet lag. Namun, mengingat jika ia pulang ke Indonesia lantaran kabar jika papanya telah menikah lagi dengan seorang gadis membuat Deva mendadak tersenyum geli. Apalagi setelah mendengar percakapan barusan. Dengan rasa penasaran, ia pun melangkah pelan dan menempelkan sebelah daun telinganya di pintu kamar sang papa dan mama barunya itu. “Jangan, Mas. Aku enggak mau, gak suka, gelay!” “Eh?” Deva menarik kembali kepalanya. “Suaranya merdu banget. Apa Papa nikah sama Nisa Sabyan, ya?” Ia loading sejenak, lalu terkekeh. “Gila, sih! Udah nikah hampir sebulan masih kaget aja lihat punya suami sendiri. Moga gak sawan aja itu cewek liat punya Papa,” monolog Deva dan kembali terkekeh geli. Ia pun memilih pergi ke kamarnya sendiri. Bisa-bisa ia yang sawan jika sampai suara-suara horor sepasang pengantin itu membuatnya mendadak ingin. “Rumah semewah ini kenapa kamarnya enggak dipasangi peredam suara, sih? Dasar Papa!” Deva terus gerundel sambil melangkah menuju kamar yang sudah disediakan untuknya. Sementara di dalam kamar megah dengan perlengkapan serba mewah itu, Atmaja ikut tertawa geli melihat istri cantiknya yang seperti ketakutan. “Ayolah, Sayang. Ini hanya makhluk kecil yang imut.” “Apa? Imut? Siapa yang mengatakan seekor tikus imut, Mas? Sungguh menyebalkan!” “Ini bukan tikus, Lisa-ku sayang. Ini hamster. Ukurannya juga mini. Masa hewan mungil ini kamu bilang gede?” “No, no, no! Sekecil apa pun ukurannya, buatku tikus itu besar dan membuatku geli, Mas. Udah, bawa jauh-jauh. Hus, hus!” Lisa menggerakkan tangan seperti mengusir. Atmaja kembali terkekeh. Ia pun memasukkan hamster lucu kesayangan putra tunggalnya itu ke dalam kandang. “Lagian Mas Maja aneh-aneh aja. Naruh peliharaan begitu di dalam kamar.” Wanita muda itu masih terus menggerutu. “Iya, Sayang. Maafin Mas, ya. Nanti kalau Deva sudah kembali, Mas akan berikan makhluk kecil ini padanya.” Kening Lisa sedikit berkerut. “Deva?” “Iya. Deva. Anak semata wayang Mas. Dia pemilik hamster ini.” “Deva itu laki-laki atau perempuan, Mas?” “Laki-laki, Sayang. Deva anak Mas laki-laki.” “Anak cowok pelihara hamster? Lucu sekali putramu, Mas.” “Entahlah. Dia hanya beralasan jika hamster inilah yang membuat dia tersenyum saat wanita pujaannya menghilang dan tak ada kabar.” Lisa bergeming sesaat, lalu berucap, “Oh, ya?” “Hm, hm! Tunggu sebentar.” Atmaja melangkah ke kamar mandi sebelum kembali menghampiri istrinya. Bisa-bisa Lisa makin merajuk dan tak mau disentuh jika suaminya tak mencuci tangan usai memegang hewan berbulu itu. Tak berapa lama Atmaja kembali. Pria bertubuh atletis dengan rahang kokoh yang membingkai wajah tampannya itu tersenyum dan mendekat ke sisi sang istri. “Berapa usia putramu, Mas?” “Hm ... sepertinya hampir sama denganmu, Sayang. Dua puluh lima.” “Hah? Serius?” “Iya. Tapi, kamu tak perlu khawatir. Dia bisa jadi anak yang manis. Dia juga cukup penurut. Hanya saja ... Deva sedikit berubah menjadi pendiam semenjak takdir membuat dia dan kekasihnya terpisah. Dan peristiwa itu terjadi hanya beberapa jam setelah mamanya dikebumikan.” Wajah tegas nan rupawan Atmaja langsung sendu. Lisa mengelus sebelah pipi suaminya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Belum dicukur. “Jangan sedih, Mas. Ada aku,” hiburnya. “Aku akan menjadi teman sekaligus mama pengganti yang baik untuk Deva. Anak kita.” Senyum Atmaja terbit. Banyak puluhan wanita yang menawarkan diri demi bisa dinikahi oleh Atmaja Gandhi, seorang pimpinan tertinggi sebuah perusahaan ritel terbesar di Indonesia. Namun, dari banyaknya wanita muda yang bermimpi menjadi selirnya, hanya Lisa yang berhasil memenangkan hati sang duda. “Anak kita?” ulang Atmaja. “Ya. Anakmu anakku juga, kan, Mas?” “Bagaimana jika aku menginginkan seorang bayi dari pernikahan ini, Sayang? Apa kamu bersedia mengandung benihku, hm?” Lisa tersenyum. “Aku tak keberatan, Mas. Toh, salah satu tujuan menikah untuk melanjutkan garis keturunan, kan?” “Ya, kamu benar, Sayang. Dan Mas sangat menginginkan anak perempuan. Mas pasti akan mencintai dan melindunginya seperti sebuah berlian.” “Tapi, tanyakan dulu pada putramu, Mas. Apa dia tak malu jika nanti mempunyai adik bayi?” Lagi, Atmaja tergelak. “Kenapa harus malu? Toh, kita menikah resmi, bukan menikah diam-diam karena kamu hamil duluan.” “Iya, aku tahu, Mas. Tapi—“ Kalimat Lisa terhenti. Tanpa aba-aba, Atmaja mulai menghidu leher jenjangnya yang putih dan wangi vanila. Lisa tersenyum geli sembari menjauhkan wajah sang suami. “Kapan Deva akan pulang, Mas?” “Entah. Dia memang sedikit nakal dan selalu penuh kejutan. Tak mau memberitahu papanya ini kapan mau kembali ke Indonesia.” “Apa Mas Maja sudah memberikan alamat rumah baru ini sama dia?” “Sudah. Mas sudah share lokasi dan juga memberitahu di mana kamar dia.” Lisa tersenyum walau hati kecilnya seperti mempertanyakan sesuatu. Meskipun awalnya tak mau ketika akan dinikahi oleh pria matang yang lebih cocok ia panggil ayah, tetapi Atmaja-lah yang bisa menerima Lisa apa adanya setelah peristiwa itu. Toh, dia bukan pria tua yang payah. Seharusnya Lisa malah harus bersyukur. Dari sekian banyak wanita cantik, ia-lah yang dipilih. Sementara di kamar barunya, Deva mulai dirayu rasa capek dan kantuk hingga dalam sekejap ia pun terlelap. Ia kembali ke Indonesia setelah menenangkan diri di negara ibunya berasal. Selain untuk menyelesaikan study, Deva terpaksa pergi karena kekasih yang ia cari-cari bak hilang ditelan bumi. Di bawah alam sadarnya, Deva kembali diperlihatkan akan sebuah peristiwa. “Kenapa kamu melakukannya, Nak?” “Ma ... maafin Deva, Ma. Maafin Deva ....” Wanita lemah dengan banyak selang di tubuhnya itu hanya tersenyum samar. Sebelah tangannya mengelus rambut sang putra yang menangis di samping kepalanya. “Mama maafin Deva. Tapi, Deva harus janji enggak akan berbuat seperti itu lagi. Siapa pun dia, jadikan dia menantu Papa dan Mama.” Deva hanya mengangguk-angguk dengan ribuan penyesalan. Andai sang mama tak mendengar percakapannya di telepon kala itu, mungkin mamanya tak akan kolaps. “Mama cuma pengen lihat hidup Deva terarah. Berdamailah dengan papamu, Nak. Waktu Mama sudah dekat, Va.” “Ma ... please, Ma. Jangan ngomong gitu ....” Air mata Deva semakin deras di ruang ICU. Atmaja pun tak kalah melow di luar ruangan. Ia memerhatikan interaksi istri dan anaknya dari sebuah kaca. Dokter yang berdiri di sebelahnya hanya menepuk bahunya sembari berkata, “Tuan Maja, silakan masuk dan temani istri Anda. Kami tim dokter tak mau mendahului takdir Tuhan, tapi ... kondisi istri Anda sudah tidak lagi memungkinkan.” Atmaja hanya mengangguk samar. Saat kakinya terayun untuk menemui istrinya, teriakan Deva terdengar melolong. “MAMAAA ...!” Kepala Deva bergerak ke kanan dan ke kiri dengan mata masih memejam rapat. Mimpi itu kembali hadir. Dan hanya berselang beberapa detik, tiba-tiba mimpinya berganti. Kisah lain kembali datang. Kisah saat kekasih yang dicintainya menuliskan sebuah pesan sebelum nomornya tidak aktif. [Deva, aku harus pergi. Rentenir itu tetap menginginkanku untuk menjadi istri ketiganya walau hutang kami sudah dianggap lunas. Dia punya seribu cara untuk mewujudkan tujuannya. Dia jahat, Deva!] [Maaf, Va. Aku harus pergi dan tolong jangan berharap lebih. Aku takut setelah pesan ini kamu baca, mungkin aku hanya tinggal nama saja.] Keringat sudah membanjiri kening Deva. Mimpinya seperti nyata. Kilas balik itu seperti ditayangkan ulang di depan mata. Deva langsung terbangun. Ia terduduk dengan napas terengah-engah. Dua wanita terkasih dalam hidupnya datang dalam mimpi. Sang mama ia saksikan sendiri sudah tidur di dalam liang lahat, tetapi sang kekasih? Apakah wanita cantik itu juga hanya tinggal nama? “Lisa ...,” panggil Deva lirih di antara hela napasnya yang sudah mulai stabil. “Aku kembali bukan hanya karena papaku menikah lagi, tapi aku juga ingin mencarimu, Sayang. Aku merindukanmu ... Khalisa Aurora.” []Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.
“Papa serius, Pa?""Apa pria tampan di depanmu ini pernah main-main, Boy?”Deva tersenyum lebar. Ia langsung berdiri ingin memeluk sang papa. Atmaja pun ikut berdiri hingga keduanya berpelukan erat. “Makasih, Pa. Makasih. Sekar pasti seneng denger berita ini.”Atmaja merasakan ketulusan dari ucapan putranya. Namun, ia juga agak ragu apakah Deva benar-benar sudah melupakan Khalisa sebagai kekasihnya. Keputusan Atmaja merestui pernikahan Deva dengan Sekar juga tak begitu saja ia berikan. Atmaja sudah berpikir berulang kali hingga ia melihat sendiri bagaimana gadis kecil itu berinteraksi dengan para tamunya saat acara tujuh bulanan Lisa. Deva yang memperkenalkan Sekar sebagai calon istri membuat beberapa kolega Atmaja terkejut. Tentu tak hanya kabar yang terbilang dadakan, tetapi karena banyak rekan bisnis Atmaja yang diam-diam ingin menjadikan Kadeva sebagai menantunya. Bibit, bebet, dan bobot Deva
Deva melangkah meninggalkan ruang tengah mansion yang sedang disulap menjadi singgasana sang papa dan mama sambungnya. Singgasana kebahagiaan dalam acara sakral sebagai wujud rasa syukur sebelum anak dalam kandungan Khalisa akan lahir dua bulan lagi. Deva duduk menyandar di salah satu tiang gazebo dekat kolam renang. Bayang-bayang masa lalu kembali menghantam pikirannya, seperti ombak yang menghantam karang tanpa henti. Meski ia berusaha kuat dan tampak tak tergoyahkan dari luar, sesungguhnya Deva sedang terombang-ambing dalam lautan kenangan yang tak kunjung memudar.Wanita yang dulu pernah menjadi pusat dunianya, kini telah menjadi milik orang lain. Orang yang begitu Deva banggakan, ialah Atmaja Gandhi, papa kandungan sendiri. Dan setiap kali Deva mencoba mengikhlaskan, kenangan tentangnya bersama Khalisa justru semakin menyesakkan. “Aku udah nyoba, Lis,” bisiknya pelan. “Berkali-kali aku nyoba nge-ikhlasin kamu buat Papa. Ngeyakinin diriku sendiri kalau semua tentang kita udah se
“Sayang?”Sekar menoleh ke samping. Deva tersenyum sangat tampan dengan balutan tuksedo yang pas membalut tubuh indahnya. “Rileks, dong. Jangan tegang begitu.”Senyum cantik Sekar sedikit mengembang. Keduanya sedang berada di dalam mobil hendak menuju tempat acara di mana perhelatan akbar tujuh bulanan kandungan Khalisa akan digelar. Tentu bukan tempat asing bagi Kadeva, karena itu adalah rumah papanya sendiri. Namun, bagi Sekar yang baru akan menginjakkan kakinya di sana, ini menjadi hal yang cukup mendebarkan. Melihat ketegangan yang belum berangsur sepenuhnya dari wajah cantik yang sudah dipoles oleh MUA itu, Deva segera menarik lembut sebelah tangan istrinya yang kuku-kukunya cukup cantik dengan sentuhan nail art. “Papa sendiri yang ngundang kita, Sayang. Insya Allah Papa udah bisa nerima kamu.”Sekar tersenyum. Usaha suaminya untuk membuat ia pantas dan layak menjadi menantu Atmaja Gandhi jug
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments