ROGER "Arsela! Mau ke mana?" Pukul sebelas malam kulihat Arsela berdandan, melangkah cepat-cepat menuruni tangga. Keterlaluan! malam-malam masih saja mau keluyuran. Bukannya menjawab, wanita batu itu malah berlari menuju mobil yang terparkir di halaman. Hanya butuh semenit untuk menarik tangannya di teras. Kilatan tajam itu beradu dengan sorot menekanku. Dihempaskan tangan ini dan pergi setelah membanting pintu. Amarah ini memuncak temboklah yang jadi sasaran. Wanita itu benar-benar bebal. Kalau saja tak terkurung penjara papi, sudah kuceraikan sejak dulu. Kubanting guci keramik yang terlewati. Tak dihargai sebagai suami itu menggaris luka pada harga diri. Entah apa yang dikerjakan malam ini. Mabuk, judi atau bercinta dengan para bajingan? Mungkin saja. Damm! *** Kubuka pintu kamar yang tak dikunci penghuninya. Bau alkohol menyengat indera penciuman. Tidur telungkup dengan kaki yang masih memakai heels. Gelengan kepala tak dapat kutahan melihat kondisi menyedihkan di depan
ROGERSenyum lebar wanita bergincu tebal itu musnah. Begitu juga dengan dua lelaki manja di sampingnya. Malas membahas proyek, aku memilih tak meneruskan pembicaraan. Papi pun seolah paham, lalu mengalihkan pembicaraan. "Apa sudah ada tanda-tanda isi, Arsela?" Seperti ingin balas dendam, nenek penyihir itu melontarkan kata-kata yang membuat Arsela tersedak. "Sudah." Arsela menoleh sekilas, menyorotkan tanya yang tak segera kujawab. "Benarkah? Syukurlah. Akhirnya aku punya cucu!" Jelas, terpancar kilat bahagia di raut yang beberapa bagian sudah mengerut itu. "Kau harus lebih menjaga Arsela, Roger. Ibu hamil harus lebih diperhatikan. Aku tak mau dengar Arsela keguguran." "Iya, Pih." Tak sulit mengelabui pria tua itu. Urusan ke depan, belakangan saja kupikirkan. Yang penting menyelamatkan muka dari mulut beracun wanita munafik itu. Aku tahu Arsela tak mungkin hamil karena sudah tak disentuh selama delapan bulan. Namun, tenang saja, ada Safna. Kalau dia hamil anak itu yang akan
ARSELA Roger kembali tak pulang di hari Sabtu dan Minggu. Entah kemana dia pergi. Masa bodohlah! Aku malah senang tak harus makan semeja dengan lelaki salju itu. Sejak bangun, tubuhku agak aneh. Lemas, mual dan kepala rasa berputar. Menarik kembali selimut berharap mereda ketidaknyamanan ini. Sialan! Kenapa makin mual, sih? Apa harus minum sesuatu untuk meredakan atau tidur lagi saja. Di tengah upaya menepis rasa tak enak, terlintas dalam ingatan siklus bulananku belum menyapa. Menyibak selimut, lalu duduk. Tidak ... itu tidak mungkin! Mengenyahkan pikiran, bahwa aku hamil. Bram, hanya dengannya aku melebur hasrat, tetapi dia selalu bermain aman. Jadi, tak mungkin aku hamil. Untuk menghilangkan penasaran, meminta ART membelikan aku selusin tespack. "Yang paling bagus ya, Bik," ucapku, memberikan beberapa lembar uang seratusan ribu. Tak berapa lama Bik Inah kembali, kuselipkan di tangannya uang sisa kembalian sebagai penutup mulut. Tespack pertama, dua garis biru. Shit ... In
ARSELA "Aku harus pulang." "Aku antar, ini sudah terlalu malam.” Aku menertawakan kekonyolannya. Bukankah biasa aku pulang jam segini? Lagipula tak seteguk pun minuman haram itu kunikmati. Oh, mungkin dia khawatir pada janin di rahim ini. Tak mau berpanjang kata kulumat bibir seksi yang selalu terlihat menggoda. "Kau ... nakal." Bram mengelus pucuk kepalaku. Selalu mengalah, itulah yang dilakukannya, apapun permintaanku tak pernah disanggahnya. "Aku pulang sendiri, tak perlu khawatir, Ok?" "Ya sudah, aku hanya khawatir. Hati-hati, ya. Jaga anak kita. Sayang, jangan nakal-nakal di perut Mommy, ya, kasihan Mommy kalau kamu nakal." Bram lagi-lagi berbicara pada perutku, lalu menciumnya. Memutar bola mata ini. Merasa aneh, berbicara pada segumpal darah di dalam perut yang masih terlihat datar. Bahkan, Tuhan pun belum memberikannya nyawa pada kandungan yang masih berusia dini. *** Melajukan mobil berkecepatan normal, kunyalakan musik dengan volume tinggi, penghilang jenuh selama
SAFNA Kupandangi wajah tampan lelaki yang telah menghalalkanku, tertidur pulas setelah bergulat dengan tubuh ini. Lelah, tentu saja. Namun, ada sesuatu yang lain, kebahagiaan bisa menyeimbangkan gairah yang meletup di jiwanya. Rasa takut akan sikapnya yang dingin dan datar, menguap terganti rindu yang seakan tiada habisnya. Tak kutemukan lagi sorot dingin di mata itu, berganti tatap mesra penuh cinta. * "Kita makan di luar saja, gantilah pakaianmu!" "I, iya, Tuan." Aku hampir melonjak bahagia dengan ajakannya. Ini pertama kali pria itu mengajakku keluar. Saking bahagia, aku merasa perlu berpenampilan menarik supaya tak memalukanya di depan umum. Gamis modern dari bahan sutra warna violet, membalut tubuh ini, serta jilbab warna senada. Sempurna. Tuan menatap intens tubuh ini, menimbulkan kikuk. Rasa hangat menjalar diseluruh tubuh, kala tangan besar itu menautkan jemarinya di antara jariku. Jantung berdegup sangat kencang. Tak kusangka perubahan tuan begitu kentara. Memperlaku
SAFNA "Kenapa kau mengkhianatiku? Di mana janjimu untuk setia menungguku, Safna?" potong Reyhan, luapan amarah mulai mengerupsi. "Maafkan aku, Rey." Buliran bening mulai deras membasahi seluruh permukaan wajah. Saling mematung, memaknai apa yang sedang berkecamuk di hati masing-masing. Kutatap wajah yang sedang diselimuti amarah itu dengan nanar. Cinta di dalam sini tak lagi membara untuknya, tergantikan iba dan rasa bersalah yang begitu mendalam. "Aku datang untuk memenuhi janji melamarmu, Safna?" Suara Reyhan bergetar memecah keheningan. Aku bergeming. Hanya air mata yang terus merespon setiap kata yang terlontar. Kulihat tangannya mengepal kuat, hingga buku-buku jarinya memutih. Aku makin menunduk, tak kuasa menatap matanya lebih lama, bulir bening kubiarkan berjatuhan membasahi lantai keramik. "Aku mencintaimu. Selama ini menahan rindu. Janji untuk setia kutepati, tapi ... tapi kudapati kau telah menikah dengan orang lain." Suara Rey melunak. Mengusap kasar wajah yang diba
SAFNA"Assalamu’alaikum, Safna ...." Ucapan salam dari suara familiar di telinga terdengar dari luar. Seketika, jantung berdegup kencang. Reyhan. Suara panggilan itu kembali terdengar, seiring ayunan langkah dipercepat menuju pintu. "R-rey," ucapku gugup, begitu pintu dibuka. Wajah tampan yang sempat lama menghilang karena tuntutan kuliah kini berdiri di hadapan. Namun, ada yang berbeda di rautnya. Merah padam, tatapan tajam dan rahang mengeras. Perasaan tidak nyaman melingkup ruang hati, kupastikan keadaan Rey demikian karena mengetahui pernikahanku dengan tuan Roger. "Kenapa, Safna?" ucapnya serak, seolah sedang menahan ribuan rasa. "Rey, aku ...." Lima hari berlalu sejak kedatangan Reyhan ke villa, tak lagi menampakan diri, walau sekadar bayangannya. Mungkin, dia memilih melupakan kisah cinta yang melukai jiwa. Kata maaf berkali-kali terucap di hati untuknya. Merapal doa semoga dia mendapat kebahagiaan yang tak dimilikinya bersamaku. "Safna." Aku terlonjak, selang dengan
ROGER Hai, aku bukan pergi selamanya. Minggu depan pasti kembali. Sudahlah mengapa cairan bening itu terus merinai. Kau tahu itu membuat sekeping merah ini luluh lantak, Sayang. Ah, kemejaku benar-benar basah. Kau tak henti menangis di dada ini. Dasar cengeng! Tegarlah menghadapi perpisahan, karena ini pastinya akan terulang dan terus berulang. Sial, memang! Kudekap erat Safna, tak hanya dia yang tak rela melalui malam berhiaskan kesendirian. Aku pasti akan rindu wangimu, hangatmu, senyummu juga tangismu. Bahkan, gelora ini akan merintih, terus merintih kala sang malam bertandang. Sayang, aku pergi setelah sebelumnya menitip cinta di dalam sana, di palung hatimu. *** Baru saja pulang dari tempat Safna, satu pelayan tergopoh menghampiri. Dengan terbata, ia berkata, "Tu, Tuan ... Nyonya kecelakaan!" Dia sedang tak bercanda tentu, wanita yang berdiri dengan raut ketakutan itu melihat sekilas ke arah mataku, lalu menunduk dalam. Jari-jarinya bertaut satu sama lain. Rupanya Arse