ROGERBergetar tangan ini membuka surat yang dikirim pengadilan agama. Gugatan cerai dari Arsela.Sekukuh itukah kau ingin pergi dariku Arsela?Apa kesungguhan permohonanku tak menggeser sedikit pun keputusanmu?Mengapa di saat aku ingin bersemayam di hatimu, kau menguncinya rapat-rapat.Mengapa Arsela?Kuhempaskan berkas itu hingga berserak di lantai. Mengacak rambut ini berulang, lalu mengusap wajah yang entah sekusam apa sekarang."Aaargh!"Lautan emosi di hati ini hanya bisa terluapkan dengan teriakan demi teriakan. Tak lebih.***Menapaki keramik keperakan di ruangan megah bergaya artistik Eropa. Langkah ini sebagai upaya akhir membuka hati Arsela.Pelayan keluarga Van Hoevel mengangguk hormat, memanduku menuju ruang Arsela berada. Papa tanpa seizinku membawa putrinya ke sini selepas keluar rumah sakit. Aku tak mampu menolak apalagi menentang. Pria itu sama kerasnya dengan papi, lebih ganas malah.Kuhampiri wanita yang tengah memandangi ikan-ikan di kolam yang terletak tiga meter
ROGER"Bawalah Safna pulang. Kau sudah waktunya mengurusi urusan pribadimu. Setelah dia melahirkan, adakan pesta pernikahan. Undang semua kolega dalam dan luar negeri. Tunjukkan bahwa perusahaan kita masih kokoh dan berjaya!" titah papi. Kondisi papi pulih seiring kembali stabilnya perusahaan. Inilah yang kutunggu, kata-kata darinya. Artinya restu itu sudah keluar secara sempurna. Tak perlu lagi ada keraguan membawa Safna kembali ke sisiku. Enam bulan sudah aku menitipkan Safna pada orang tuanya. Segala rindu kupenjara agar tak memberontak. Hari ini akan kubebaskan ia dari kekangan.Tidak terlukis rasa ingin berjumpa. Mendekap tubuhnya erat, menghapus jejak air mata. Aku juga ingin bicara pada bayi yang ada di perutnya. Akan kukatakan maaf padanya sebab tak mendampingi selama proses pertumbuhan di alam rahim. Juga telah menorehkan kepedihan di hati sang bunda. Janjiku, ini adalah perpisahan terakhir kami. Setelah itu kami akan senantiasa bersama menjalani hari-hari bahagia. Membesa
ROGER Proyek sialan itu selesai juga. Tiga tahun mencurahkan waktu untuk menyelesaikan kota mandiri Serpong tak memberi paru-paru kesempatan menikmati udara tanpa polusi. Tuntutan pemegang saham utama yang belum puas menumpuk harta itu amatlah kejam. Tak berhenti sebelum melihat putranya terkapar mungkin. Wajarlah hari ini aku ingin melepas segala kepenatan. Bukan di rumah, tetapi nun jauh di sana. Tak mungkin juga ada ketenangan di bangunan megah itu karena ratunya sedang sibuk menghamburkan limpahan harta. Ya, wanitaku entah ada di mana sekarang? Dengan siapa dan sedang apa? Lupakan! Hamparan kebun teh di puncak, Kabupaten Bogor memancing mata yang telah menyipit ini untuk membulat kembali. Lereng-lereng yang mengular dilewati oleh mobil sport merah ini. Jalur buka tutup membuat perjalanan dua kali lipat dari seharusnya. Turun dari mobil disambut sejuknya udara puncak. Kulilitkan syal untuk menahan laju udara yang cukup menggigilkan tubuh. Menapaki lantai kayu yang suhunya te
ROGERHai, dia datang lagi. Kuletakkan ponsel hitam enam inchi yang sedari tadi diotak-atik. Berlari kecil menuruni tangga agar bisa melihatnya. Melihat dia yang bayangnya menemani semalam. Sial, mengapa aku benar-benar terobsesi pada seorang gadis desa?. Tertahan langkahku di sepertiga jalan meuju pintu utama yang terbuka. Aku melihat gadis itu menyodorkan sekantung plastik putih pada Pak Anang, lalu meraih tangan besar itu dan menciumnya takjim. Tak butuh waktu lama, ia pun pergi. Segera kubalikkan badan sebelum Pak Anang sadar ada yang memperhatikan di sini. Aku mengenyakkan tubuh di sofa hijau bermotif putih itu tepat sekali. Menyulut rokok yang sengaja diletakkan di meja kaca persegi sambil menanti pria yang segera masuk. "Ada tamu, Pak?" tanyaku pada pria yang tengah menenteng plastik ukuran sedang. "Oh, eh. Tidak ada Juragan. Tadi itu putri saya mengantar ikan basah ini." Pria itu hampir melompat saat kutanya tiba-tiba. Untung saja kantung putih itu tak jatuh. Ia menghenti
SAFNA Kurebahkan tubuh di kasur kapuk yang telah melapuk. Melepaskan penat setelah seharian membantu emak di dapur dan menbereskan rumah. Tangan ini membuka aplikasi dalam ponsel pemberian Reyhan. Ah, mengingat namanya ada rindu yang menyeruak. Bagaimana kabarmu, Rey? "Neng, sini!" Belum sempat mengecek pesan, Suara emak nyaring menembus gendang telinga. Beringsut dari ranjang, menapaki lantai yang belum di keramik ini. Abah sudah pulang. Di atas meja teronggok koper hitam berukuran sedang dalam keadaan tertutup rapat. Apa isinya? "Sini duduk, Neng!" Abah menepuk sofa tua untukku duduk. Wajah Abah dan Emak terlihat semringah tak biasa, menimbulkan tanda tanya di benakku. "Neng, ada yang melamar kamu," kata Emak, kilat bahagia jelas di matanya. Aku terkesiap. "Iya, Neng. Dia Juragan yang memiliki villa tempat Abah bekerja." Abah tak kalah gembira, bahkan lebih antusias dari emak. Ucapan Emak dan Abah sukses membuat dada berdebar hebat. Aku menunduk, memejamkan mata sesaat. Te
SAFNAAkad nikah tiba, air mata enggan berhenti dari muaranya. Pernikahan ini tak lebih menyakitkan dari apa pun. Entah akan dibawa ke mana nasibku. Gaun putih yang di permukaannya terhampar kilauan mutiara kini membalut tubuhku. Kerudung berhiaskan juntaian bunga melati memadunya. ‘Cantik’ berulang Emak memujiku. Benarkah sememesona itu diriku? Inikah alasan Tuan menyanding diri ini. Aku terduduk di ranjang yang kemarin baru saja diganti. Memakai uang penjualan hidupku pasti. Kembali, rinai ini runtuh. Semalang inikah nasibku? Terdengar suara sahutan kata 'Sah' menandakan jiwa raga ini mutlak dimiliki pria konglomerat yang telah menjejalkan uang pada Abah. Berakhir sudah segala asa yang kurenda bersama sosok yang kupuja. Emak memboyongku ke tempat akad berlangsung. Saat tirai tersibak, netra ini beradu dengan sorot elang itu. Tubuh yang tengah bergetar, makin gemetar. Duduk di hadapan pria yang kini berstatus suamiku. Seseorang yang paling berhak atas segala tentangku. Cincin
ROGER Aku tak melepas pandangan pada wanita yang semalam memenuhi segala hasrat terpendam. Rambut basah dengan aroma sensasional mengundang kembali gejolak itu untuk dilepaskan. Tubuh itu membeku di depan cermin kala tanganku melingkar di pinggangnya. Raut polos itu sungguh makin membawaku pada angan liar. "Tu, tuan, saya mau membuat sarapan." Jari lentiknya menempel pada pergelangan besarku. Aku tahu dia berusaha melepasnya, akan tetapi mana mungkin tenaga itu menandingi kekuatan berkali lipat. Pasrah, yang bisa dia lakukan. Shit! Deringan ponsel sialan itu membuatku harus menghentikan kesenangan. Seperti domba yang lepas dari cengkraman serigala, Safna setengah berlari keluar kamar, lalu aku sibuk dengan panggilan dari pemegang saham utama perusahaan. "Minggu depan aku kembali." Apa dia sudah pikun, masa liburku belum habis. Mengapa harus pulang? "Pecat saja!" Kubanting telpon yang belum sempat dimatikan. Teriakan ayah benar-benar menyulut emosi. Aku tak mempan dengan g
ROGER Harus yang paling bagus." Sopir sekaligus asisten andalan yang lima menit lalu kupanggil, mengangguk pasti. Hanya satu kali intruksi dia segera melajukan mobil untuk membelikan berbagai kebutuhan Safna. Aku tak suka dia tampil dengan pakaian lusuhnya. Semua harus dilenyapkan. Bakar kalau perlu. ***** Andai saja si tua bangka itu tak terus meneror, pastinya tak sudi pulang ke Jakarta. Berpisah dengan kesenanganku itu menyebalkan. "Kau tetap di sini. Jangan keluar, tunggu aku kembali." Tanpa basa-basi aku memberi berbagai perintah pada wanita yang tampilannya lebih modis sekarang. "I, iya, Tuan." "Jangan melakukan pekerjaan apapun. Aku tak rela tubuh indahmu rusak. Serahkan semua pada asisten. Ingat, kau hanya boleh masak untukku." "I, iya, Tuan." Benar-benar membingungkan. Mengapa tak pernah memberi sanggahan atau apalah yang biasa Arsela lakukan? Pasif sekali dia, padahal aku tak sekejam itu padanya. Tak bicara bila tak ditanya. "Ada yang mau kau tanyakan?" "Apa ak