Safna tak pernah menyangka bahwa abah akan menukarnya dengan sejumlah rupiah. Dengan terpaksa ia menerima jadi istri kedua tuan Roger. Sementara di hatinya masih terselip nama Syam yang tengah berjuang mencari uang untuk melamarnya di negeri orang.
View MoreROGER
Proyek sialan itu selesai juga. Tiga tahun mencurahkan waktu untuk menyelesaikan kota mandiri Serpong tak memberi paru-paru kesempatan menikmati udara tanpa polusi.Tuntutan pemegang saham utama yang belum puas menumpuk harta itu amatlah kejam. Tak berhenti sebelum melihat putranya terkapar mungkin.Wajarlah hari ini aku ingin melepas segala kepenatan. Bukan di rumah, tetapi nun jauh di sana. Tak mungkin juga ada ketenangan di bangunan megah itu karena ratunya sedang sibuk menghamburkan limpahan harta.Ya, wanitaku entah ada di mana sekarang? Dengan siapa dan sedang apa?Lupakan!Hamparan kebun teh di puncak, Kabupaten Bogor memancing mata yang telah menyipit ini untuk membulat kembali. Lereng-lereng yang mengular dilewati oleh mobil sport merah ini. Jalur buka tutup membuat perjalanan dua kali lipat dari seharusnya.Turun dari mobil disambut sejuknya udara puncak. Kulilitkan syal untuk menahan laju udara yang cukup menggigilkan tubuh. Menapaki lantai kayu yang suhunya terbawa kondisi sekitar, dingin.Lelaki paruh baya menyambut dengan logat khas sunda. Tangannya diarahkan ke dalam ruangan yang tak banyak memuat barang-barang.Villa yang baru kujejak lagi ini tak banyak berubah. Sofa yang sama dengan lampu hias besar di atasnya. Tak ada hiasan dinding apapun di sana.Merebahkan raga di atas pembaringan king size ini entah mengapa begitu nikmat. Sekejap, mataku tak sanggup lagi untuk terbuka.***Sudah berapa lama aku tidur? Tak penting juga mencari jawabannya. Yang pasti tubuh ini tak seperti saat datang.Niat kembali memejamkan mata, urung kala suara-suara perut mulai berisik. Dengan tenaga yang belum pulih seutuhnya, aku bangun. Tak memedulikan penampilan kacau saat ini, melangkah menuju ruang makan untuk mencari sesuatu yang bisa menghentikan nyanyian lambung.Kilau keemasan yang menerobos kaca-kaca ruangan baru menyadarkanku bahwa hari telah beranjak tua ternyata. Suasana yang jauh dari kata ramai membuat nyaman tubuh ini bermain di alam mimpi.Hampir saja air liur menetes melihat sajian di atas meja kayu mahoni berbentuk bulat. Satu dua suap mampu menciptakan sensasi luar biasa di lidah. Hanya saja, pada suapan ketujuh, sayup terdengar suara perbincangan di teras depan Villa.Suara mendayu-dayu itu memancing keingintahuan lebih jauh akan pemiliknya. Piring yang belum kosong itu harus rela diabaikan demi mencari sumber suara.Dari balik jendela terlihat penjaga villa tadi berbincang dengan seorang gadis belia, anaknya mungkin. Tubuhnya tertutup rapat dengan pakaian longgar. Kepala hingga dada dibalut kain merah muda yang pas sekali melekat di wajah oval itu.‘Cantik.’Pipi itu makin menawan kala kilau jingga menerpa. Bibir sensualnya sesekali melengkung membuat deru napasku mulai tak tentu.Entah, terpesona atau terobsesi pada sesuatu yang tak tersalurkan dengan sempurna. Sejak Arsela memutuskan pisah ranjang denganku."Maaf, Juragan saya pamit. Kalau ada yang diperlukan jangan sungkan. Rumah saya tak jauh dari sini."Ucapan Pak Anang mengembalikan angan liarku seketika. Satu anggukan cukup membuatnya memahami bahwa diperbolehkan undur diri.Tak bisa kukedipkan mata sampai gadis belia itu menghilang bersama bapak penjaga villa.Kini, hanya aku di sini. Namun, tak sepi sebab bayang indah itu mulai mengiringi hingga esok pagi, mungkin.‘Ah, sial! Otakku mulai gila.’Selera makan lenyap entah ke mana, berganti sesuatu yang meminta pelampiasan.‘Shit!’***ROGER"Bawalah Safna pulang. Kau sudah waktunya mengurusi urusan pribadimu. Setelah dia melahirkan, adakan pesta pernikahan. Undang semua kolega dalam dan luar negeri. Tunjukkan bahwa perusahaan kita masih kokoh dan berjaya!" titah papi. Kondisi papi pulih seiring kembali stabilnya perusahaan. Inilah yang kutunggu, kata-kata darinya. Artinya restu itu sudah keluar secara sempurna. Tak perlu lagi ada keraguan membawa Safna kembali ke sisiku. Enam bulan sudah aku menitipkan Safna pada orang tuanya. Segala rindu kupenjara agar tak memberontak. Hari ini akan kubebaskan ia dari kekangan.Tidak terlukis rasa ingin berjumpa. Mendekap tubuhnya erat, menghapus jejak air mata. Aku juga ingin bicara pada bayi yang ada di perutnya. Akan kukatakan maaf padanya sebab tak mendampingi selama proses pertumbuhan di alam rahim. Juga telah menorehkan kepedihan di hati sang bunda. Janjiku, ini adalah perpisahan terakhir kami. Setelah itu kami akan senantiasa bersama menjalani hari-hari bahagia. Membesa
ROGERBergetar tangan ini membuka surat yang dikirim pengadilan agama. Gugatan cerai dari Arsela.Sekukuh itukah kau ingin pergi dariku Arsela?Apa kesungguhan permohonanku tak menggeser sedikit pun keputusanmu?Mengapa di saat aku ingin bersemayam di hatimu, kau menguncinya rapat-rapat.Mengapa Arsela?Kuhempaskan berkas itu hingga berserak di lantai. Mengacak rambut ini berulang, lalu mengusap wajah yang entah sekusam apa sekarang."Aaargh!"Lautan emosi di hati ini hanya bisa terluapkan dengan teriakan demi teriakan. Tak lebih.***Menapaki keramik keperakan di ruangan megah bergaya artistik Eropa. Langkah ini sebagai upaya akhir membuka hati Arsela.Pelayan keluarga Van Hoevel mengangguk hormat, memanduku menuju ruang Arsela berada. Papa tanpa seizinku membawa putrinya ke sini selepas keluar rumah sakit. Aku tak mampu menolak apalagi menentang. Pria itu sama kerasnya dengan papi, lebih ganas malah.Kuhampiri wanita yang tengah memandangi ikan-ikan di kolam yang terletak tiga meter
ARSELALima bulan pasca perceraian dengan Roger. Aku dapat berjalan dengan normal kembali. Senang dan haru bercampur aduk di hati. Tak lupa ucapan syukur kupajatkan pada pemilik nyawa ini. Sebab, selama ini, aku telah lalai dengan kewajibanku. Terlalu jauh melampaui batas. Mendapatkan ketenangan hati setelah kembali menjalankan perintah-perintah-Nya ampunan atas perbuatanku selama ini. "Ah, thank's ... God." Tak lupa juga kuucap terima kasih pada Bram yang dengan tulus selalu menjagaku. Perhatian dan sikapnya membuat hati ini luluh kembali. Dia lelaki yang tak pernah berhenti mencintaiku. Roger, mungkin dia telah berbahagia, hidup dengan wanita yang bertahta penuh di hatinya. Safna. Wanita itu pantas mendampingi Roger. Kuusap bulir bening yang mengalir di sudut netra kala mengingatnya. Bram mengajakku jalan-jalan malam ini. Hanya bisa menutup mulut kala sadat ke mana ia membawaku. 'Tokyo Bay Night Cruise, Tokyo' salah satu tempat teromantis yang biasa dikunjungi pasangan kekasih
ARSELA"Dengar, Arsela! Aku tak akan berhenti sampai mendapatkan hatimu lagi. Aku akan terus berjuang untuk itu." Bram mengusap sudut matanya yang mengembun. "Aku mencintaimu, sampai kapan pun itu. Bahkan sampai aku mati." "Pergi!" usirku. Keesokan hari, Bram datang kembali ke rumah ini. Aku sudah berpesan kepada penjaga rumah agar tak mengijinkannya masuk. Walau bagaimanapun, Bram pantas meraih kebahagiaannya dengan wanita lain, bukan denganku. Kuintip dari balik kaca setelah satu jam berlalu. Pria itu masih ada. Ah! Lelaki itu tetap pada pendiriannya. Tak akan pergi sebelum menemuiku. Bodoh memang. Malam hari hujan turun dengan derasnya. Kilatan-kilatan di langit menimbulkan suara menggeleggar. Menjalankan kursi roda melalui tombol otomatis menuju jendela. Ingin melihat hujan. Netraku menangkap seseorang yang berdiri menatap jendela kamarku. Ya Tuhan, Bram. Mengapa dia masih di situ.Jika terjadi apa-apa, bagaimana? Kalau Bram mati kedinginan bagaimana? Bram! Mengertilah. Ku
ARSELALumpuh? Aku lumpuh? Inikah hukuman atas kesalahanku? Mengapa tak mati saja? Mengapa Tuhan? Emosiku tak terkendali saat pertama mendengar vonis ini. Aku benar-benar merasa jadi manusia tak berguna. Hingga.... Menangis pun sudah tak berguna. Marah tak menyelesaikan masalah. Lalu.... Aku diam. Menerima realita dan segala konsekuensinya. Ditinggalkan Roger, hal pertama yang menjajah perasaan. Apalagi ia kini sudah memiliki wanita sempurna. Apalah aku dibanding dia? ***Aku melayangkan gugatan cerai pada Roger. Di luar dugaan ia menolak. Malah terus berupaya mendatangiku menawarkan hal sama. Menjalani bahtera rumah tangga bersamanya juga Safna. Ia berjanji akan berlaku adil. Akan berupaya membahagiakan kami berdua. Pernah hatiku terketuk. Nekat, ingin kuterima saja tawarannya. Namun, kala teringat kembali besarnya cinta Roger pada Safna membuatku meneguhkan kembali hati yang mulai goyah. Untuk apa bertahan jika aku tahu di hatinya hanya menyisakan sedikit tempat untukku.
SAFNASetelah mengenakan jilbab, langkah kuayunkan menuju ruang tamu di mana kata emak, Reyhan menunggu.Pemuda itu sedang berbincang dengan abah. Wajahnya cerah, terlihat bahagia.Tatapan kami bertemu, Rey mengangguk seraya mengatupkan tangan di depan dadanya. Kubalas dengan gerakan serupa.Pandangan Rey tertuju pada perutku yang membesar. Ada senyum di bibir itu.Kuraih kertas berwarna merah maron berpita gold berbungkus plastik transparan dari tangan Reyhan. Undangan."Ini undangan siapa, Rey?" tanyaku, membolak-balikan undangan tersebut. Lalu menatap lekat pria yang sedang tersenyum lebar itu."Punyaku. Aku sangat senang jika kalian mau datang di hari pernikahanku.""Masyaa Allah. Alhamdulillah, aku ikut bahagia, Rey."Mataku berkaca, menatapnya haru. Akhirnya kau mendapatkan apa yang tak kau dapatkan dariku, Rey.Reyhan mengangguk, dapat kulihat ada binar yang berbeda di mata itu. Kuyakinkan sisa cinta itu masih ada, hanya saja, takdir kita tak searah.Akhirnya nama pria yang ter
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments