Berkali-kali kucoba menelpon Bang Adnan, tetapi ponselnya mati. Hingga pagi hari aku hanya ditemani Mbak Naumi, dia tahu keadaanku yang tidak baik dengan ibu mertuaku. Ibu selalu menyalahkanku karena Bang Adnan tak mau menikah dengan anak temanya yang kaya.
"Yang sabar, ya, Kinan?" ucap Mbak Naumi menguatkan diriku.
"Iya, Mbak. Tidak apa-apa," jawabku.
Bang Adnan datang dengan tergesa-gesa, sambil berlari ia menghampiriku.
"Maafkan Abang, Dik. Semalam ponselnya mati. Abang baru membaca pesanmu pagi tadi."
"Tidak apa-apa, Bang. Beruntung ada Mbak Naumi dan Mas Leo."
"Terimakasih, Mas, Mbak, sudah menolong istri saya."
"Sama-sama, Bang. Kalau begitu kami pulang dulu."
Setelah mereka pulang, kupandangi Bang Adnan yang tengah mengazani putra kami. Ada yang berbeda darinya. Rambutnya sudah dipotong rapi, kemudian bulu-bulu halus di wajahnya juga sudah dicukur. Seperti saat ia menjadi pengantin. Jika biasanya aku yang selalu mencukurnya hari ini dia tak menunggu aku melakukan itu. Dia tidak pernah mau jika kusuruh di salon, alasanya itu adalah sunah Nabi.
"Abang, kapan mencukurnya? Kok, sudah ganteng?"
Bang Adnan tampak gugup dan salah tingkah.
"Em, Ini... Kemarin Abang mampir ke tukang potong jadi terpaksa Abang cukur sekalian, karena sudah risih."
"Oo, Begitu."
Aku sedikit tak percaya, tapi kubuang semua firasat burukku. Bukankah seudzon adalah dosa besar.
Dua hari berada di rumah sakit, aku sudah tidak sabar untuk pulang. Terlebih lagi hari ini Zain juga akan kembali ke rumah.
"Bang, kita mampir sekalian ke pesantren. Zain, dia cuti."
"Baiklah, Dik."
Saat sampai di depan pesantren. Aku menunggu di mobil, sementara Bang Adnan yang menjemput Zain. Tidak lama menunggu aku melihat dari balik gerbang, dua orang lelakiku berjalan beriringan seperti kakak beradik. Tak terasa Zain sudah tumbuh besar.
"Assalamualaikum, Umi?" ucap Zain.
"Walaikumsallam, Sayang."
"Hallo, dedek bayi. Abang sudah datang."
Zain mencium gemas adiknya sementara Bang Adnan tertawa melihat tingkah Zain.
Mobil melaju membelah jalan yang sedikit ramai. Selama di perjalanan Zain asyik bercerita dengan abinya. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Mobil kami masuk gerbang rumah, kulihat ada ibu dan Mbak Zahra.
"Abang yang menelpon mereka," ucap Bang Adnan.
Aku hanya mengangguk.
"Assalamualaikum, Nek," Zain mengucapkan salam dan meraih tangan ibu.
"Walaikumsallam. Eh, Cucu Nenek. Cuti, ya?"
"Iya, Nek. Mungkin cuti panjang."
Aku menyalami ibu dan mencium tangannya.
"Keponakanku sudah lahir, ya? Kenapa kemarin tidak menelpon? Kan, aku bisa menemanimu," ucap Mbak Zahra tanpa rasa bersalah.
Begitulah Mbak Zahra, selalu menyembunyikan fakta. Dia tahu aku tidak mungkin akan mengadu dengan Bang Adnan.
"Takut Ibu dan Mbak Zahra repot."
Aku meninggalkan mereka semua dan memilih berlalu ke kamar ingin mandi karena panas sekali rasanya.
"Istrimu itu, Nan. Tidak sopan! Ada orang tua di sini malah ditinggal."
"Biarlah, Bu. Mungkin dia lelah."
Bang Adnan membawa semua barang-barang di bantu Zain.
"Dik, ini gak usah diberesin. Biar Abang saja, kamu habis melahirkan."
Aku hanya mengangguk menuruti permintaan Bang Adnan.
Hari ini ibu dan Mbak Zahra menginap di sini, mereka yang memasak. Padahal jika tak ada Bang Adnan aku yang selalu menyiapkan semuanya.
"Kalau orang habis melahirkan tak boleh makan yang neko-neko."
"Iya, Bu."
Aku hanya menuruti semua kemauan ibu. Dulu pernah aku membantah ketika melahirkan Zain, tetapi justru aku yang disalahkan Bang Adnan. Padahal aku sudah mengikuti resep dokter.
Sepanjang ibu di sini, aku hanya makan sayur bening dan tempe serta tahu. Beruntung ibu tak lama karena adiknya Bang Adnan yang laki-laki, Fano akan pulang dari Singapure.
Satu bulan sudah Zain libur. Besok ia akan kembali ke pesantren. Aku mempersiapkan semua keperluannya.
Saat mengemasi barang-barang Zain tak sengaja koper yang Bang Adnan bawa ke Bandung satu bulan lalu terjatuh. Hatiku bergetar melihat siapa yang ada dalam foto tersebut.
Kakiku lemas seperti tak mampu menopang berat tubuhku. Apakah Bang Adnan menghianatiku? Aku kembali memasukan fotonya dalam koper dan menaruhnya di atas lemari ketika kudengar Bang Adnan membuka pintu kamar.
"Dik, sedang apa?"
"Zain besok sudah masuk pesantren, Bang."
"Besok Abang juga akan ke Jogjakarta, Kamu tidak apa-apakan, Abang tinggal?"
"Tidak apa-apa, Bang."
Pandai sekali Bang Adnan berbohong, sementara tadi aku melihat dua tiket ke Jepang.
"Berapa lama Abang di sana?"
"Mungkin agak lama, Dik. Karena ustad-ustad di sana banyak acara."
"Oo, baiklah."
Selama di rumah aku tak pernah melihat perubahan Bang Adnan. Dia selalu romantis, membantu semua pekerjaan rumah jika aku repot. Terlebih lagi selalu mengurusku dengan baik. Main ponsel pun tidak selalu sering, bagaimana aku bisa curiga.
Bang Adnan membantuku mengemasi barang Zain. Aku harus menjaga air mataku agar tidak jatuh. Walaupun aku sebenarnya tak mampu. Tanganku bergetar, tak sanggup aku menahanya lagi. Tiba-tiba Zafran menangis, aku buru-buru melihatnya."Cup... Cup ... Anak Umi, sudah bangun, ya?"Air mata yang sedari tadi kutahan mengalir dengan sendirinya. Aku menangis sesegukan sambil mengasihi Zafran. Sementara Zain masih tertidur lelap. Mungkin dia kelelahan karena semalam bergantian menjaga Zafran yang tidak mau diam seperti biasanya seolah dia mengerti akan ada kehancuran dalam keluarganya."Apa abi tidak mengingat kalian?"Kuusap kedua wajah putra-putraku yang terlelap. Saat hendak melepaskan tanganku dari pipi Zain, tiba-tiba ia memegangnya cukup kuat, tapi tak membuka matanya."Menangis lah, Umi. Zain tidak melihatnya."Aku semakin tidak bisa menahan tangisku. Air mata ki
Bang Adnan menyandarkan kepalaku di dadanya. Dada bidang yang dulu selalu membuatku nyaman. Selalu menjadi sandaran kala aku merindukan kedua orang tuaku. Jika orang lain merindukan orang tuanya yang telah meninggal, mereka akan datang ke makamnya, tetapi berbeda denganku.Aku tak tau di mana jasad kedua orang tuaku. Aku hanya ingat mobil kami masuk ke dalam jurang, setelah itu aku tak ingat semuanya. Di mana jasad orang tuaku? Peninggalan kedua orang tuaku, aku juga tak tau.Waktu itu aku berumur 4 tahun, kemudian diantar seseorang ke sebuah panti asuhan dengan kalung berbentuk hati ada lubang kunci di bawahnya yang masih kusimpan sampai sekarang.Lamunanku dibuyarkan oleh suara klakson dari mobil belakang."Abang akan berusaha membahagiakanmu selalu, Dik."Bang Adnan mengecup pucuk kepalaku, aku kembali menatap sebrang jalan.Mobil terus melaju hingga kami sampai d
Kami bercanda ria hingga sore. Aku harus ikut tersenyum menutupi perasaanku yang sakit ini, tak apa ini demi anakku dan juga membongkar siapa yang ikut menutupi semuanya.Ketika tengah asyik mengobrol ibu datang bersama Mbak Zahra juga Raihan anak angkatnya yang baru berumur dua tahun."Assalamualaikum?" ibu dan Mbak Zahra mengucap salam."Walaikum sallam," kami menjawab salam bersama."Biar Abang buka."Bang Adnan membukakan pintu untuk ibu, aku tetap duduk diruang tv bersama Zain."Wah, keponakan ganteng Abi." Bang Adnan mengambil Raihan dari gendongan Mbak Zahra.Memang Bang Adnan membiasakan keponakannya itu dengan sebutan abi. Ibu bilang kasihan ia tak punya Ayah sementara suami Mbak Zahra yang seorang pelaut pulangnya setahun sekali. Aku sih tak peduli, terserah saja yang penting tidak mengusikku."Kok, Raihan mirip Abi, ya?"
Sarapan sudah aku siapkan juga bekal untuk Bang Adnan dan Zain. Bang Adnan dan Zain tengah melakukan olahraga kecil di halaman rumah.Setelah membersihkan peralatan masak yang tadi aku gunakan, rumah juga sudah rapi aku putuskan untuk memandikan Zafran yang tengah asyik bermain dalam strollernya.Zafran sudah rapi, aku panggil Bang Adnan dan Zain untuk bersiap, setelah itu baru sarapan, aku pun akan membersihkan diriku dulu."Abang, Zain, sudah siang. Ayo, bersiap?Abang Adnan dan Zain berlari menghampiriku dan Zafran."Ganteng Abi, sudah wangi rupanya," ucap Bang Adnan."Iya dong, memang Abi masih asem."Aku meninggalkanya dengan sedikit ledekan. Zain sudah berlalu untuk bersiap. Tak berapa lama Zain turun sudah mengenakan jaz dari pesantren."Zain, Umi titip Zafran, ya? Umi mau mandi sebentar.""Iya, Umi."Zain mengambil Zafran d
Aku memesan taxi online menuju Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah. Aku tak memberitahukan kepulanganku kepada bunda Salamah. Sudah satu tahun aku tak berkunjung ke sana. Aku hanya mengobrol lewat telepon untuk menanyakan kabar kepada Bunda Salamah. Dari jauh kulihat Bunda Salamah dengan beberapa anak tengah menyapu halaman."Assalamualaikum," ucapku membuat semua orang menoleh kepadaku."Walaikum sallam," serempak mereka menjawab salamku."Ya Allah, Kinan? Kenapa tidak telpon dulu, Nak?"Aku memeluknya Air mataku tumpah dalam pelukannya."Ada apa, Kinan? Sebentar Bunda ijin dulu kita pulang ke rumah bunda saja."Aku mengangguk.Banyak anak-anak melihat ke arahku. Aku menyapa mereka dengan senyuman. Bunda Salamah mengambil Zafran dari gendonganku kemudian membawanya masuk. Aku menunggu dan bermain bersama anak-anak panti. Mengingat dulu aku besar dan tumbuh di sini, di bawah kasih sayang Bunda Salamah.Beliau bilang ada seseorang yang memasrahkan dan memohon untuk mengurusku, tetapi ia
Tiga hari berada di rumah Bunda Salamah mebuat pikiranku sedikit tenang. Hari-hari aku hanya bermain dan berbagi cerita dengan anak yatim. Menyumbangkan begitu banyak buku-buku untuk mereka, dan membaca banyak buku dengan mereka. Selama tiga hari aku belajar sedikit demi sedikit bahasa Inggris. Mbak Naumi menawarkan bantuannya ketika aku hendak ke Jepang nanti sebagai penerjemah melalui telepon.Hari ini aku akan berangkat ke Jepang akupun sudah memesan tiket dari Jepang kembali ke Indonesia. Zafran aku titipkan ke bunda. Beruntung, karena Zafran anak yang anteng jadi aku tak begitu khawatir."Bunda, aku titip Zafran. Aku tidak lama setelah tau semuanya aku akan kembali.""Kamu hati-hati, Nak. Berdoa sama Allah meminta perlindungan."Bunda memeluku."Iya, Bunda. Assalamualaikum?""Walaiukum sallam."Aku terbang langsung dari solo ke Tokyo. 12 jam perjalanan aku sampai di Tokyo. Aku melihat aplikasi pelacak, mencari di mana Bang Adnan berada sekarang, ternyata dia ada di Yoyogi Park.
Sampai di bandara aku menuju ruang Arrivals, kemudian melakukan Check-in untuk melakukan pendaftaran ulang. Setelah itu, aku dipersilahkan naik pesawat kemudian memberikan kartu pengenal. Aku lega, karena sudah berada di dalam pesawat. Saat pesawat hendak lepas landas aku kembali melihat ponsel yang belum dimatikan. Kulihat pesan-pesan dari Bang Adnan. Menghapusnya begitu saja dan tak ingin tahu apa yang ia kirimkan. Selama dua belas jam perjalanan aku hanya termenung mencoba mengistirahatkan tubuh dan otak, tetapi mata tak mau terpejam. Aku memasang headset mendengarkan lagu-lagu sholawat hingga tak sadar dalam tangis aku tertidur. Aku bermimpi Bang Adnan akan mengambil anak-anak jika aku tak menerima istri barunya. Hingga dalam tidur aku menangis sampai sesak, beruntung ada wanita baik yang duduk di sebelahku kemudian membangunkanku."Apakah Anda mimpi buruk?" kata wanita itu bertanya. Setelah itu ia memberikan aku segelas air. Aku hanya mengangguk."Takdir ada di tangan Tuhan, t
Kupandangi jalanan ramai orang berlalu lalang, hingga mobil yang aku sewa sampai depan rumah. Aku melihat Bang Adnan tengah duduk di kursi teras menunggu dengan raut wajah khawatir. Aku turun dari mobil memberikan selembar uang kertas berwarna merah kepada sopir, Bang Adnan yang melihatku kemudian menghampiri."Dik, kamu dari mana malam-malam begini? Di mana Zafran?"Aku tak menjawab ucapannya, berlalu meninggalkan ia menuju ke rumah Mbak Naumi. Bang Adnan mengekor mengikutiku ke rumah Mbak Naumi."Assalamualaikum, Mbak?" Kuketuk pintu rumahnya."Waalaikumsalam, sebentar,"terdengar jawaban salam dari dalam rumah Mbak Naumi."Sudah sampai, Kinan? Zafran sudah tidur sedang dijaga Bang Leo. Sebentar aku jemput, ya?""Terimakasih, Mbak."Mbak Naumi tersenyum dan meninggalkan kami untuk mengambil Zafran.Tak berapa lama ia datang sambil menggendong Zafran yang tengah terlelap."Biar Abang yang gendong, Dik"Lagi-lagi aku lebih memilih diam, Mbak Naumi menyerahkan Zafran kepada Bang Adnan,