Share

SATU BULAN YANG LALU

Berkali-kali kucoba menelpon Bang Adnan, tetapi ponselnya mati. Hingga pagi hari aku hanya ditemani Mbak Naumi, dia tahu keadaanku yang tidak baik dengan ibu mertuaku. Ibu selalu menyalahkanku karena Bang Adnan tak mau menikah dengan anak temanya yang kaya.

"Yang sabar, ya, Kinan?" ucap Mbak Naumi menguatkan diriku.

"Iya, Mbak. Tidak apa-apa," jawabku.

Bang Adnan datang dengan tergesa-gesa, sambil berlari ia menghampiriku.

"Maafkan Abang, Dik. Semalam ponselnya mati. Abang baru membaca pesanmu pagi tadi."

"Tidak apa-apa, Bang. Beruntung ada Mbak Naumi dan Mas Leo."

"Terimakasih, Mas, Mbak, sudah menolong istri saya."

"Sama-sama, Bang. Kalau begitu kami pulang dulu."

Setelah mereka pulang, kupandangi Bang Adnan yang tengah mengazani putra kami. Ada yang berbeda darinya. Rambutnya sudah dipotong rapi, kemudian bulu-bulu halus di wajahnya juga sudah dicukur. Seperti saat ia menjadi pengantin. Jika biasanya aku yang selalu mencukurnya hari ini dia tak menunggu aku melakukan itu. Dia tidak pernah mau jika kusuruh di salon, alasanya itu adalah sunah Nabi.

"Abang, kapan mencukurnya? Kok, sudah ganteng?"

Bang Adnan tampak gugup dan salah tingkah.

"Em, Ini... Kemarin Abang mampir ke tukang potong jadi terpaksa Abang cukur sekalian, karena sudah risih."

"Oo, Begitu."

Aku sedikit tak percaya, tapi kubuang semua firasat burukku. Bukankah seudzon adalah dosa besar.

Dua hari berada di rumah sakit, aku sudah tidak sabar untuk pulang. Terlebih lagi hari ini Zain juga akan kembali ke rumah.

"Bang, kita mampir sekalian ke pesantren. Zain, dia cuti."

"Baiklah, Dik."

Saat sampai di depan pesantren. Aku menunggu di mobil, sementara Bang Adnan yang menjemput Zain. Tidak lama menunggu aku melihat dari balik gerbang, dua orang lelakiku berjalan beriringan seperti kakak beradik. Tak terasa Zain sudah tumbuh besar.

"Assalamualaikum, Umi?" ucap Zain.

"Walaikumsallam, Sayang."

"Hallo, dedek bayi. Abang sudah datang."

Zain mencium gemas adiknya sementara Bang Adnan tertawa melihat tingkah Zain.

Mobil melaju membelah jalan yang sedikit ramai. Selama di perjalanan Zain asyik bercerita dengan abinya. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Mobil kami masuk gerbang rumah, kulihat ada ibu dan Mbak Zahra.

"Abang yang menelpon mereka," ucap Bang Adnan.

Aku hanya mengangguk.

"Assalamualaikum, Nek," Zain mengucapkan salam dan meraih tangan ibu.

"Walaikumsallam. Eh, Cucu Nenek. Cuti, ya?"

"Iya, Nek. Mungkin cuti panjang."

Aku menyalami ibu dan mencium tangannya.

"Keponakanku sudah lahir, ya? Kenapa kemarin tidak menelpon? Kan, aku bisa menemanimu," ucap Mbak Zahra tanpa rasa bersalah.

Begitulah Mbak Zahra, selalu menyembunyikan fakta. Dia tahu aku tidak mungkin akan mengadu dengan Bang Adnan.

"Takut Ibu dan Mbak Zahra repot." 

Aku meninggalkan mereka semua dan memilih berlalu ke kamar ingin mandi karena panas sekali rasanya.

"Istrimu itu, Nan. Tidak sopan! Ada orang tua di sini malah ditinggal."

"Biarlah, Bu. Mungkin dia lelah." 

Bang Adnan membawa semua barang-barang di bantu Zain.

"Dik, ini gak usah diberesin. Biar Abang saja, kamu habis melahirkan."

Aku hanya mengangguk menuruti permintaan Bang Adnan.

Hari ini ibu dan Mbak Zahra menginap di sini, mereka yang memasak. Padahal jika tak ada Bang Adnan aku yang selalu menyiapkan semuanya.

"Kalau orang habis melahirkan tak boleh makan yang neko-neko."

"Iya, Bu." 

Aku hanya menuruti semua kemauan ibu. Dulu pernah aku membantah ketika melahirkan Zain, tetapi justru aku yang disalahkan Bang Adnan. Padahal aku sudah mengikuti resep dokter.

Sepanjang ibu di sini, aku hanya makan sayur bening dan tempe serta tahu. Beruntung ibu tak lama karena adiknya Bang Adnan yang laki-laki, Fano akan pulang dari Singapure.

Satu bulan sudah Zain libur. Besok ia akan kembali ke pesantren. Aku mempersiapkan semua keperluannya.

Saat mengemasi barang-barang Zain tak sengaja koper yang Bang Adnan bawa ke Bandung satu bulan lalu terjatuh. Hatiku bergetar melihat siapa yang ada dalam foto tersebut. 

Kakiku lemas seperti tak mampu menopang berat tubuhku. Apakah Bang Adnan menghianatiku? Aku kembali memasukan fotonya dalam koper dan menaruhnya di atas lemari ketika kudengar Bang Adnan membuka pintu kamar.

"Dik, sedang apa?"

"Zain besok sudah masuk pesantren, Bang."

"Besok Abang juga akan ke Jogjakarta, Kamu tidak apa-apakan, Abang tinggal?"

"Tidak apa-apa, Bang."

Pandai sekali Bang Adnan berbohong, sementara tadi aku melihat dua tiket ke Jepang.

"Berapa lama Abang di sana?"

"Mungkin agak lama, Dik. Karena ustad-ustad di sana banyak acara."

"Oo, baiklah."

 Selama di rumah aku tak pernah melihat perubahan Bang Adnan. Dia selalu romantis, membantu semua pekerjaan rumah jika aku repot. Terlebih lagi selalu mengurusku dengan baik. Main ponsel pun tidak selalu sering, bagaimana aku bisa curiga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status