Share

DERITA HATI

Bang Adnan membantuku mengemasi barang Zain. Aku harus menjaga air mataku agar tidak jatuh. Walaupun aku sebenarnya tak mampu. Tanganku bergetar, tak sanggup aku menahanya lagi. Tiba-tiba Zafran menangis, aku buru-buru melihatnya.

"Cup... Cup ... Anak Umi, sudah bangun, ya?"

Air mata yang sedari tadi kutahan mengalir dengan sendirinya. Aku menangis sesegukan sambil mengasihi Zafran. Sementara Zain masih tertidur lelap. Mungkin dia kelelahan karena semalam bergantian menjaga Zafran yang tidak mau diam seperti biasanya seolah dia mengerti akan ada kehancuran dalam keluarganya.

"Apa abi tidak mengingat kalian?"

Kuusap kedua wajah putra-putraku yang terlelap. Saat hendak melepaskan tanganku dari pipi Zain, tiba-tiba ia memegangnya cukup kuat, tapi tak membuka matanya.

"Menangis lah, Umi. Zain tidak melihatnya."

Aku semakin tidak bisa menahan tangisku. Air mata kian deras mengalir. Hatiku sakit, nafasku sesak. Ingin rasanya aku mengakhiri derita dalam hati ini, tapi bagaimana caranya?

"Jika sudah lega, bolehkah Zain membuka mata?"

"Hemmm."

Aku berbalik membelakanginya, tak mungkin aku tunjukan kesedihan di depan anakku.

"Kenapa Umi menangis? Apa karena Abi?"

sekuat apapun aku menjaga agar tak mengeluarkan air mata lagi, tetapi ia tetap lolos kala pandanganku dan Zain bertatap.

"Jangan menagis, Umi. Ada Zain di samping Umi."

Sepertinya anakku memang benar-benar sudah dewasa.

"Maafkan, Zain. Tak jujur dengan Umi?"

"Apa maksudmu, Zain?"

"Sebenarnya—"

Belum sempat Zain berbicara tiba-tiba pintu sudah terbuka.

"Dik, kenapa menangis?"

"Tidak apa-apa, Bi. Umi hanya sedih karena lusa Zain sudah berangkat ke Kairo."

Zain terpaksa berbohong kepada Abinya, padahal pantang baginya untuk berbohong.

Bang Adnan mendekatiku memeluku dari belakang.

"Sudahlah, Umi. Ini juga demi kebaikan Zain. Bukankah Umi ingin dia menjadi Hafiz dan seorang pendakwah, biarkan ia mengejar mimpinya ke manapun ia mau."

"Iya, Kamu harus menjadi lelaki yang jujur dan bertanggung jawab, Zain. Kamu laki-laki dan seorang imam, keputusanmu kelak akan selalu menjadi masa depan keluargamu."

Bang Adnan reflek melonggarkan pelukannya dan menatapku, kemudian aku menatapnya kembali.

"Ada apa, Bang?"

"Eh.. tidak apa-apa, Abang hanya ingin melihat wajahmu."

Ia tampak gugup

"Bagaimana kalau kita belanja, Dik? Sudah lama Abang terlalu sibuk mengurus berbagai acara sampai tak ada waktu memanjakanmu."

"Umi, pergilah dengan abi. Zain akan menjaga Zafran."

Aku menatap Zain, Zain tersenyum dan mengangguk.

Bang Adnan menarik lembut tanganku. Aku hanya mengikutinya ke dalam kamar utama kami. Bang Adnan menungguku bersiap dan bersolek. Sudah lama aku tak bersolek semenjak mengandung Zafran entah kenapa aku tak ingin bersolek. Bahkan mandi pun seperti mau tak mau, tetapi Bang Adnan tak pernah protes ia menerima semuanya.

Aku menggunakan gamis berwarna peach dengan pashmina senada. Kalau dipandang aku tak begitu jelek. Tubuhku masih ideal hanya ada sedikit lipatan.

Bang Adnan memelukku.

"Kamu masih cantik, Dik."

Aku tak membalas ucapannya dan hanya tersenyum. Jika dulu aku akan sangat bahagia mendengar pujiannya. Sekarang, semuanya terasa pahit. Justru mengingatkanku dengan wanita yang berada di foto itu. 

Sayang sekali aku tak dapat melihat wajahnya, karena dia berfoto memeluk Bang Adnan dengan membelakangi kamera serta memegang bunga untuk menutupi wajahnya. Setelah kurasa cukup kulepaskan tangan Bang Adnan yang masih melingkar di pinggangku.

"Ayo kita berangkat, Bang?"

"Sudah siap?" Aku hanya mengangguk.

Aku berjalan menuju kamar sebelah di mana putra-putraku berada. Aku melihat Zain tengah membaca Al- Qur'an dengan merdu. Terasa tentram hatiku mendengar lantunan ayat suci yang dibacakan oleh anak pertamaku itu.

Aku mengetuk pintu. "Assalamualaikum, Zain."

Zain menghentikan mengajinya dan menghampiriku.

"Walaikumsallam, Umi? Sudah mau berangkat?"

"Iya, ini mau berangkat. Zain titip apa, Nak?"

"Zain titip Umi."

Bang Adnan tersenyum sambil mengangguk.

"Tenang saja, Zain. Umi pasti aman dengan abi."

Aku tersenyum melihat Zain. Andai tak ada penghianat di eluarga ini mungkin aku adalah wanita paling bahagia, tetapi sampul memang tak dapat memprediksi isinya. Sampul yang bagus belum tentu dalamnya mulus. Aku menguatkan hati untuk anak-anakku.

"Zain, titip Zafran, ya?"

"Siap, Umi. Zain akan menjaganya dengan sepenuh hati."

Aku kembali tersenyum. Ya, dia lah semangatku. Selalu mencoba membuat aku tersenyum dengan tingkahnya.

sebelumnya aku sudah mengajarkan Zain cara membuat susu formula. Jika adiknya bangun ia bisa membuatkannya.

...

Aku mengikuti Bang Adnan memasuki mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan Bang Adnan memegang tanganku, hanya sesekali melepaskannya untuk menyeimbangkan mobilnya. Sedangkan aku hanya diam saja, tak ada percakapan diantara kami seperti biasanya.

Jika biasanya aku akan sangat cerewet bertanya ini dan itu. Sekarang aku lebih memilih untuk berdiam diri memandangi jalanan yang ramai berlalu lalang kendaraan. Aku harus menahan semua emosiku agar tahu siapa wanita dan semua kebohongan Bang Adnan. Jika aku gegabah mungkin bukan hanya aku yang akan berantakan hidupnya, tetapi juga anak-anakku.

Aku putuskan untuk menyelidiki semuanya terlebih dulu. Lagi pula aku penasaran tentang ucapan Zain yang sempat terpotong tadi. Aku harus menanyakan kepada Zain apa yang ia ketahui. 

Terlalu asyik memikirkan rencanaku, Bang Adnan merasa ada yang aneh denganku.

"Dik, ada apa? Kenapa dari kemarin kulihat kamu lebih sering termenung?"

Aku langsung memegang tangannya yang masih menggenggam erat tanganku. Dulu aku sangat senang jika Bang Adnan memegangnya, tetapi sekarang terasa hampa. Hatiku seperti mati rasa.

"Em, tidak, Bang. Aku hanya memikirkan Zain. Bagaimana aku bisa mengirimnya ke Kairo, hatiku sangat sakit."

"Sudahlah, Dik. Ia ke sana untuk menggapai mimpi, bukankah ini juga mimpimu? Mengingat dulu kita tak mampu meraih mimpi."

Ya, aku dan Bang Adnan memilih menikah muda. Ia lulusan SMA sedangkan aku, SMP saja tidak lulus. Karena tak punya biaya. Waktu itu keluarga Bang Adnan memang belum mampu seperti sekarang. Sekarang keluarganya cukup berada karena koneksi dari Bang Adnan juga hasil dari usaha kami.

Aku kembali menangis mengingat dulu ibunya begitu benci terhadapku. Bahkan sehari setelah menikah dengan Bang Adnan aku diusir dari rumahnya. Bang Adnan yang lebih memilihku meninggalkan rumah orang tuanya. Hingga kami harus mengontrak disebuah kontrakan berukuran 4x5 meter. Kuusap air mataku tak ingin lagi kembali mengingat masa-masa penuh penghinaan itu.

Bang Adnan yang melihatku menangis menepikan mobilnya.

"Kenapa menangis, Dik?"

"Tidak apa-apa, Bang."

"Ada apa, Dik? Ceritalah dengan Abang, jangan disimpan sendiri agar hatimu lega?"

"Bagaiman aku bisa bercerita denganmu, Bang? Sedangkan dirimu dan keluargamu yang selalu membuat hatiku terluka," aku bergumam dalam hati.

"Tidak apa-apa, Bang. Aku hanya ingat masa susah kita."

Apakah yang harus aku lakukan? Dia lelaki penuh kehangatan. 

Haruskan aku meninggalkannya? Air mataku kembali menetes.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status