Share

ISTRI RAHASIA SUAMIKU
ISTRI RAHASIA SUAMIKU
Author: ER_IN

FOTO PREWEDDING

ISTRI RAHASIA SUAMIKU

Masih kugenggam erat foto prewedding suamiku dan seorang wanita. Air mata jatuh begitu saja. Sakit? Tentu saja, aku wanita normal. Bertahun-tahun aku menemaninya. Dulu kebahagiaan kami sempurna kala hanya punya rumah kontrakan dengan sepeda ontel. Akan tetapi, kini kami punya segalanya, rumah besar, mobil mewah, dan berbagai aset lainnya, tapi justru ujian terbesar dalam hidupku baru saja dimulai.

Kupandangi wajah kedua putraku.

“Apakah abi tidak mengingat kalian?”

Kuusap wajahnya, apa yang harus aku lakukan? Ada buah hati yang tidak bersalah yang akan menjadi korban. Apakah Bang Adnan tak ingat masa sulit kita?

Masih kuingat betul kala waktu itu suamiku hanya pengisi ceramah pengajian-pengajian kecil. Gajinya sebagai marbot masjid keliling dari kampung ke kampung dengan pemberian seikhlasnya tentu tak mencukupi kebutuhan kami, aku tidak pernah mengeluh.

Aku anak yatim piatu, tentu saja aku tahu pahitnya hidup. Sejak keluar dari panti asuhan aku putuskan untuk hidup mandiri. Dari panti sudah diajarkan berbagai keterampilan hingga kami tak perlu khawatir jika kami meninggalkan panti.

Aku membantu suami berjualan hijab, kadang aku menerima pesanan kue dari tetangga. Kehidupan kami saat itu memang pas-pasan berbeda sekali dengan sekarang.

Kehidupan kami berubah ketika anak pertama kami Zain Al Adnan. Waktu itu ia berumur 3 tahun, karena kegigihannya ia sudah pandai membaca surat-surat pendek. Aku hanya iseng merekamnya, siapa sangka ia terkenal di media sosial.

Tetangga kami yang memiliki anak SMA membuatkannya Channel Youtube, tetapi ketika ia berumur tujuh tahun Zain tak lagi aktif. Ia harus masuk ke pesantren, Channel Youtube milik Zain kemudian dikelola oleh abinya.

Sejak saat itu Bang Adnan melakukan ceramah melalui youtube hingga Allah mengangkat derajat perekonomian keluarga kami. YouTubenya berkembang dengan pesat. Ia banyak diundang untuk mengisi banyak acara islami.

Aku bersyukur karena Allah memberikan kami kehidupan yang lebih baik. Saat itu aku masih mengikutinya melakukan dakwah di berbagai daerah, karena Zain ada di pesantren jadi tidak terlalu repot. Hingga aku hamil anak kedua kami, aku terpaksa tidak bisa menemaninya untuk perjalanan dakwahnya.

Kami sudah pindah ke rumah besar, rumah dari hasil kerja kerasnya. Aku tak menyewa pembantu, hanya terkadang aku memanggil tetangga yang biasanya disewa untuk bersih-bersih.

Hari itu Bang Adnan bilang akan pergi ke kota Bandung untuk mengisi sebuah acara, “Dik, Abang akan ceramah di masjid Raya Bandung. Kamu sementara sama ibu, ya? Abang takut kamu kenapa-kenapa jika di rumah sendiri.”

“Tidak, Bang. Aku lebih nyaman sendiri. Abang tahu jika ibu tidak menyukaiku, aku takut merepotkannya,” jawabku dengan lirih.

“Baiklah yang terpenting kamu baik-baik di rumah dan telepon Abang jika ada sesuatu.”

Aku mengangguk. Malam ini aku tak bisa tidur, entah kenapa hatiku terasa tidak tenang seperti akan ada sesuatu besar yang terjadi. Ini sebenarnya bukan kali pertama Bang Adnan pergi ke Bandung ini sudah ketiga kalinya.

Kulangkahkan kaki untuk mengambil air wudhu, kemudian melakukan shalat taubat meminta agar diampuni segala dosaku dan diberikan ketenangan dalam jiwa.

.....

Kicau burung saling bersahutan seperti sebuah melodi indah. Matahari sudah mulai menampakkan cahayanya. Aku membuka jendela menghirup udara segar pagi hari, karena takut kelelahan Bang Adnan tidur kembali setelah sembahyang subuh tadi.

Kulangkahkan kaki menuju dapur kesayanganku, tempat di mana aku selalu bahagia berada di sini. Aku memang pandai dan suka memasak, aku juga mengikuti kursus masak online. Hari ini aku hanya membuatkan nasi goreng kesukaan Bang Adnan. Setelah selesai memasak aku kembali ke atas untuk membangunkan Bang Adnan.

Kukecup pipinya, dia tampak mengerjapkan mata kemudian memelukku.

“Maafkan Abang, Dik.”

“Kenapa minta maaf, Abang? Sudahlah ayo kita sarapan. Nanti Abang tertinggal pesawat.”

“Abang mandi dulu, Dik.”

Aku hanya tersenyum dan kemudian mengambilkan baju Bang Adnan.

.....

Selesai sarapan Bang Adnan pamit untuk berangkat. Aku tak bisa mengantar sampai bandara, ada perasaan aneh di hatiku seperti aku akan menghadapi sebuah masalah besar. Kulambaikan tangan kepada Bang Adnan.

Sunyi, sepi, tinggal aku sendiri di rumah besar ini. Beruntung sekali besok Zain libur jadi aku tidak merasa kesepian.

....

Malam hari perutku terasa sakit, mules sekali sepertinya aku akan melahirkan. Aku menelepon ibu, tetapi tidak ada jawaban, juga Mbak Zahra yang justru malah ditolak. Aku berjalan menahan sakit menggedor pintu Mbak Naumi tetangga depan rumahku untuk meminta bantuan. Tak lama ia dan suaminya keluar dan mengantarku ke rumah sakit.

Berkali-kali kucoba menelepon Bang Adnan, tetapi ponselnya mati. Hingga pagi hari aku hanya ditemani Mbak Naumi. Dia tahu keadaanku yang tidak baik dengan ibu mertuaku.

Ibu selalu menyalahkanku karena Bang Adnan tak mau menikah dengan anak temannya yang kaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status