LIMA TAHUN KEMUDIANKupandangi potret Hanum dan Najwa yang terbingkai besar di ruang keluarga.Senyum keduanya membuat hatiku terasa tentram. Memang benar jika kita sudah mempunyai cucu, mereka akan mengambil hati kita dari kedua orang tuanya.Zelia menggandeng gadis berusia lima tahun itu menghampiriku. Gadis kecil dengan balutan gamis pink dan hijab senada membuatnya begitu terlihat cantik. Mata biru dan hidung mancung ia terlihat begitu sempurna. Hanya saja ia tak seperti yang lainnya. Kulit putih pucat yang harus ia sembunyikan sejak kecil dari matahari memberikan kecacatan dari sebuah kesempurnaan.Setiap tiga bulan kami harus mengontrol perkembangan Hanum. Beruntung tak ada penyakit lain dalam tubuhnya, hanya penyakit kulit sesekali menyerangnya."Oma?"Ia memelukku dengan erat membawa setangkai bunga untuku."Makasih, Sayang."Ia mencium pipiku berkali-kali. "Umi di belikan banyak bunga oleh Abi Erzhan, Hanum dapat satu dan itu buat Oma saja. Malas sekali, masa Hanum cuma di k
Hari ini kami akan berangkat ke pulau Sumatera. Segalanya sudah dipersiapkan. Kami tertawa bahagia. Semua anggota keluarga ikut bersama kami termasuk Erzhan.Aku sudah tidak sabar untuk bertemu anakku Zafran. Setelah penerbangan dari Jakarta ke Sumatra yang memakan waktu hampir dua jam kami kini telah menginjakkan kaki di Padang.Tanpa menunggu lama kami menuju alamat yang telah dikirimkan oleh Zafran. Hamparan pantai terbentang luas. Kuhirup napas dalam-dalam. Menatap takjub lautan ciptaan yang maha kuasa. Anak-anak tak henti-hentinya memuji keindahan alam yang ada di depan kita.Air mata menetes, sebentar lagi aku akan berkumpul dengan anakku dan lengkaplah keluarga kami."Nanti kita main ke pantai dulu, ya? Kan, lumayan bisa sekalian liburan."ucap Zelia dengan senyum lebar mengembang.Ah, tentramnya melihat kebahagiaan anak cucuku.Bang Fatur memberikan alamat yang dikirim Zafran kepada supir.Gapura desa pariangan menjadi penyambut kami yang paling utama. Sejauh mata memandang h
ZAFRAN POVLima tahun silam aku bertahan dalam asa dan rasa. Memandangi gunung yang di kelilingi pohon begitu rimbun, embun pagi membelai pipi. Menahan setiap gejolak rindu yang bersarang di hati sebesar gunung merapi yang berdiri kokoh.Entah di mana kini aku berada. Kemarin kubaca tanda penunjuk arah masih di Bangka Belitung mentap matahari terbit di pantai dengan banyak bebatuan dan entah bagaimana aku bisa berada di desa yang begitu indah ini.Aku hanya terus menjalankan mobil ke mana jalan membawa. Semalaman aku hanya menatap gunung yang berdiri dengan gagah. Memandangi sekeliling, jauh mata memandang hamparan padi terbentang luas. Rumah-rumah warga dengan bentuk panggung, aku mulai menyadari telah sampai di Padang, ranah Minang dengan berbagai pesonanya. Susunan rumah warga yang bertingkat dengan jejeran yang sangat rapi. Ah, indah sekali.Aku turun dari mobil membentang kedua tangan dan berteriak dengan kencang. Aku tak peduli jika ada pasang mata yang menatap heran.Aku menang
Alarm pada ponsel berbunyi. Aku segera meraihnya dan mematikannya. Suara murotal Qur'an sudah ramai. Beranjak mengambil air wudhu hendak melakukan kewajiban dua rakaat.Setelah selesai melakukan ibadah aku kembali duduk di pinggir dipan. Mengambil ponsel yang tergeletak sekedar melihat wajah Nadira yang ada pada layar telepon.Dalam hati ingin sekali mendengar suaranya membangunkanku dengan kecupan lembut dan panggilan tersayangnya yang sedikit manja. Ah, manis sekali jika mengingat masa-masa indah itu.Aku kembali meletakan ponsel dan bersiap hendak keluar. Bagaimanapun aku harus melanjutkan hidup. Tak mungkin terus terdiam sementara aku dengan sadar meminta hunian kepada orang asing.Cahaya matahari sudah mulai menampakkan wajahnya di dataran yang begitu indah ini. Bunga-bunga bermekaran di pinggir jalan, kicauan burung menjandi penyambut pagi hari.Kuketuk pintu kayu milik Pak Somad dan mengucap salam, jawaban salam langsung terdengar dari dalam.Pak Somad keluar sudah memakai capi
Setiap hari aktifitasku selalu sama bersama Pak Somad. Hingga sudah satu tahun aku tinggal di pondok Pak Somad. Berkas-berkasku tertinggal di Jakarta jadi aku tak bisa melamar pekerjaan.Aku menjual mobil untuk membeli sawah dan kebun. Menyambung hidup sebagai petani biasa. Aku mulai bangkit dari rasa kehilangan. Meskipun tak semudah yang aku bayangkan belajar bertani cukup menyita waktu sehingga aku tak terlalu ingat dengan Nadira dan putriku.Aku sesekali mengabari umi, tapi tak kuberitahu di mana keberadaanku kini. Aku dan umi tak pernah membahas Nadira ketika menelpon.Aku tak tau bagaimana keadaannya, aku takut hatiku akan semakin sakit jika mendengar ia menderita. Aku takut imanku tak lagi kuat. Aku sudah rapuh.Sore ini kupandangi senja yang sudah mulai menampakkan sinar kuningnya. Aku duduk seorang diri di belakang pondok. Tanganku asik memainkan ranting kayu. Kupandangi hamparan sawah milik Pak Somad yang sudah menguning. Padi-padi menunduk, karena keberatan isi.Pak Somad da
Pikiranku tak fokus, aku terus menatap di mana Alina duduk saat mengajar ngaji. Suara indah itu tak terdengar dan aku sudah rindu suara yang selalu melantukan ayat suci Al-Quran dengan merdu. Jika mendengar suaranya hatiku terasa tentram seolah sakit yang aku rasakan selama ini tak lagi bersarang di lubuk hatiku."Zafran?"Hamid menepuk pundakku, lelaki itu memandangku heran karena sedari tadi aku tersenyum sendiri memandang tempat di mana Alina selalu duduk."Apa kamu jatuh cinta,"tanya ustaz muda berpeci putih dengan sorban di bahunya itu. Ia seumuran denganku dan memiliki dua orang putra. Kadang aku iri melihatnya berjalan menggandeng putra kembarnya saat ke masjid."Ah, apa yang kamu katakan. Aku tak pantas untuk merasakan itu," ucapku lirih. Aku menunduk melihat barisan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang tercetak rapi. Mungkinkah secepat ini Allah merangkai ayat-ayat cinta dalam hatiku? Aku menggelengkan kepala mengingat kembali Nadira yang mungkin saja belum melupakan cinta kami."J
Tak ada lagi pembicaraan antara aku dan Alina setelah acara lamaranya hingga ia menikah dengan pemuda yang bernama Yoga itu. Setelah pernikahan mereka tiga bulan lalu, Alina ikut bersama Yoga ke kota. Tinggalah aku bersama Pak Somad, sementara Laila berada di pesantren. Aku sering tidur di rumah Pak Somad menemaninya ketika malam. Sekedar bercerita tentang masa lalu.Malam ini hujan begitu deras, aku masih menemani Pak Somad menonton televisi. Kulihat jam sudah pukul sebelas, tetapi Pak Somad belum beranjak dari depan tv biasanya jam sembilan ia sudah berbaring bersamaku di dipan kayu depan televisi.Pak Somad bilang perasaannya tak enak, hatinya tak tenang hingga ia tak dapat memejamkan mata. Akupun menemaninya mengobrol sambil menonton TV.Pintu rumah di ketuk Berkali-kali."Siapa yang bertamu malam-malam saat hujan, Pak?" tanyaku pada Pak Somad yang menggelengkan kepalanya."Biar aku buka."Aku berjalan cepat menuju pintu kayu itu dengan cepat menarik daun pintu karena tamu itu s
Tak ada lagi pembicaraan antara aku dan Alina setelah acara lamaranya hingga ia menikah dengan pemuda yang bernama Yoga itu. Setelah pernikahan mereka tiga bulan lalu, Alina ikut bersama Yoga ke kota. Tinggalah aku bersama Pak Somad, sementara Laila berada di pesantren. Aku sering tidur di rumah Pak Somad menemaninya ketika malam. Sekedar bercerita tentang masa lalu.Malam ini hujan begitu deras, aku masih menemani Pak Somad menonton televisi. Kulihat jam sudah pukul sebelas, tetapi Pak Somad belum beranjak dari depan tv biasanya jam sembilan ia sudah berbaring bersamaku di dipan kayu depan televisi.Pak Somad bilang perasaannya tak enak, hatinya tak tenang hingga ia tak dapat memejamkan mata. Akupun menemaninya mengobrol sambil menonton TV.Pintu rumah di ketuk Berkali-kali."Siapa yang bertamu malam-malam saat hujan, Pak?" tanyaku pada Pak Somad yang menggelengkan kepalanya."Biar aku buka."Aku berjalan cepat menuju pintu kayu itu dengan cepat menarik daun pintu karena tamu itu s