Share

Hari Pertama

Astaga, mulutnya harus ikut disekolahkan. Masak iya, dia akan memperkenalkanku sebagai pembantu. Biar bagaimanapun aku ini istrinya, masak nanti dia tega memperkenalkanku pada wanitanya sebagai seorang pembantu. Lagian mana ada sih pembantu yang secantik aku. Tapi sebenarnya banyak sih pembantu yang lebih cantik dari aku. 

“Apa tidak ada opsi lain? Gila kamu ya? Masak iya kamu kenalin aku sebagai pembantumu?” protesku tak terima dengan usulannya. 

“Tenang saja, soal alasan itu banyak. Kamu tidak usah khawatirkan itu. Yang terpenting kamu jalani saja tugasmu, untuk yang lain biar aku yang urus.”

“Bella, ayok buruan! Nanti kalau telat kita bisa kena hukum,” Yura berteriak sembari melambai-lambaikan tangan.

“Iya, sebentar,” dengan tergopoh-gopoh aku berlari menghampirinya yang sudah menungguku di depan pintu gerbang kampus.

“Ayok buruan masuk, tuh lihat sudah sepi. Kita pasti telat!” tanganku ditarik Yura. Kami berlari memasuki area kampus. Setelah  melihat sekeliling, benar kata Yura. Area depan sudah sangat sepi. Jangan bilang kami benar-benar akan terlambat. Kata orang-orang kalau dihari pertama OSPEK sudah terlambat, itu artinya riwayatmu akan tamat ditangan senior. Membayangkannya saja sudah membuat jantungku berpacu semakin cepat. Sangat menakutkan!

“Kalau telat gimana ini, Ra. Aku nggak mau jadi bahan bullyan kakak senior.” 

“Makanya ayo, buruan larinya!”

Yura berlari sekuat tenaga, aku hampir tidak bisa mengikutinya. Maklum postur tubuh Yura lebih mendukung dariku. Yura sangat tinggi, hampir 170cm mungkin tingginya. Dia berparas cantik dengan rambut sepinggang, dan tubuh yang ramping pula. Hampir sempurna!

Bugh!

Tanpa sadar aku menabrak tubuh seseorang sampai tubuh mungilku terjerembab ke tanah.

“Auh..,” rintihku.

“Kalau jalan itu pakai mata!” 

Suara ini, sepertinya aku pernah mendengar suara ini sebelumnya. 

“Ma-maaf..,” aku menengadahkan wajah melihat pemilik suara yang terdengar tak asing ditelinga itu. 

“Bella.” 

Pria yang tak asing untukku itu membelalakkan mata setelah tau kalau orang yang menabraknya adalah aku.

“Mas Galang.”

Mas Galang adalah cinta pertamaku, dia dulu tinggal di samping rumahku. Sampai 3 tahun yang lalu dia harus ikut orang tuanya pindah keluar kota. Kami kehilangan kontak masing-masing, karena tiba-tiba saja media sosial Mas Galang tidak bisa kutemukan dan nomornya juga diganti.

Mas Galang mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Aku menatap jas yang ia pakai, dia memakai jas almamater kampus ini. Apa mungkin dia salah satu dari senior yang akan mengerjaiku disini.

“Kamu maba disini?” tanyanya setelah melihat penampilanku yang amburadul. Bagaimana tidak amburadul, mereka meminta para maba untuk memakai caping yang harus dihias dengan berbagai aksesoris. Tidak hanya itu name tag yang tergantung di leherku juga dihiasi kertas warna warni yang sangat heboh. Tidak hanya itu, rambutku kini berkuncir 12, bisa dibilang mirip orang gila lah.

“Iya,”

“Ah... Aku telat Mas, kita ngobrol lain waktu saja ya,” pamitku setelah sadar akan situasi yang kuhadapi saat ini.

“Tunggu, Bel!” Mas Galang mengejarku. Tanganku diraih olehnya.

“Ayo ikut aku, kalau kamu kesana sekarang, aku berani jamin kalau kamu pasti akan kena hukum seperti mereka. Kamu sudah telat!” Mas galang menunjuk segerombol mahasiswa yang sedang menjalani hukuman dari seniornya.

“Terus kamu mau ngajak aku kemana, Mas?” tanyaku masih belum mengerti.

“Sudah ikut saja, nanti aku akan membantumu selamat dari hukuman itu,” dia menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku diajak Mas Galang mengitari bangunan disamping lapangan. Entah kemana ia akan membawaku.

Kami sekarang berhenti di balik dinding. Tak jauh dari tempat kami ada banyak mahasiswa yang berbaris rapi.

“Barangmu mana, tak bawain. Terus nanti kamu masuk ke barisan itu ya,” perintahnya, aku hanya mengangguk pasrah. Dalam situasi seperti ini mana bisa aku protes.

Mas Galang langsung mengambil alih tas yang kubawa. Sedangkan aku langsung mengikuti arahannya untuk berlari ke arah barisan yang ditunjuknya tadi.

“Eh siapa itu, main masuk aja!” teriak senior wanita yang sedang berdiri di depan barisan, yang sukses membuatku berhenti seketika mematung disamping barisan yang sudah rapi.

“Dia sama aku tadi, Nez. Itu adikku, biarin masuk ya.”

Dengan santai Mas Galang menghampiri senior wanita itu dengan tangan masih menenteng tas milikku.

“Adek apa adek? Dasar kamu, mana boleh pilih kasih, nanti diprotes yang lain kapok,” canda senior wanita itu. 

“Kali ini saja, oke. Nanti tak traktir makan siang deh,” Mas galang dengan santai merayu kakak senior itu. Sepertinya mereka dekat.

“Siap! Lagian siapa sih yang berani melawan perintah Kak Galang,” senior itu tersenyum penuh arti.

“Buruan masuk ke belakang!” perintahnya yang langsung saja kurespon dengan berlari menuju barisan paling belakang. Akhirnya aku bisa selamat dari hukuman berkat kebaikan Mas Galang.

Setelah capek mengikuti rangkaian acara, akhirnya tiba juga waktu istirahat. Syukurlah, aku selalu terbebas dari hukuman hari ini.

“Yura... dimana dia sekarang, apa dia tadi dihukum ya?” gumamku. 

Kukelilingi lapangan mencari keberadaan Yura. Sudah sekitar setengah lapangan lebih yang kulewati, namun tak napak juga wajah cantik sahabatku. 

”Dimana dia, maafkan aku Yura. Aku melupakanmu tadi,” sesalku.

“Gavin! itu selebgram yang terkenal. Gavin Wardhana!” Teriak para mahasiswi yang berkerumun di sebrang lapangan. Mereka berteriak dan menunjuk ke arahku.

“Gavin?” batinku.

“Gavin!”

“Gavin!!” 

Para gadis itu berlari menuju ke arahku sembari meneriakkan nama Gavin dengan riuh, bak meneriaki artis terkenal saja. Karena merasa penasaran, langsung saja kuperiksa sekeliling,mencari keberadaan pria yang mereka teriakan namanya.

“Gavin.”

Ternyata pria itu berjalan tepat di sampingku dengan dua orang yang mengikuti dibelakang, sepertinya mereka sahabat Gavin.

Ternyata kampus ini cukup sempit juga. Sebenarnya aku berharap tidak bertemu dengannya. Tapi sepertinya takdir berkata lain. Mungkin lebih baik aku pura-pura tidak sadar akan kehadirannya saja. Cukup diam dan membiarkannya berlalu. 

“Wah fans kamu nambah banyak Vin,” ujar salah satu temannya.

“Sepertinya dia juga salah satu fans mu deh,” pria satunya menunjukku yang tengah berdiri mematung. Gavin melirikku sekilas. 

“Mungkin. Tapi sayang dia bukan tipeku. Kurang dari standar,” ujarnya ringan yang direspon dengan gelak tawa dari kedua temannya.

Sakit hati? Jawabannya tidak! Lebih tepatnya malu sekarang. Bisa-bisanya dia bilang aku kurang dari standart di depan puluhan fansnya dan teman-temannya. Bahkan sekarang semua gadis yang tadi meneriaki namanya tiba-tiba terdiam, fokus menatapku. Sangat memalukan. Awas saja kamu Gavin, kalau sampai rumah aku akan memberimu pelajaran. Jangan pernah remehkan Bella kalau sudah marah kamu akan tamat!

Lagian dia sendiri yang bilang kalau di kampus jangan pernah saling bicara. Tapi dia malah melanggarnya sendiri. Harusnya dia abaikan saja keberadaanku, itu akan lebih membantu.

“Abaikan dia Bel, kita fokus cari Yura saja.” Gumamku.

“Iya sih, memang kurang banget. Bodynya aja kayak anak SD, iya kan?” sahut salah satu temannya yang berbaju putih diikuti dengan gelak tawa dari mereka.

“Terserah kalian saja, aku nggak minat meladeni orang nggak jelas seperti kalian.” 

“Belagu juga ternyata nih gadis,” sepertinya pria berbaju putih ini ingin menguji kesabaranku.

“Abaikan saja,” sela Gavin.

“Kamu nggak lihat, ada banyak orang yang benar-benar ngefans sama aku. Ngapain juga milih ngurus satu cewek nggak jelas, mendingan juga ngurusin para Vincy. Iya kan?” 

“Iya..,” para gadis itu kembali heboh mengelilingi Gavin.

Untung saja dia mengalihkan suasana, kalau nggak bisa-bisa aku hajar temannya yang mulunya lemes. Tunggu sebentar, apa ini berarti Gavin sedang melindungiku? Kenapa jantungku berdebar kayak gini. Sadar Bella. Sadar!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status