Malam itu mobil berhenti di depan hotel kecil bergaya vintage yang tenang dan jauh dari keramaian. Juan turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Maia. Ia mengulurkan tangan, dan Maia menyambutnya hangat.
“Ini bukan hotel mewah. Tapi aku ingin malam ini hanya jadi milik kita. Tanpa gangguan, tanpa peran, tanpa nama. Hanya kau dan aku,” ucap Juan pelan.Maia menatap mata pria itu, merasa dadanya sesak oleh sesuatu yang indah, "Tanpa pura-pura," balasnya.Mereka masuk. Ruangan kamar hotel itu sederhana, tapi bersih dan hangat. Ada aroma bunga sedap malam dari lilin aroma terapi yang dinyalakan petugas sebelumnya. Di sudut meja, terdapat dua gelas teh melati yang masih mengepul.Sambil melepas jasnya, Juan mengambil ponsel. Dengan jemari lembut, ia mengetik sesuatu dan menunjukkannya pada Maia sebelum mengirim.“Kami sedang dalam perjalanan menjemput adik baru. Jangan tunggu kami malam ini, oke?”PeDi bandara kecil perbatasan, helikopter baru saja mendarat di landasan. Diego turun dengan langkah cepat, mantel hitamnya berkibar terkena angin baling-baling. Anak buahnya bergegas mengawalnya menuju pesawat jet pribadi yang sudah menunggu.Namun sebelum kakinya menjejak tangga jet, salah satu anak buah berlari tergopoh dengan wajah pucat. “Bos! Kabar buruk!”Diego menghentikan langkahnya, menoleh dengan sorot tajam. “Apa?”Anak buah itu menelan ludah, lalu menjawab tergesa, “Markas besar kita di Texira… hancur. Hanya butuh dua puluh menit setelah Anda berangkat, tiba-tiba serangan besar menghantam dari segala arah. Pasukan kita tumbang, gudang senjata meledak, sistem pertahanan jebol total… semuanya hancur, Bos.”Diego membeku sejenak. Wajahnya yang biasanya tenang kini berubah tegang, urat di pelipisnya menonjol, “Siapa.yang berani?” suaranya nyaris bergemuruh.Tak ada jawaban pasti. Anak buah itu hanya menunduk gemetar.Diego menghela napas kasar, lalu matanya membelalak seolah se
Namun ia tidak bisa gegabah. Untuk setiap kemungkinan bahwa itu pasukannya, ada juga kemungkinan bahwa itu musuh baru Diego, kelompok lain yang datang untuk memburunya.Ia bangkit perlahan, meraih vas kaca di meja samping, menggenggamnya erat seperti senjata terakhir.Di luar pintu, suara tembakan semakin jelas. Suara langkah berlari, dentuman keras, dan jeritan kesakitan para penjaga Diego membuatnya semakin waspada.Ledakan terakhir membuat jendela bergetar. Maia menarik napas panjang, tubuhnya bersiap.“Siapa pun yang datang… aku tidak akan jatuh begitu saja.”Suara tembakan makin jelas, langkah kaki makin dekat. Maia bisa mendengar teriakan para penjaga Diego jatuh satu per satu.Dor! Dor! Brak!!!Ledakan kecil mengguncang pintu di ujung lorong. Maia mendekat ke dinding, mencoba membuka jendela di tengah kesakitan di paha, tubuhnya tegang, vas kaca di tangannya siap dilempar.Keringat dingin menetes di pelipis, bukan karena takut mati, tapi karena ia belum tahu siapa yang akan mun
“IronClaw, sudahi dukamu. Jane sudah tenang di sana,” ucap Icarus pada Mike, “Target utama… sudah terbang. Sepertinya itu bos mereka.” ucapnya dengan suara rendah.Mike, Axel, dan Sylas yang berjongkok di sekitarnya menoleh hampir bersamaan. Sunyi hutan hanya dipecah suara jangkrik dan napas tertahan.Mike mengepalkan tangan, “Berarti ini saatnya. Tanpa bosnya, markas mereka lebih rapuh.”Axel meraih senapannya, senyum tipis muncul di wajahnya, “Sudah lama aku menunggu momen seperti ini.”Sylas hanya mengangguk, matanya dingin seperti bilah baja, “Itu artinya Bos masih di dalam sana, kan?”Icarus menandai titik-titik pertahanan musuh di layar, “Kemungkinan besar, ya. Titik keberadaan Bos masih di tempat itu. Kita harus ke sana untuk memastikan Bos di sana.”“Gerbang utama dijaga ketat. Tapi sisi utara punya blind spot. Kamera mereka mati dalam lima detik setiap putaran. Itu jalan kita masuk.” Lanjut Icarus lagi.Mike menghela napas panjang, lalu berdiri tegak, “Baiklah, Blood Lotus. M
Saat itulah suara deru mobil Juan terdengar di kejauhan. Ia melompat keluar bahkan sebelum kendaraan benar-benar berhenti. Nafasnya tersengal, wajahnya panik setelah menerima panggilan terakhir dari Jane. Tanpa pikir panjang, Juan langsung masuk ke barisan tembakan, menembak membabi buta untuk memukul mundur para penyerang.“Berhenti! Jangan sentuh keluargaku!” teriaknya sambil menghantamkan peluru ke arah musuh.Namun teriakan itu terpotong dentuman tajam.Dor!Peluru penembak jitu menembus tubuhnya. Juan terhuyung, tapi tetap berusaha melawan, berusaha berdiri, hingga satu lagi peluru menghantam dan membuatnya tersungkur di halaman.Di tengah kekacauan itu, Maxim melihat wanita asing berjalan tenang, penuh kendali. Wajahnya samar di balik asap dan bayangan, tapi jelas dialah yang memimpin. Para penyerang menarik Leo dan Monica yang masih memeluk Valeria secara paksa dari rumah. Tangis Leo dan rengekan nyaring Valeria itu menusuk hati, tapi tak seorang pun dari mereka bisa menghen
Di pinggiran Texira, dalam hutan pembatas daerah tersebut.Mike berdiri tegak di antara pepohonan lebat. Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering yang tertindih sepatu para anggota Blood Lotus. Kendaraan mereka diparkir rapat di balik semak, disamarkan dengan jaring kamuflase.“Dari pantauan satelit yang didapatkan GhostWire, markas Diego ada di arah timur laut, sekitar tiga kilometer dari titik ini.” Suara Mike dalam, tegas, dan bergema di antara sunyi hutan.Ia mengeluarkan peta lipat lusuh dari ranselnya, membentangkannya di atas kap mobil. Jari telunjuknya menekan tanda merah yang menggambarkan bangunan persembunyian Diego, “GhostWire, bicaralah.”“Markas itu bukan sekadar rumah. Itu benteng. Dikelilingi pagar besi setinggi enam meter dengan kawat berduri ganda. Menara penjaga ada di empat sudut, masing-masing dilengkapi lampu sorot dan senjata otomatis. Hanya ada satu gerbang utama, dijaga puluhan orang bersenjata.”Semuanya mendengar dengan seksama sambil membay
Tubuh Maia masih terasa sakit di sekujur badan, bekas luka akibat kobaran api dan hempasan ledakan lapas masih menyisakan perih yang mendalam. Nafasnya sesak, kulitnya panas dingin, dan seluruh tubuh seakan memberontak menuntut penanganan medis yang layak.Diego tahu, tanpa pertolongan, Maia bisa saja kehilangan nyawanya. Maka malam itu, ia membawa seorang dokter wanita ke tempat persembunyiannya.Dokter itu melangkah masuk dengan wajah pucat pasi. Matanya bergetar penuh kecemasan, tangan yang membawa kotak medis pun sempat gemetar.Bukan hanya karena menghadapi pasien yang kritis, tetapi juga karena ia sadar sedang berada di sarang milik Diego—pria yang hawanya misterius dan berbahaya. Terbukti dengan banyaknya pria berpenampilan tidak biasa, serba hitam dan di pinggang masing-masing terselip senjata api.Saat dokter mulai membuka perban dan memeriksa luka Maia, sesekali ia melirik kanan-kiri, seakan ada tatapan maut dari anak buah Diego yang berjaga di sudut ruangan. Setiap kali men