Share

Bab 6. Pelarian

“Kamu tinggal di sini?” Fara mengikuti perempuan yang baru ia kenal itu. Orang baru yang ia percaya tanpa tahu alasannya.

Perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya berjalan terus memasuki sebuah bangunan tua seperti apartemen itu. Namun terlihat sangat lusuh.

“Hai Nona, apa hari mu menyenangkan ?” ucap lelaki tua yang sedang berdiri di depan meja resepsionis.

Perempuan itu hanya menganggukkan kepalanya menandakan ia sedang memberi hormat kepada lelaki tua itu.

“Dia butuh tempat tinggal, apa masih ada kamar kosong, pak?” Ia melirik kepada Fara yang ada di sampingnya.

“Owh, Nona cantik ini siapa namanya?” ucapnya sambil mengulurkan tangan.

“Dia hanya sebentar di sini.” Perempuan itu langsung menjawab lelaki tua itu untuk membatasi interaksi keduanya.

Fara menyambut uluran tangannya lelaki tua itu sambil melirik perempuan di sampingnya heran.

“Ini kuncimu Nona, semoga harimu menyenangkan. Silakan pilih kamar dan ada harga di sini.” Lelaki tua itu memberikan katalok lusuh yang bahkan tidak layak dikatakan katalog.

“Ini saja, berikan uangnya!” Perempuan itu menunjuk salah satu kamar tanpa menunggu persetujuan Fara.

Fara dengan cepat mengambil uangnya. ia tidak menyangka sewanya tidak semahal yang ia bayangkan.

Mereka berdua menaiki tangga. Mereka berhenti di depan sebuah pintu yang tidak jauh dari tang. Perempuan itu membuka kamar yang berseberangan dengan kamar Fara. “Ini kamarku, jika ada yang kamu butuhkan tanya saja!” ia melihat Fara dengan datar.

“Kenapa kamu tidak memberiku waktu berbicara dengan lelaki tua itu?” ia tidak tahu apa alasan perempuan itu tidak memberinya waktu berinteraksi dengan pemilik tempat.

“Ayo masuk, akan ku jelaskan!”

Fara membuka pintu kamarnya. Ia melihat peralatan kamar seadanya dan sudah sangat terlihat tua. namun, masih bisa digunakan.

“Di sini kamu tidak bisa sembarangan memberitahu namamu. Aku tahu kamu dalam pelarian. Tapi aku yakin kamu akan menjadi buronan setelah ini.” Perempuan itu menyimpulkan dengan cepat.

Fara terdiam ia menganggukkan kepalanya, dan membenarkan perkataan Perempuan itu yang baru ia kenal itu.

“Kau butuh nama samaran di sini,” tuturnya lalu keluar dari kamar Fara.

Tidak ada senyum di bibirnya, ia keluar dengan wajah datar. Perempuan itu sepertinya baru berusia 24 tahun. Dia terlihat sudah lama tinggal di apartemen tua itu. Dia perempuan misterius. Tidak ada yang mengetahui dari mana asalnya, bahkan bapak tua yang mempunyai bangunan tua itu juga tidak pernah melihat ada keluarga atau tamu yang berkunjung ke tempatnya.

Setelah merapikan pakaian ke dalam lemari tua yang ada di sana. Fara menyimpan beberapa uangnya di bawah ranjang. Dia tidak tahu bagaimana bahaya yang akan ia hadapi.

Setelah selesai memberaskan kamar, dia menuju ke kamar mandi. Ia nyalakan shower yang airnya tidak selancar di rumahnya. Fara menatap kamar mandi itu dengan senyum kecut. ‘Memang seharusnya aku di tempat seperti ini,’ gumamnya sambil tersenyum kecut.

Ia masih ingat betul rumah orang tuanya, yang tidak jauh beda dengan tempat dia tinggal sekarang. “Bagaimana pun sampah akan kembali pada tempatnya, mesti di poles di keranjang emas, tetap saja baunya akan membuat orang-orang akan membuangnya,” ucapnya lirih di bawah siraman air yang menetes tidak begitu deras.

Air matanya tersamarkan oleh cucuran air yang tidak terlalu deras itu.

***

Mikel mengepalkan tangannya sambil menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras, urat-urat di lengannya menyembul keluar.

“Apa belum ada kabar tentang Fara, Sem?” Suaranya menahan emosi dengan tertahan.

Asistennya itu menggeleng. “Aku sudah memeriksa dan menanyakan semua temannya, tidak ada hasil. Ini aku meminta seseorang mencarinya, Bos. Aku berharap Eric akan menemukannya secepat mungkin!” jawab Samuel dengan penuh harap.

“Anak itu,” Mikel menghela nafas kasar. Bayangan kalau Fara dalan situasi tidak beruntung membuat jantungnya semakin berdetak tidak karuan.

“Baiklah, kalau begitu aku keluar dulu, Bos!” Samuel pamit.

Mikel hanya mengangguk. Lalu ia menatap berkas yang sedari belum sempat ia baca. Ia menutupnya dengan kasar lalu memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut tajam.

“Ada apa sayang?” Seorang wanita memeluk Mikel dari belakang. Wanita itu mengendus lehernya dari belakang seperti ingin menerkamnya .

“Hentikan itu!” Dia melepaskan tangan wanita itu dari tubuhnya. Lalu ia berdiri dari kursi kebesarannya itu. “Apa kamu bisa tinggalkan aku sendiri. Jangan membuatku melakukan kekerasan padamu!” bentaknya dengan tajam. Wanita itu adalah wanita kesayangan ibunya. Dia dengan leluasa keluar masuk dari kantor Mikel sesukanya karena dia tahu Mikel tak bisa berkutik karena dia harus melawan ibunya jika menyakiti wanita itu.

“Mikel, sampai kapan kamu mengabaikanku terus?” ia mulai jengah karena sudah sangat lama ia sabar dan terus berusaha merayu Mikel. Sayangnya tidak pernah berhasil.

Mikel menatap wanita itu nyalang. “Ingat, aku tidak akan pernah menyukai wanita sepertimu!” jawabnya dingin sambil menatap lekat wajah wanita itu yang berubah merah padam.

“Mikel, apa-apaan ini!” Maria yang mendengar suara keras putranya masuk dengan tatapan tajam. Ia melihat wajah wanita yang sangat ingin ia jadikan menantu itu berubah menyedihkan. “Kenapa sayang?” Maria memeluk wanita itu dengan lembut.

“Tante, sepertinya aku menyerah saja. Dia itu seperti gunung es yang tidak mungkin aku gapai,” ucapnya di dalam pelukan Maria dengan nada iba.

“Kamu harus bertahan, ingat laki-laki tidak akan tahan lama tanpa wanita,” bisiknya pelan ke telinga wanita itu. Lalu ia melepaskan pelukannya. Maria mengerjapkan mata sambil tersenyum lembut. Tangannya mengelus lembut gerai indah milik wanita itu. Jelas sekali terlihat semua anggota tubuhnya terawat.

“Tapi tante, dia benar-benar tidak pernah menganggapku ada” ucapnya lagi dengan manja.

Mikel melihat interaksi ibunya dan wanita yang membuatnya kesal itu sedikit gerah. Mikel keluar dari ruangannya, bisa-bisa ia meledak jika terlalu lama di ruangannya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status