Maria mengejar Mikel yang sedang duduk di ruang keluarga. Sementara Fara tetap diam di tempat dan tak berani melakukan apa-apa.
“Sayang, Sarah wanita yang berasal dari keluarga berpendidikan, pekerja keras dan tentu saja tidak menggerogoti keluarga kita.” Ia mencoba memberi penjelasan pada putranay itu dengan nada lembut.
“Sudah, mama siap-siap. Kita bicarakan di rumah.” Ia melenggang meninggalkan sang mama yang masih heran dengannya.
Maria menatap Fara dengan tajam saat melewatinya, “Tidak pantas orang asing membuat hubungan anak dan ibu jadi renggang. Aku kira kamu cukup tahu itu Fara. Karena sekarang kamu sudah dewasa, tentu kamu tahu diri sebagai anak yang dipungut!” ucap Maria sambil menatap Fara penuh kebencian.
Fara benar-benar merasa buruk, ia menahan air mata yang ingin keluar dari bola matanya. Kenangan atas sebutan anak pembawa sial kembali menghantamnya.
***
“Apa?” Sahabatnya itu kaget mendengar cerita jujur dari Fara. Mereka baru beberapa bulan kenal tapi sudah membuatnya merasa nyaman dengan lelaki itu.
“Sepertinya aku harus keluar dari kehidupan daddyku,” ucapnya sambil menatap cowok didepannyandengan sendu.
“Aku akan selalu membantumu, katakan apa yang kamu butuhkan!” Ia menunggu sesuatu terucap dari mulut Fara. Sayangnya ia hanya mendapatkan senyuman.
Teman Fara itu sebenarnya terlahir dari keluarga dengan sendok emas di mulutnya. Tetapi dia tidak suka diperlakukan berbeda dengan orang biasa. Ia ingin berbaur tanpa membedakan kelas sosial.
“Terimakasih, aku akan mengandalkanmu mulai sekarang. Kamu jangan mengeluh ya!” Fara menepuk bahu sahabat cowoknya itu sambil tersenyum kecut.
Mereka sedang duduk di halte menunggu Samuel. Akhirnya mereka mengakhiri pembicaraan ketika melihat mobil Samuel sudah melaju mendekati mereka.
“Bye, aku akan menghubungimu. Jangan mengabaikan chat ku,” Fara melambaikan Tanga serta mengerjapkan matanya sebelum berjalan masuk ke mobil.
Samuel menatap Fara aneh setelah sekilas melihat Steven yang melambaikan tangan kea rah mereka.
“Kamu kenapa sangat suka berteman dengan cowok aneh itu Fara?” Samuel bergidik ngeri melihat Steven yang masih melambai ke arahnya semakin membuatnya merinding.
Fara tertawa renyah melihat Samuel. Ia pun melambai ke arah Steven.
“Dady kapan kembali, Om?” tanyanya sambil melihat Samuel yang fokus melihat jalan. Semenjak kedatangan Maria ke rumah mereka Mikel tinggal di rumah kelahirannya itu.
“Eh, apa tadi?” jawab Samuel sambil melirik sebentar kepada Fara. Namun kembali fokus ke jalan di depannya.
“Hmm, tidak jadi, Om.” jawabnya dengan sedikit kesal. Diaa tersenyum kecut karena menyadari ada hal yang Samuel tutupi darinya.
Sesampai di rumah, Fara langsung ke kamarnya dan menghempaskan dirinya ke ranjang.
“Owh, ternyata hidup sesingkat ini.” Ia bergumam lalu tersenyum kecut. Ia menutup matanya, beberapa menit kemudian air mata diam-diam mencuri keluar.
“Daddy, sekarah aku harus bagaimana?” bisiknya pelan walau dadanya terasa hampir meledak. Tatapan kebencian Maria terlihat tidak jauh beda dengan tatapan orang tuanya kala itu.
Fara tertidur dalam keadaan belum membuka seragamnya, dan dengan perasaan remuk redam.
***
Fara terbangun karena alarm jamnya berbunyi. Dia bergegas bersiap-siap karena tidak ingin mendengar ocehan dari Samuel. Hari ini seminggu sudah Mikel tidak tidur di rumah . Daddynya itu juga tidak pernah menghubunginya. Hal itu cukup membuat Fara sangat merindukan daddynya dan tentu rasa bersalahnya lebih besar.
Sesampai di kampus, sahabatnya itu telah menyambutnya di pintu gerbang.
Fara berjalan setengah berlari menghampirinya. “Kau sudah siap mengantarku?” bisik Fara sambil melingkarkan lengannya ke leher lelaki itu.
Cowok itu mengangguk sambil memberikan jempol.
“Nah, itu baru sahabatku. Aku akan menghancurkan kutukan ini. Jadi aku butuh bertapa!” lanjutnya kemudian mereka berdua terbahak.
Pagi sangat terik. burung-burung bernyanyi merdu di dermaga yang cukup ramai. Fara yang terlihat sedang sibuk menaiki sebuah kapal dan Steven yang terus menatapnya dengan senyum kecut.
Fara melambaikan tangannya ke arah Steven saat kapal mulai bergerak. “Semoga kau beruntung, dan kutukanku tidak mengenaimu teman!” ucapnya lirih. Air mata yang tidak bisa ia bendung, ia biarkan menetes karena tidak ada yang mengetahui siapa dia.
“Semoga setelah melewati lautan luas ini, kutukanmu akan terhapus putri!” ucapnya lirih menyaksikan kapal yang di naiki Fara dan ia tidak beranjak dari tempatnya hingga kapal itu benar-benar menjadi titik dan menghilang di bawah terik mentari.
Fara duduk ke tempat duduknya sambil mencengkram tasnya dengan erat. Ia memperhatikan orang-orang di sekitarnya, ia melihat seorang bapak tua dan istrinya yang selalu bergenggaman, ada anak-anak yang terus berkejaran di sekitar orang tuanya, ia berhenti di seorang lelaki dengan tatapan yang menyeramkan sedang menatapnya tajam.
Fara bergidik ngeri, ia terus merapal doa agar lelaki aneh itu berhenti menatapinya.
“Kamu turun di mana?” seorang gadis seusianya duduk di sebelahnya, dengan pakaian lusuh dan tas yang tergantung di bahu.
“Hmm, diperhentian terakhir.” Fara menjawab seadanya.
“Ternyata tujuan kita sama!” ucap gadis itu dengan datar dan terlihat masa bodo.
“Kamu sendirian?” tanyanya lagi sambil melirik ke sekitar Fara.
Fara mengangguk saja, dia tidak mau menjawab ucapan gadis itu. jantungnya semakin berdetak kencang. Bayangan akan hal-hal keji berkeliaran di kepalanya.
“Jangan katakan kamu sedang dalam pelarian,” tebak gadis itu melihat kediaman Fara. Ia melihat semua barang yang digunakan Fara tentu sangat mahal dan ia kenal semua merk itu.
“Aku kira kita tidak sedekat itu untuk bercerita,” Fara mulai tidak suka dengan gadis itu.
“Bersikap seolah kita kenal, lelaki di belakang sana dari tadi memperhatikanmu!” Ia memperingati Fara dengan suara pelan.
Deg!
Fara tentu tau lelaki itu. Ia tidak berani menoleh ke arah lelaki yang dari tadi memperhatikannya. Dia baru merasakan bagaimana bahayanya jalanan tanpa ada teman. Ia merutuki kebodohannya.
Akhirnya ia memilih berbincang-bincang dengan gadis di sampingnya. Mereka membahas tentang hal-hal yang tidak penting, mesti dalam hatinya terus berdoa.
Setelah waktunya Fara pulang seperti jadwal biasanya hari ini, Samuel sudah menunggu dan terlihat marah besar. Fara tidak bisa ia hubungi.
Drttt!
Tiba-tiba ponsel yang berada di kantongnya berbunyi. Samuel melihat nama Mikel yang tertera di layar dan dia langsung mengangkatnya.
[Pulanglah, dia pasti akan kembali!]
Samuel terdiam kerena setelah itu Mikel memutuskan sambungan teleponnya. Dia heran karena hanya itu tanggapan Mikel setelah mendapat informasi darinya. ‘Tidak biasanya Mikel setenang itu’ pikirnya.
Samuel menghela nafas keras lalu meninggalkan kampus Fara dengan sisa amarah.
Mata setajam tatapan elang itu menelusuri area di sekitarnya seolah sedang mencari seseorang di sana.
“Dimana anak aneh itu, kenapa aku tidak melihatnya?” gumamnya sebelum masuk ke dalam mobil.
Farra duduk di atas karpet tebal, membiarkan rambutnya yang panjang terurai dan jari-jarinya membolak-balik buku sketsa yang sejak semalam belum selesai ia isi.Namun pikirannya tidak fokus.Di layar TV besar di ruang tengah, suara pembawa berita menggema pelan.“...hingga kini belum ada klarifikasi resmi dari MRA Holdings terkait pembangunan proyek yang disebut-sebut melanggar zona hijau di kawasan Selatan kota...”Farra mematung. “Proyek MRA? Itu perusahaan Mikel,” gumamnya pelan.Ia meletakkan buku sketsanya perlahan, berjalan mendekat ke TV dan menaikkan volumenya.“...seorang pengirim anonim melampirkan beberapa dokumen internal perusahaan yang tampaknya valid. Meski belum dikonfirmasi, publik mulai mempertanyakan integritas sang CEO muda...”Farra menelan ludah. Kenapa Mikel tidak mengatakan apapun? Bukankah dia selalu bicara soal keterbukaan? Tentang kepercayaan?Ia k
Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menciptakan bayangan panjang di sepanjang kafe kecil tempat Sarah duduk dengan anggun di pojokan, mengenakan kacamata hitam.Ia sedang menunggu seseorang.Dan saat lelaki itu masuk deberpakaian rapi, senyum ramah, aura tenang, Sarah segera tahu bahwa mangsanya telah datang dengan suka rela.“Steven,” panggil Sarah lembut, menyeringai saat pemuda itu duduk di hadapannya.Steven menatapnya waspada. “Kenapa kamu memintaku datang?”“Langsung ke inti, ya?” Sarah menatap cangkir kopinya sebelum menatap Steven lagi dengan mata penuh muslihat. “Aku ingin bicara tentang Farra dan Mikel.”Wajah Steven yang awalnya tenang berubah sedikit kaku.Sarah tersenyum puas. “Kamu tahu, bukan? Mereka akan menikah. Mikel menyembunyikannya dari semua orang. Tapi aku punya mata dan telinga di mana-mana.”Steven menggenggam tangannya di bawah meja. Ia t
Meriam duduk di beranda samping mansion, secangkir teh di tangannya, mata tajamnya menatap taman yang masih basah oleh embun pagi. Tapi bukan taman itu yang memenuhi pikirannya.Melainkan nama itu. Farra. Dan lebih dari itu ‘pernikahan.’Ia baru mendengar kabar itu pagi ini. Dari Samuel, yang terlalu terbiasa melihat kemarahan Mikel hingga tidak lagi bisa berbohong di hadapan wanita yang melahirkan pria itu.“Pernikahan?” bisik Meriam tadi pagi, tatapannya menusuk. “Tanpa restuku?”Samuel hanya menunduk, tahu batasannya.Dan kini, saat aroma teh menguar di udara, Meriam masih mencoba memahami, bagaimana mungkin putranya yang selama ini tak tersentuh, menjadi sebegitu terikat pada gadis itu."Menjijikkan," suara lain menyela.Meriam menoleh pelan. Sarah berdiri di ujung beranda, mengenakan dress merah muda pastel yang terlalu manis untuk niat yang begitu pahit.“Sarah,” ucap Meriam
Langkah Farra terhenti di ambang pintu kamar.Pintunya tinggi, ukiran gelap khas Eropa, dan begitu terbuka, wangi maskulin langsung menyeruak menyambut indra penciumannya, paduan kayu cendana, kulit, dan aroma sabun Mikel yang mulai ia kenali.Kamar itu luas. Terlalu luas untuk satu orang. Dengan jendela kaca besar menghadap taman belakang, langit-langit tinggi, rak buku dari kayu mahoni, dan pencahayaan lampu gantung yang temaram. Tempat tidur king size di tengah ruangan itu tampak seperti panggung megah untuk drama yang belum dituliskan.Farra memeluk dirinya sendiri. Ia merasa kecil.“Kenapa diam?” Suara berat Mikel terdengar dari belakang, sebelum lengan pria itu melingkar lembut di pinggangnya. “Tidak suka kamarku?”“Bukan begitu,” Farra menoleh, menatap mata pria itu. “Aku hanya tidak pernah membayangkan akan berdiri di sini. Di kamar ini. Denganmu.”Mikel menyentuh pipinya. “Aku ti
Farra menggeliat pelan. Selimut masih membungkus tubuhnya sampai dada, tapi kulitnya merinding begitu angin pagi menyusup lewat celah jendela yang belum tertutup sempurna. Ia menoleh ke samping, dan napasnya langsung tercekat.Mikel masih terlelap. Wajahnya damai. Ada sisa lelah di sana, tapi juga ada sesuatu yang membuat dada Farra terasa sesak, keintiman yang tak bisa dibatalkan.“Sudah bangun?” suara berat itu menyapa, membuat Farra panik dan buru-buru menarik selimutnya lebih erat.“Kamu pura-pura tidur?” tanya Farra, menunduk, malu setengah mati.Mikel berbalik menatapnya, wajahnya serius namun tenang. “Nggak tega buka mata duluan. Aku takut kamu bakal lari.”“Aku masih tidak menyangka telh melakukan hal bodoh ini,” jawabnya dengan pelan hampir seprti berbisik.“Tapi kamu nggak bisa lari dariku, Farra.” Suaranya berat.Farra menahan napas. Matanya menatap langit-langit k
Mikel duduk di sofa, menarik napas lega dan sekarang ia merasa ada angin segar yang menyelimuti rumahnya. Tanpa kehadiran sang ibu, semuanya menjadi lebih ringan.Mikel melirik ke arah Farra yang duduk di sampingnya. “Akhirnya, kita bebas…” kata Mikel dengan suara rendah, namun penuh dengan arti, saat ia berjalan mendekat.Tangannya menyentuh pelan pundak Farra, membuat gadis itu sedikit terkejut dan menoleh cepat.“Kita tidak bisa melakukan ini, dad,” ucapnya pelan dan takut.“Aku bukan lagi dadymu Fara, panggila Mike, kalau tidak kau akan mendapatkan hukuman yang setimpal,” ancamnya di telinga Farra membuat gadis itu merona.“Baiklah, aku akan belajar menyebutkannya. Tapi untuk sekarang rasanya sangat aneh,” aku Farra.“Aneh? Tapi kenapa kau menerima sentuhanku waktu itu, Farra?” lanjut Mike menggoda Farra.Farra tiba-tiba berdiri dan melepaskan rangkulan Mike. &ldqu