Fara sedang berada di kamar teman barunya itu. Ia melihat kamar itu penuh dan berantakan. Sepertinya teman barunya itu sangat sibuk sampai tidak ada waktu untuk beres-beres.
“Apakah usia kita sama? Aku berusia 18 tahun sekarang.” Fara memulai pembicaraan karena sedari tadi temannya itu tak bersuara dan terus melihat beberapa kertas di depan meja kerjanya.
“Apa masalahmu dengan usia? itu hanya angka, bahkan kematian tidak mengenal itu.” ucapnya datar.
Fara mengernyitkan dahinya sambil memperhatikan temannya itu yang sedang mengambil sesuatu dari lemarinya.
“Ini kartu pengenalmu, kembali ke kamarmu.” Ia menyerahkan sebuah kartu kartu pengenal kepada Fara yang jelas bukan namanya.
“Betric?” ucapnya membaca nama yang tertera di kartu itu. Kemudian ia menatap temannya itu meminta penjelasan.
“Kau bisa menggunakan kartu itu jika ada yang menanyakan identitas dan namamu. Keluarlah, aku harus siap-siap karena mau berangkat kerja.” Perempuan itu mengusir Fara tanpa basa-basi.
Fara pun mengangguk dan tak bertanya legi. Ia pun kembali ke kamarnya. Sesampai di kamarnya, ia menghempaskan badannya ke ranjang, bunyi deritan terdengar sangat berisik. Beberapa menit kemudian ia terlelap dengan setitik air mata di sudut matanya yang mencelos keluar.
***
Brak!
Suara gebrakan keras berasal dari meja resepsionis. Lelaki tua itu kaget karena seorang laki-laki dengan tubuh tegap sedang menggebrak mejanya.
“Ada masalah apa, Tuan?” tanyanya terbata.
“Apa kamu mengenal gadis ini?” lelaki kekar itu menunjukkan foto Fara.
Dengan percaya diri lelaki tua itu menggelengkan kepalanya, “Tidak, Tuan. Hanya ada satu gadis muda di sini dan bukan ini orangnya,” jawabnya sambil menunjukkan kopian daftar pengenal perempuan itu.
“Kamu tahu akibatnya jika membohongiku kan!” teriaknya sambil mencengkram kerah baju lelaki tua.
Dengan tatapan percaya diri lelaki tua itu mengangguk dengan cepat. Melihat tatapan serius lelaki tua, lelaki perkasa itu melepaskannya dengan keras.
“Awas, aku akan terus mengawasi tempat ini!” ancamnya kemudian berlalu pergi.
Tidak ada satupun penghuni yang keluar dari kamarnya. Entah mereka tidak mendengar atau sudah biasa kejadian yang sama terjadi di tempat itu.
Ciittt!
Suara pintu yang terbuka dengan pelan. Suara kaki melangkah dengan hati-hati. Seseorang mengendap-endap masuk ke kamar Fara.
Kreeekk!
Suara lemari yang dibuka dengan pelan. Seorang lelaki dengan topeng menutupi kepalanya sedang melihat tumpukan uang di lemari membuatnya tersenyum cerah.
Pranggg!
Tiba-tiba sesuatu terjatuh dan pecah di lantai.
Mata Fara terbuka dengan paksa, tetap diam dan tidak bergerak. Telinganya mendengarkan apa seseorang yang berada di belakangnya. Ia mencoba mengumpulkan kesadaran dan keberaniannya. Tangannya meraba lampu tidur, lalu matikannya.
Awww!
Jeritan terdengar ketika Fara menghantam seseorang yang di belakangnya dengan tiang lampu tidur.
Plak!
Tamparan keras mendarat di kepala Fara, membuatnya terhuyung dan terjatuh ke lantai.
“Owh, kamu lebih memilih mati ya?” Orang itu mengambil sebilah pisau dari kantong belakangnya.
Sret!
Dengan cepat Fara menghindar dari ayunan pisau laki-laki itu.
“Toloooong!” teriaknya dengan kencang sambil berlari ke pintu keluar.
Pencuri itu menghentikannya dengan melembarkan pisau. Seketika suara jeritan Fara terhenti. Pandangannya mengabur, ia mencium bau anyir menguap di udara.
Setelah itu pandangannya benar-benar gelap.
***
Fara merasakan bau menyengat dan matanya sangat berat. Ia mencoba menggerakkan matanya. Matanya melihat langit-langit kamar yang masih mengabur lambat-laun terlihat jelas.
“Apa kamu sudah sadar?”
Fara mendengar suara itu, dan tentu ia mengenalnya. Walau baru kenal Fara sudah mengenal suara teman barunya itu. Fara mencoba menggerakkan badannya. Tiba-tiba ia merasa wajahnya sangat kaku.
“Apa yang terjadi denganku?”
“Kamarmu dibobol maling,” jawabnya kesal sambil menatap Fara tajam. “Kamu sudah bosan hidup ya? kenapa malah menyerahkan nyawa?” lanjutnya dengan nada khawatir sekaligus marah.
“Hanya itu yang aku punya. Aku tidak mungkin membiarkannya mengambil uang itu,” tuturnya dengan nada lemas.
“Kamu terkena tusukan di bagian punggung, wajahmu juga kena sayatan pisau. Kamu beruntung bisa selamat karena cepat ditemukan bapak tua itu.” Cecarnya dengan nada putus asa.
Fara terdiam, sejenak ia meremang mengingat siapa yang akan melukainya.
“Apa kamu punya musuh?” tanya perempuan itu lagi.
“Aku tidak punya musuh selain….” ucapnya terhenti. Dia mengingat Maria adalah satu-satunya orang yang ia ketahui membencinya. “Tapi dia tidak mungkin mengetahui aku di sini,” jawabnya yakin.
“Kali ini kamu tidak aman, harus berhati-hati!” ucap perempuan itu. Ia sendiri tidak yakin atas kecurigaannya.
***
Mikel memutuskan untuk kembali ke rumahnya setelah menyenangkan sang ibu. Dia beberapa minggu menginap di sana karena ia tak ingin wanita idaman ibunya itu terus-menerus mendatangi rumahnya.
“Sayang, kamu hati-hati ya, “ Maria mengantar putranya ke depan rumah.
“Hmm, baik mam.” Mikel kemudian pamit dan tidak lupa menciumi kedua pipi wanita itu.
Di perjalanan, Mikel menghubungi Samuel. Dia sudah tidak tahan menunggu terlalu lama lagi karena anak buah Samuel belum juga menemukan Fara.
“Sam, apa kau sudah menemukannya?” Matanya menatap lurus ke depan.
[“Bos, aku sudah menemukan tanda-tanda tenang lah,”]
Mikel menghela nafas lega. “Baiklah aku akan melanjutkan sisanya.” balasnya kemudian ia mematikan sambungan teleponnya.
Beberapa menit kemudian Samuel memberikannya sebuah lokasi. Mikel membelokkan arah mobilnya, ia tidak akan berlama-lama lagi membiarkan Fara berada dalam bahaya.
“Anak keras kepala, aku tidak akan pernah membiarkanmu melewati hari yang menyeramkan ini sendirian!” ucapnya lirih.
Di tempat lain Fara sedang berbaring di ranjang milik temannya. Matanya menatap perempuan itu yang terlihat sedang sibuk. “Kamu mau kemana?” Matanya menatap lekat perempuan itu.
“Aku kerja, kamu di sini aman. Jangan bukakan pintu untuk siapapun. Diam saja di kamar!” perintahnya kemudian ia keluar meninggalkan Fara.
“Tunggu!”
Perempuan itu menoleh ke arah Fara dengan alis tertaut. “Apa kamu membutuhkan sesuatu?”
“Apa aku boleh tahu namamu?” tanyanya dengan pelan walau ia tak mengharapkan teman barunya itu menjawab dengan nama sebenarnya.
“Jody!” Setelah mengucapkan nama itu dia pun melanjutkan langkahnya.
Fara dalam keadaan susah berdiri, tetapi harus berdiri untuk mengunci kamar. Setelah itu ia kembali berbaring di ranjang kecil itu dengan malas. Hari-harinya tanpa pinsel benar-benar membuatnya tertekan.
Tidak ada yang bisa ia kerjakan selain makan dan terus berbaring dan membaca surat kabar. Hingga senja sudah terlihat, ia masih rebahan dan menghabiskan cemilan yang di sedian Freya untuknya.
Tok!
Tok!
Tok!
Fara tetap diam ketika mendengar pintu kamar diketuk. Tiba-tiba ia merasa takut dan ingatan tentang kejadian di kamarnya membuatnya semakin panik.
Tok!Tok!Tok!“Fara ini aku Jody, bukakan pintunya!” ucapnya dari luar kamar.“Akirnya kamu pulang, aku hampir mati karena bosan,” ucap Fara sambil menghela nafas lega.“Kamu tidak bisa kemana-mana sebelum lukamu sembuh!” ucap Jody dan berjalan melewati Fara yang menghalangi jalannya.“Ini aku bawakan makanan, makanlah dan ini ada buku yang aku beli di pinggir jalan pulang!” ia meletakkan kantong belanja di atas meja.Fara seperti anak kecil yang dibawakan mainan. Ia membongkar kantong belanjaan Freya dengan senyum mengembang.Jody tersenyum melihat Fara yang bertingkah kekanak-kanakan di matanya. “Kamu terlalu kekanak-kanakan di usiamu sekarang!” sindirnya.Fara tidak menghiraukan nyinyiran Jody. Ia membuka cemilan di atas meja sambil melihat buku yang dibelikan Jody untuknya.Saat ia melihat sebuah buku dengan cover rumah, hatinya kembali menciut nyeri. Ia mencoba baik-baik saja di luar jangkauan sang daddy. Entah kenapa hatinya seperti dipelintir dengan keras. Kenyataan bahwa dia
Fara kembali menghampiri Mikel yang masih tertidur di sofa. Tangannya menggoyang dengan pelan lengan Mikel untuk membangunkannya.“Hmm, Apa kamu sudah selesai?” gumamnya masih setengah sadar. Dengan pelan Mikel membuka matanya yang masih sangat berat. Ia menatap samar Fara yang berdiri di depannya dengan tatapan mengernyit ke arahnya.“Kita tunggu Sam, dia sudah menuju ke sini!” lanjutnya kemudian beranjak dari sofa lalu berjalan ke dapur.Fara melihat Mikel yang meneguk minuman yang ia ambil dari lemari pendingin. Ia ikut menelan salivanya ketika jakun Mikel bergerak naik turun. Lalu ia menghampiri Mikel yang sepertinya sangat lelah. “Dad, kita besok saja ya ke rumah sakitnya. Daddy istirahat dulu!” tuturnya karena tidak tega.Mikel menatap Fara tajam, “Kamu pikir lukamu itu lelucon Fara, lukanya bisa infeksi kalau terlambat ditangani.” ucapnya sedikit meninggikan nada suaranya.Keduanya menoleh saat mendengar pintu terbuka. Samuel berjalan setengah berlari menghampiri mereka.“Fara!
Samuel yang mendapat tawaran yang mengagetkan dari Fara akhirnya mencoba menormalkan detak jantungnya. Dia menutupi kekagetannya dengan senyum yang ia paksakan.“Sebelum aku melamarmu, sepertinya nyawaku sudah habis di tangan daddymu,” jawab Samuel sambil bergidik ngeri.“Padahal kakak sudah perfek sekali, masih gak berani . Bagaimana kalau tidak ada yang melebihi kasih sayang daddy?” Fara menatap Samuel dengan memicingan matanya.Samuel terdiam mendengar ucapan Fara. “Pasti ada, dan dia akan menempuh cara apapun utuk mendapatkanmu,” dengan yakin Samuel mengelus rambut Fara.Fara hanya tersenyum getir. Ia mengangguk pelan membenarkan perkataan Samuel.“Gadis kecil kami sudah dewasa ternyata,” ucap Samuel tersenyum.‘Ternyata mereka hanya menganggapku anak kecil sampai sekarang’ batin Fara.“Baiklah, aku akan belajar dan mencari laki-laki yang lebih dari daddy,” ucapnya dengan semangat. Walau ia tahu itu tidak akan pernah mungkinSamuel tertawa geli mendengar perkataan Fara. “Aku tahu i
"Sudah daddy katakan jauhi teman anehmu itu!" Mikel menatap Fara dengan tajam."Daddy sudah Fara katakan dia tidak normal," sanggah Fara membela perbuatannya."Pokoknya daddy tidak suka kamu terlalu dekat dengannya. Cari teman cewek saja," jawab Mikel dengan sedikit meninggikan suaranya.Fara terdiam sejenak, lalu ia melihat Mikel dengan tatapan semakin lekat."Kenapa kau menatap daddy seperti itu?" "Daddy, sebentar lagi daddy akan menikah dengan wanita pilihan oma. Sepertinya Fara tidak bisa tinggal di sini lagi," ucapnya dengan suara tegas.Mikel terdiam sejenak, lalu i menatap Fara dengan dahi mengkerut. "Fara kau tidak akan kemana-mana. Tentang pernikahan itu...." Mikel tiba-tiba menghentikan kalimatnya lalu matanya menatap manik Fara dengan lekat."Apa kau setuju daddy menikahi wanita itu?"Fara terdiam sejenak, tentu saja dia tidak menginginkan ada wanita lain di samping Mikel. Ia menggeleng.Mikel menghela nafas dengan sedikit lega. Ada segurat senyum yang ia simpan di bibirny
Fara tersadar ia sedang berada di ranjang dengan tubuh tak mengenakan apapun dan Steven tergeletak di sampingnya dengan keadaan yang sama."Apa yang terjadi?" gumamnya mencoba mengingat apa yang terjadi.Steven mendengar suara lirih Fara di sampingnya. Ia membuka matanya dengan cepat."Fara?"Ia sangat kaget, bisa-bisanya dia membayangkan Fara ada di ranjangnya."Ini mimpi kan?" Fara mulai kalut dan air matanya menggenang. Ia menatap bagian tubuhnya dan melihat ada bercak merah di ranjang."Fara, kenapa kau ada di sini?" Steven sama kalutnya. Jantungnya mulai berdetak tak karuan. Ingatannya akan mimpi yang sangat panas dengan Fara membuatnya semakin kalut."Apa yang telah kita lalukan Stev?" Fara menangis , dia tidak menyalahkan Steven karena dia yang mengajak sahabatnya itu ke club."Fara, tenang dulu, jangan panik." Steven beranjak pelan dan memunguti bunya sambil mengenakannya dengan cepat."Bagaimana bisa aku tenang Steven. Kita telah melakukannya tanpa sadar." Fara terus terisak
“Bagaimana keadaannya, dok?” Mikel menatap sang dokter dengan tatapan khawatir.“Dia kehilangan kesadarannya saat mandi, sepertinya dia kebanyakan pikiran.” Sang dokter menatap Mikel dengan dahi mengernyit. Lalu ia menuliskan resep dengan cepat.“Kenapa dia belum sadar, dok?” tanyanya tak peduli dengan tatapan curiga sang dokter tersebut padanya.Sang dokter menghela nafas, lelaki itu dokter keluarganya jadi sudah sangat tahu dengan sikap Mikel. “Sebentar lagi dia akan sadar jangan khawatir,” jawab dokter tersebut dengan senyum tipis.Mikel mengangguk dan menerima resep dokter tersebut, lalu mengantar sang dokter ke parkiran.Setelah melihat mobil sang dokter berlalu, Mikel merogoh sakunya dan menghubungi seseorang dengan suara datar. Setelah selesai ia kembali berjalan menuju kamar Fara.“Bi, masakkan bubur untuk Fara!”“Baik, Tuan.”Mikel berjalan dengan sedikit lebih cepat. Setelah sampai ke kamar Fara, ia kembali duduk di sisi ranjang Fara sambil menggenggam lengan Fara yang lemas
“Dad, kenapa membawa Fara ke sini?” Fara merasa tidak nyaman dengan tatapan Mikel. Jantungnya berdegup kencang. Perasaannya semakin tidak karuan. Seandainya Mikel terlahir bukan sebagai ayah angkatnya dia akan menghambur ke pelukan lelaki itu.“Ah, daddy membawamu ke sini agar oma tidak memarahimu. Pergilah ke kamar dan jangan lupa minum obatmu!” jawab Mikel setelah tersadar dari lamunannya.Fara menghela nafas lega. Hampir saja ia salah sangka pada tatapan Mikel. Tanpa menjawab ia pun keluar dari ruangan Mikel.Mikel terduduk di kursi kerjanya sambil menguras wajahnya kasar.“Argh!” erangnya tertahan.Ia benar-benar merasa frustasi. Ia menatap lembaran kertas di meja kerjanya dengan tatapan tidak berminat untuk menyentuhnya.Ia pun memilih keluar kembali dari ruang kerjanya dan menyambar kunci mobil.“Mikel, mau ke mana?” Sarah menyapa Mikel yang duduk bersama sang ibu di ruang tamu.Mikel memutar bola matanya malas. “Ma, Mikel keluar sebentar menemui Samuel.”“Sayang, sekalian antar
Fara menatap Mikel yang terus bekerja dan mengabaikannya dengan sengaja. Ia mencabikkan bibirnya karena kesal. Ia tidak suka didiami.“Dad!”Mikel menghentikan pekerjaannya. Ia menahan senyum karena tahu Fara kesal karena ia diami. “Hmm,”“Jika daddy terus mendiamiku seperti ini. Aku akan menghubungi Steven!” ancamnya.Raut wajah Mikel berubah keras dan penuh amarah. Ia menatap Fara sejenak lalu ia berdiri menghampiri putrinya itu.“Ulang lagi!”Fara sedikit gelagapan ketika Mikel mendekatinya. Wajahnya pucat pasi. Jantungnya berdetak hebat. “Dad,” cicitnya.Mikel seperti kehilangan kesadarannya. Ia terus mendekatkan wajahnya ke wajah Fara. Tangannya terangkat dan merapikan rambut Fara yang menutupi garis wajahnya. “Kamu mengancam daddymu, hmm?” Mata Mikel menatap manik Fara tajam dengan suara yang serak dan berat.Fara menggeleng, ia semakin kelagapan karena melihat binar Mikel yang berbeda kali ini. “Dad!” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Fara. Ia tidak tahu apa yang ada di kep