“Maaf, aku yang sudah membuatnya mengira kalau Pak Langga akan melamarku! Semenjak mendengar kabar itu, dia ikut salah satu relawan kami Mbak Zaida yang diminta orang tuanya pergi mondok! Dia bilang mau hijrah, meluruskan cinta pada Allah bukan berharap pada manusia! Pergilah … jemput dia … sudah terlalu lama dia menunggu Anda, Pak!” tukas Azizah seraya menyeka sudut matanya yang basah. Ada rasa bercampur baur di dalam sana. Rupanya ikhlas itu tak semudah pengucapannya. Airlangga menatap manik mata yang terhalang embun itu. Kedua alisnya saling bertaut. Namun tak urung juga dia akhirnya menerima selembar kertas yang sejak tadi disodorkan Azizah padanya. “Apakah saya pernah bilang akan melamarmu?”tanya Airlangga terusik rasa bingung dan heran. Umi Zubaidah dan Abi Firdaus lagi-lagi saling bertukar pandang. Ya, semua masalah itu berasal dari mereka yang menyimpulkan sendiri kalimat Airlangga waktu itu. “Maafkan Pak Langga, ini kesalahpahaman saya dan istri. Kami yang salah karen
“Nes, anter yuk! Aku dipanggil Ning Zaida. Entah mau apa.” “Emang gak berani sendiri?” Ines menatap Zaida. “Ahm itu, aku kok deg degan. Soalnya kata Marwah ada orang tuaku datang! Feelingku gak enak, Nes!” tukas Zaida dengan wajah cemas. “Ya sudah, ayo!” Ines akhirnya mengangguk. Keduanya berjalan bersisian menuju rumah utama yang berada di samping pesantren. Benar saja, di halaman rumah itu ada mobil yang Zaida kenal. Itu milik orang tuanya. “Assalamu’alaikum!” Sapa Zaida dan Ines. “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarokatuh!” jawab semua orang yang ada di dalam serempak. Tampak Kyai Ahmad yang duduk bersebelahan dengan Ning Khadija saling melirik. Kedua orang tua Zaida duduk pada kursi yang berbeda dan turut tersenyum. Di kursi kosong lainnya tampak Gus Sulaiman yang duduk dengan tenang. Wajah kalemnya yang menurun dari Yai Ahmad membuat ekspresinya tak terbaca. “Wah kebetulan Zaida sudah datang! Sini, Sayang!” Umi Hanifah---ibunda Zaida menepuk kursi kosong di sebela
Akad suci melangit di kota Semarang. Ines yang baru saja resmi diperistri oleh seorang Airlangga duduk tersipu sambil menahan haru. Dikarenakan tak ada kerabat yang bisa menjadi wali, dia dinikahkan dengan wali hakim. Melalui sambungan telepon dia meminta restu dari sang ibu. Meskipun beribu tanya bermuara, tetapi tetap saja restu itu akhirnya didapatkan juga. Setelah para saksi mengucap sah, Ines berpindah duduk di samping Airlangga. Satu kecupan mendarat pada keningnya. Ada debar aneh menggelayar dan membuat hangat dalam dada. “Terima kasih sudah menjadi istriku, Inesa,” bisik Airlangga. Seketika bulu roma Ines meremang. Gugup dan perasaan yang bercampur baur menjadi entah membuat semuanya terasa melayang. “Sama-sama, Kak!” lirih Ines dengan wajah yang sudah memerah penuh rona bahagia. Awalnya Ines meminta agar pernikahan itu dilaksanakan di kampung halamannya saja, tetapi jarak yang cukup jauh membuat Airlangga memutuskan untuk melakukan resepsi saja nanti di sana. Dia ingi
“Itu … itu … itu mobilnya … itu … itu …,” tukasnya dengan tangan gemetar dan tubuh yang limbung. “Ibu!” Ines menangkap tubuh ringkih itu. Beruntung tak sampai terjatuh dan memperkeruh keadaan. “Ibu kenapa?” Airlangga pun tampak kaget. Dia menatap wajah Ibu mertuanya yang tampak pucat. “Itu … itu mobilnya, Nes … mobil itu yang tabrak lari Bapak kamu, Nes! Ya, gak salah lagi. Orang kaya yang gak punya hati itu dia! Orang yang gak punya perasaan! Kenapa harus bertemu di sini?!” pekiknya seraya duduk dan terisak. Memorinya berlarian lagi pada masa-masa yang telah silam. *** “Bu, singkongnya pada jatuh!” Bapak meletakkan kayu bakar yang dipikulnya dan berlari ke tengah jalan raya yang memang lengang. Mereka baru saja pulang membantu mencabut singkong di ladang milik tetangganya dan mendapat satu kantong plastik singkong. Lumayan bisa dibuat kudapan oleh Ibu. “Ya Allah, Pak … iya. Eman, yo. Padahal dapat kita capek!” Ibu menatap plastik singkong yang ditentengnya yang rupanya sobek.
“Bicaralah, Nak!” Tuan Ekadanta berucap lemah. Semua yang telah terjadi di masa lalu memang mutlak kesalahannya. Namun apa boleh dikata. Nasi yang sudah menjadi bubur tak mungkin berubah menjadi nasi kembali. Sesal di kemudian tak berguna. Itulah kondisi yang dialaminya sekarang. “Papa puas dengan semua ini?!” Airlangga berucap penuh penekanan. Sorot matanya menatap penuh kemarahan. “Masuklah, kita bicara di dalam!” Tuan Ekadanta paham kemarahan putranya. Dia tak mau membuat kegaduhan di luar. Dia berbicara dengan nada lemah karena memang dirinya mengaku salah. Lelaki tua itu melangkah masuk dan memilih ruang kerjanya untuk bicara empat mata dengan Airlangga. Airlangga menatap Ekadanta yang duduk dan tampak sudah siap dengan segala caci dan maki yang mungkin akan segera meluncur dari mulut putranya itu. “Papa puas sekarang? Sudah dua kali, dua kali, Pah. Aku menjadi korban arogansi Papa yang begitu menjunjung harta dan bisnis yang Papa banggakan ini. Papa puas sekarang, hah?!”
Sabtu yang ditunggu akhirnya tiba. Airlangga mengenakan pakaian santai. Kaos berwarna hitam tanpa kerah dengan celana panjang menjadi pilihannya. Tuan Ekadanta memakai kemeja berwarna biru tua dan celana bahan berwarna gelap. Herman sudah duduk dibalik kemudi setelah memastikan kondisi mobil layak untuk digunakan perjalanan jauh. Bensin sudah diisinya full, kartu e toll pun sudah diisinya. Tak lupa dia menyiapkan empat botol air mineral di sisi kanan kiri untuk kedua majikannya. “Gak usah ngebut bawanya, Pak.” Airlangga mengulas senyum seraya membuka pintu mobil dan duduk di kursi belakang. “Asiaaap, Bos!” Herman merapatkan empat ujung jari ke ujung alis sebelah kanan. Lalu dia membukakan pintu belakang yang satu sisi lagi ketika Tuan Ekadanta hendak masuk. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Airlangga berulang mengusap layar gawai dan berbalas pesan. Satu minggu sudah rindu untuk bertemu itu terpendam. Rasanya seperti ada yang kurang. Ada bagian dari dalam dada yang hilang.
“Apa kamu pikiri seorang Nyonya Airlangga patut melakukan hal seperti itu? Bahkan uang yang Anda terima setiap bulan, itu berasal dari perusahaan suaminya.” Airlangga menatap Arlan yang kini wajahnya perlahan memucat. Dia benar-benar shock mendengar kalimat terakhir yang Airlangga ucapkan. Lalu dia memberanikan diri memastikan.“A--apa saya tak salah dengar, P--Pak? M--maksudnya d--dia itu-” “Dia itu istri saya. Istri seorang pemilik perusahaan di mana Anda bekerja Pak Arlan yang terhormat. Ayo, Sayang! Kita pulang!” Airlangga meraih jemari Ines dan menautkan dengan jemarinya. Sontak Arlan menelan saliva karena shock dengan fakta yang dilihatnya. Ines menyeka sudut mata, ada rasa hangat mengalir dalam dada. Betapa rasanya dirinya diperlakukan istimewa. Plastik berisi daging kambing itu tak lagi diambilnya, sayur mayur yang berhambur pun akhirnya tergeletak begitu saja. Dia mengikuti langkah Airlangga meninggalkan Arlan dan keluarganya. Arlan mengelap keringat dingin yang mendadak
Ines tak dapat mendengar pembicaraan mereka. Hanya samar seperti gumaman yang saling bersahut antara Ibu dan ayah mertuanya. Namun dari raut wajah Ibu, tampak dia masih memendam kemarahan. Akankah hatinya luluh dengan kedatangan Tuan Ekadanta yang bahkan rela merendahkan diri di hadapan perempuan yang sudah dibuatnya menjadi janda itu. “Ya Allah … lembutkan hati Ibu … apa dia tak melihat sebesar apa cinta kami? Setulus apa Kak Angga padaku ….” Ines menyandarkan tubuh pada dinding dapur. Di tangannya masih memegang pisau untuk mengiris sayur mayur dan daging segar yang dibelinya. Hening, tak terdengar lagi obrolan yang tadi cukup terdengar panjang saling bersahutan. Tak berapa lama deru mobil terdengar. Ines begegas mengintip lagi dari celah pintu dapur. Hatinya mencelos kecewa ketika dilihatnya mobil yang ditumpangi Airlangga dan Tuan Ekadanta menjauh.Ines bergegas mengambil gawai dan mengirim pesan pada Airlangga. Dia ingin tahu, kenapa mereka langsung pergi lagi padahal dia tenga