Share

Bab 2

Suara MC mengalihkan semua perhatian pengunjung. Sebelum acara di mulai, dia mempersilakan serombongan tamu VVIP yang merupakan para petinggi dan pemilik perusahaan untuk menempati deretan kursi istimewa yang sudah terhias di depan. Namun ada satu sosok yang menarik perhatian Ines. Sketsa wajah itu tak asing rasanya. Alis tebal, mata bulat dan bulu mata lentik itu mengingatkan Ines pada sosok seseorang dari masa lalunya.

“Apakah itu dia? Bukannya dia menetap di luar negeri, ya?” gumamnya dalam dada.

Pikiran Ines berlarian ke masa lalu. Mengenang memori yang masih membekas jelas pada saat pertemuan pertama dengan seseorang yang bahkan setiap senyumannya masih melekat di hatinya.

***

Terik surya menggigit kulitnya yang kian legam. Kaki ringkihnya berjalan lincah menyusuri jalanan kampung yang beraspal rusak. Ines mengikat rambutnya ekor kuda agar angin bisa mencumbu leher hitamnya dengan bebas sehingga panas tak terlalu terasa. Di tangannya ada bakul dari anyaman bambu berisi berbagai ikan asin yang diambilnya dari Mang Karman---tetangganya yang berjualan di pasar.

Tak banyak yang dia dapat, hanya beberapa rupiah. Namun keadaan yang membuatnya terlahir dari keluarga tak mampu membuatnya seperti tak mengenal arti kebahagiaan. Hidupnya keras dan penuh perjuangan. Bapak sudah lama menderita sakit akibat sebuah kecelakaan. Kaki Bapak Ines lumpuh dan tak bisa lagi bekerja, sedangkan si penabrak entah ke mana dan tak diketahui rimbanya. Sejak saat itulah Bapak hanya teronggok putus asa denga keadaan yang makin memburuk tiap harinya. Ibu kini tengah hamil sehingga tak bisa banyak membantu perekonomian. Akhirnya tanggung jawab itu sedikit demi sedikit beralih pada pundaknya.

“Ikan asin! Ikan asin!” pekiknya menjajakkan dagangannya berkeliling pemukiman. Peluhnya sudah menganak sungai. Namun bibirnya selalu menyunggingkan senyum, membuat wajah tirusnya terlihat bersemangat walau hatinya selalu merasa tersayat.

Ada beberapa yang membeli dagangannya karena memang butuh, akan tetapi ada juga yang sekadar membeli karena merasa iba. Namun apa daya, kehidupan di kampung yang rata-rata dari bertani tak serta merta membuat mereka memiliki uang berlebih. Tempat yang sebagiannya masih asri dan dihuni para penduduk pribumi. Sebagian penduduknya ada juga yang merantau ke kota, sekadar hanya menjadi pembantu rumah tangga. Para anak mudanya kebanyakan bekerja merantau ke kota industri nun jauh di sana.

Setelah menjelajahi hampir separuh kampung. Kaki Ines merasa pegal. Gadis berusia tiga belas tahun itu duduk di sebuah pos ronda seraya menyeka peluhnya. Tangan ringkihnya mengambil botol air mineral yang setiap hari diisinya dengan air rebusan yang dimasak Ibu setiap pagi. Diteguknya hingga air di dalam botol plastik yang sudah tak ada labelnya itu tandas hingga setengah.

Ines mengangkat lagi bakul yang berisi ikan asin itu untuk berkeliling kembali. Dia tak pernah mengeluh.

“Ikan asin! Ikan asin!” teriaknya lagi.

“Ikan,-“

Bugh!

Kalimatnya terhenti ketika sebuah bola sepak tepat menganai tangannya yang tengah menggendong bakul sehingga benda itu terjatuh.

“Astaghfirulloh!” Kania memekik seraya memandang nanar bakul yang terlempar. Sebagian ikan asinnya tercecer ke jalan, sebagiannya masuk ke dalam parit yang airnya tampak menghitam.

“Maaf, gak sengaja!” Segerombolan anak lelaki berlarian mengejar bola sepak itu. Mereka hanya mengucap maaf, tanpa ada yang membantunya.

“Ya Allah, kenapa seperti ini? Jangankan dapet upah kalau kayak gini!” Ines terduduk lesu seraya menitikkan air mata. Dia memunguti ikan asin yang tak masuk ke parit. Pikirannya berlarian, memikirkan bagaimana bisa mengganti kerugian pada Mang Karman.

“Bapak, Ibu maafin Ines … bukannya bisa bantu meringakan beban Ibu sama Bapak, malah bikin masalah baru!” isaknya seraya bangkit. Dia menatap sebagian ikan asinnya yang sudah berenang-renang di air selokan berwarna hitam itu.

“Mbak, maafin teman-temanku, ya! Yang rusak banyak?” tanya seorang anak lelaki bermata bulat, bibirnya merah dan bulu matanya lentik menatapnya. Sementara itu, satu anak lelaki sepantarannya berjongkok di tepi selokan.

“Iya, Kak!” Ines menghela napas berat.

“Gi, ikan kayak gitu berapaan harganya?” Dia menatap anak lelaki yang kulitnya lebih gelap itu.

“Gak tahu, Den! Eh, kamu … berapa harganya emang ikan asinnya?” Dia melempar pandang pada Ines.

“Beda-beda harganya, tapi itu kalau dihitung ada lah seratus ribuan kali.” Ines menatap ragu pada ikan-ikan kering yang berenang terbawa arus itu.

“Bentar, ya! Kamu tunggu di sini!” Anak lelaki berkulit bersih itu berlari kembali ke sebuah rumah panggung. Tak lama dia datang bersama dengan seorang perempuan paruh baya.

“Ini, Bi … bayar dulu pakai uang Bibi! Kasihan dia ikannya rusak!” Anak lelaki itu menatap wanita paruh baya yang diajaknya.

“Iya, Den Angga … mau bayar berapa? Bibi ambilin uangnya dulu! Emang kenapa sampai rusak, Neng?” Perempuan itu menatap Ines.

“Ketendang bola sama teman-teman Egi, Bu! Tadi katanya rugi seratus ribuan paling.” Anak lelaki yang tadi berjongkok itu bangkit.

“Oalah, makanya kalian kalau main tuh hati-hati! Bentar, ya, Neng!” Perempuan itu berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam.

“Nama aku Airlangga, nama kamu siapa? Kok kecil-kecil malah jualan, sih? Emang gak sekolah?”

Ines terkejut ketika anak lelaki berbulu mata lentik itu menatapnya seraya mengulurkan tangannya. Dengan ragu Ines menerima uluran tangan anak lelaki itu.

“Nama saya Ines. Iya, jualan buat bantu Ibu sama Bapak! Makasih, ya, Kak!” Ines menyambut uluran tangan Airlangga.

Jabatan tangan mereka berakhir ketika perempuan paruh baya itu datang. Dia memberikan selembar uang berwarna merah pada Ines.

***

Semenjak hari itu, Airlangga sering sekali duduk di pos ronda menunggu Ines lewat menjajakkan ikan asinnya. Entah kenapa bagi dia begitu unik melihat gadis kecil berkulit hitam dan berambut ikal itu berjualan. Di cluster elit tempat tinggalnya tak pernah dia menemukan perempuan setangguh Ines.

“Aku punya makanan, Bibi yang masak, mau?” Air langga menyodorkan dua potong kue bolu bertabur ceres.

“Makasih ….” Ines menerima kertas pembungkus dua potong kue itu. Dia menyimpannya di samping bakul anyamannya ketika beberapa ibu-ibu menghampirinya dan membeli ikan asin padanya.

“Kok gak dimakan?” Airlangga menatap Ines yang berkemas.

“Hmm, aku bawa pulang, ya! Buat Bapak. Dia lagi sakit. Kemarin ingin makan kue, tapi aku gak punya uang buat beliinnya!”

“Oh, ya sudah! Bentar aku ambilin lagi. Masih banyak.” Airlangga berlari ke dalam rumah panggung itu. Tak lama dia kembali dan membawa sekantung plastik kue bolu bertabur ceres.

“Makasih!” Ines tersenyum. Lesung pipinya membuat senyumannya terlihat manis.

Keduanya berpisah. Airlangga menatapnya dengan perasaan entah. Hari ini yang membeli ikan asin lumayan banyak. Berharap dia mendapat upah agak lumayan dari Mang Karman. Sebelum pulang, Ines mampir untuk membeli satu porsi sate di pinggir jalan. Sudah lama sekali tak pernah makan enak. Ingin membuat Bapak tersenyum di tengah sakitnya yang menahun.

Setelah membayar, Ines berjalan pulang dengan riang. Plastik sate dan bolu ditentengnya. Senyumnya tak berhenti mengembang membayangkan wajah Bapak dan Ibu yang akan menyambutnya dengan senang.

Namun kerumunan di halaman rumahnya membuat langkah kakinya memelan. Kedua telinganya difokuskan, terdengar tangisan yang meraung-raung dari dalam. Hati Ines sudah tak jelas, berguruh antara penasaran dan takut. Terlabih beberapa bendera kuning berkibar di halaman rumahnya.

***

Ucapan salam dari atas panggung menarik kembali kesadaran Ines. Suara berat itu bahkan masih identik dan khas. Apakah benar lelaki itu dia?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status