Suara MC mengalihkan semua perhatian pengunjung. Sebelum acara di mulai, dia mempersilakan serombongan tamu VVIP yang merupakan para petinggi dan pemilik perusahaan untuk menempati deretan kursi istimewa yang sudah terhias di depan. Namun ada satu sosok yang menarik perhatian Ines. Sketsa wajah itu tak asing rasanya. Alis tebal, mata bulat dan bulu mata lentik itu mengingatkan Ines pada sosok seseorang dari masa lalunya.
“Apakah itu dia? Bukannya dia menetap di luar negeri, ya?” gumamnya dalam dada.Pikiran Ines berlarian ke masa lalu. Mengenang memori yang masih membekas jelas pada saat pertemuan pertama dengan seseorang yang bahkan setiap senyumannya masih melekat di hatinya.***Terik surya menggigit kulitnya yang kian legam. Kaki ringkihnya berjalan lincah menyusuri jalanan kampung yang beraspal rusak. Ines mengikat rambutnya ekor kuda agar angin bisa mencumbu leher hitamnya dengan bebas sehingga panas tak terlalu terasa. Di tangannya ada bakul dari anyaman bambu berisi berbagai ikan asin yang diambilnya dari Mang Karman---tetangganya yang berjualan di pasar.Tak banyak yang dia dapat, hanya beberapa rupiah. Namun keadaan yang membuatnya terlahir dari keluarga tak mampu membuatnya seperti tak mengenal arti kebahagiaan. Hidupnya keras dan penuh perjuangan. Bapak sudah lama menderita sakit akibat sebuah kecelakaan. Kaki Bapak Ines lumpuh dan tak bisa lagi bekerja, sedangkan si penabrak entah ke mana dan tak diketahui rimbanya. Sejak saat itulah Bapak hanya teronggok putus asa denga keadaan yang makin memburuk tiap harinya. Ibu kini tengah hamil sehingga tak bisa banyak membantu perekonomian. Akhirnya tanggung jawab itu sedikit demi sedikit beralih pada pundaknya.“Ikan asin! Ikan asin!” pekiknya menjajakkan dagangannya berkeliling pemukiman. Peluhnya sudah menganak sungai. Namun bibirnya selalu menyunggingkan senyum, membuat wajah tirusnya terlihat bersemangat walau hatinya selalu merasa tersayat.Ada beberapa yang membeli dagangannya karena memang butuh, akan tetapi ada juga yang sekadar membeli karena merasa iba. Namun apa daya, kehidupan di kampung yang rata-rata dari bertani tak serta merta membuat mereka memiliki uang berlebih. Tempat yang sebagiannya masih asri dan dihuni para penduduk pribumi. Sebagian penduduknya ada juga yang merantau ke kota, sekadar hanya menjadi pembantu rumah tangga. Para anak mudanya kebanyakan bekerja merantau ke kota industri nun jauh di sana.Setelah menjelajahi hampir separuh kampung. Kaki Ines merasa pegal. Gadis berusia tiga belas tahun itu duduk di sebuah pos ronda seraya menyeka peluhnya. Tangan ringkihnya mengambil botol air mineral yang setiap hari diisinya dengan air rebusan yang dimasak Ibu setiap pagi. Diteguknya hingga air di dalam botol plastik yang sudah tak ada labelnya itu tandas hingga setengah.Ines mengangkat lagi bakul yang berisi ikan asin itu untuk berkeliling kembali. Dia tak pernah mengeluh.“Ikan asin! Ikan asin!” teriaknya lagi.“Ikan,-“Bugh!Kalimatnya terhenti ketika sebuah bola sepak tepat menganai tangannya yang tengah menggendong bakul sehingga benda itu terjatuh.“Astaghfirulloh!” Kania memekik seraya memandang nanar bakul yang terlempar. Sebagian ikan asinnya tercecer ke jalan, sebagiannya masuk ke dalam parit yang airnya tampak menghitam.“Maaf, gak sengaja!” Segerombolan anak lelaki berlarian mengejar bola sepak itu. Mereka hanya mengucap maaf, tanpa ada yang membantunya.“Ya Allah, kenapa seperti ini? Jangankan dapet upah kalau kayak gini!” Ines terduduk lesu seraya menitikkan air mata. Dia memunguti ikan asin yang tak masuk ke parit. Pikirannya berlarian, memikirkan bagaimana bisa mengganti kerugian pada Mang Karman.“Bapak, Ibu maafin Ines … bukannya bisa bantu meringakan beban Ibu sama Bapak, malah bikin masalah baru!” isaknya seraya bangkit. Dia menatap sebagian ikan asinnya yang sudah berenang-renang di air selokan berwarna hitam itu.“Mbak, maafin teman-temanku, ya! Yang rusak banyak?” tanya seorang anak lelaki bermata bulat, bibirnya merah dan bulu matanya lentik menatapnya. Sementara itu, satu anak lelaki sepantarannya berjongkok di tepi selokan.“Iya, Kak!” Ines menghela napas berat.“Gi, ikan kayak gitu berapaan harganya?” Dia menatap anak lelaki yang kulitnya lebih gelap itu.“Gak tahu, Den! Eh, kamu … berapa harganya emang ikan asinnya?” Dia melempar pandang pada Ines.“Beda-beda harganya, tapi itu kalau dihitung ada lah seratus ribuan kali.” Ines menatap ragu pada ikan-ikan kering yang berenang terbawa arus itu.“Bentar, ya! Kamu tunggu di sini!” Anak lelaki berkulit bersih itu berlari kembali ke sebuah rumah panggung. Tak lama dia datang bersama dengan seorang perempuan paruh baya.“Ini, Bi … bayar dulu pakai uang Bibi! Kasihan dia ikannya rusak!” Anak lelaki itu menatap wanita paruh baya yang diajaknya.“Iya, Den Angga … mau bayar berapa? Bibi ambilin uangnya dulu! Emang kenapa sampai rusak, Neng?” Perempuan itu menatap Ines.“Ketendang bola sama teman-teman Egi, Bu! Tadi katanya rugi seratus ribuan paling.” Anak lelaki yang tadi berjongkok itu bangkit.“Oalah, makanya kalian kalau main tuh hati-hati! Bentar, ya, Neng!” Perempuan itu berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam.“Nama aku Airlangga, nama kamu siapa? Kok kecil-kecil malah jualan, sih? Emang gak sekolah?”Ines terkejut ketika anak lelaki berbulu mata lentik itu menatapnya seraya mengulurkan tangannya. Dengan ragu Ines menerima uluran tangan anak lelaki itu.“Nama saya Ines. Iya, jualan buat bantu Ibu sama Bapak! Makasih, ya, Kak!” Ines menyambut uluran tangan Airlangga.Jabatan tangan mereka berakhir ketika perempuan paruh baya itu datang. Dia memberikan selembar uang berwarna merah pada Ines.***Semenjak hari itu, Airlangga sering sekali duduk di pos ronda menunggu Ines lewat menjajakkan ikan asinnya. Entah kenapa bagi dia begitu unik melihat gadis kecil berkulit hitam dan berambut ikal itu berjualan. Di cluster elit tempat tinggalnya tak pernah dia menemukan perempuan setangguh Ines.“Aku punya makanan, Bibi yang masak, mau?” Air langga menyodorkan dua potong kue bolu bertabur ceres.“Makasih ….” Ines menerima kertas pembungkus dua potong kue itu. Dia menyimpannya di samping bakul anyamannya ketika beberapa ibu-ibu menghampirinya dan membeli ikan asin padanya.“Kok gak dimakan?” Airlangga menatap Ines yang berkemas.“Hmm, aku bawa pulang, ya! Buat Bapak. Dia lagi sakit. Kemarin ingin makan kue, tapi aku gak punya uang buat beliinnya!”“Oh, ya sudah! Bentar aku ambilin lagi. Masih banyak.” Airlangga berlari ke dalam rumah panggung itu. Tak lama dia kembali dan membawa sekantung plastik kue bolu bertabur ceres.“Makasih!” Ines tersenyum. Lesung pipinya membuat senyumannya terlihat manis.Keduanya berpisah. Airlangga menatapnya dengan perasaan entah. Hari ini yang membeli ikan asin lumayan banyak. Berharap dia mendapat upah agak lumayan dari Mang Karman. Sebelum pulang, Ines mampir untuk membeli satu porsi sate di pinggir jalan. Sudah lama sekali tak pernah makan enak. Ingin membuat Bapak tersenyum di tengah sakitnya yang menahun.Setelah membayar, Ines berjalan pulang dengan riang. Plastik sate dan bolu ditentengnya. Senyumnya tak berhenti mengembang membayangkan wajah Bapak dan Ibu yang akan menyambutnya dengan senang.Namun kerumunan di halaman rumahnya membuat langkah kakinya memelan. Kedua telinganya difokuskan, terdengar tangisan yang meraung-raung dari dalam. Hati Ines sudah tak jelas, berguruh antara penasaran dan takut. Terlabih beberapa bendera kuning berkibar di halaman rumahnya.***Ucapan salam dari atas panggung menarik kembali kesadaran Ines. Suara berat itu bahkan masih identik dan khas. Apakah benar lelaki itu dia?Ucapan salam dari atas panggung menarik kembali kesadaran Ines. Suara berat itu bahkan masih identik dan khas. Apakah benar lelaki itu dia?“Selamat petang semuanya! Senang sekali karena untuk pertama kalinya, saya ada di antara Bapak dan Ibu semua dalam acara perayaan ulang tahun perusahaan ini. Tentunya kehadiran saya juga, untuk bertatap muka secara langsung dengan Bapak dan Ibu, para karyawan terbaik perusahaan Dirandra Grup.”Ines memandang lekat wajah dengan garis rahang yang terlihat terbentuk tegas itu. Ucapan demi ucapannya perlahan menguap begitu saja. Otak dan memorinya berlarian pada penggalan pertemuannya dengan lelaki pemilik nama yang sama di masa lalunya. *** “Bapaaak!!!”Ines kecil berteriak pedih ketika dia tahu bendera kuning itu untuk siapa. Bapak---lelaki yang dicintainya itu sudah terbujur kaku. Kue bolu dan sate yang ditentengnya masih digenggam erat, bakul berisi jualan ikan asinnya dihempaskan begitu saja olehnya. Ines rubuh dan tersedu di dekat kaki Bapak.
Riuh tepuk tangan mengiringi langkah anggun perempuan yang berjalan dengan elegan itu. Ines yang tak tahan, turut berdiri. Hatinya sakit. Akal sehatnya sudah terpinggirkan. Dia berjalan keluar dari deretan tempat duduknya dan setengah berlari menghampiri Arlan dan perempuan itu yang baru saja berdiri bersisian di atas forum. Jika hatinya harus hancur, dia tak mau hancur sendirian. Ines tak peduli ketika dia melewati tempat kakak iparnya duduk, mereka memanggilnya. Dia menuju panggung menghampiri dua pasang mata yang kini menatap ke arahnya. “Siapa dia, Sayang?” Aniska berbisik pada Arlan. Dia memandang Ines dengan tatapan heran. Sementara itu, Arlan menelan saliva. Kenapa Ines bisa datang, bukannya dia sudah meminta agar Ibu dan kakaknya jangan ada yang mengajaknya. Belum sempat Arlan menjawab, Ines sudah berdiri di atas panggung. Dia menatap Arlan dengan mata mengembun. “Mas, jelaskan padaku siapa dia?! Kenapa kamu menyebutnya perempuan istimewa? Bukankah aku yang istrimu? Kenapa
Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya sebelum kesuciannya pun direnggut oleh suami bajingannya itu. Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis tak dia hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan. Tanpa Ines sangka, seorang lelaki turun dan menyimpan sesuatu di depannya. Sontak Ines mendongak dan menatap lelaki dengan kumis tipis itu. Kedua mata mereka bersirobok. Ines menautkan alis seraya mengalihkan pandang pada kresek warna hitam yang ada di depannya.“Apa ini, Bang?” tanya Ines. Ya, usia lelaki itu sepertinya tak terpaut jauh darinya.“Buat Mbaknya makan! Tadi punya Pak Langga ketinggalan, pas saya tanyakan katanya suruh kasihin sama yang membutuhkan saja!” tukasnya sopan. Ines terdiam, rupanya dirinya dikira pengemis oleh lelaki itu. Nam
Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan. Mobil itu berhenti di depan garasi yang masih tertutup. Ibu mertua dan dan para kakak iparnya turun. Mereka tampak saling melirik. Ines sudah bersiap untuk menyerang jika sumpah serapah serta makian dia dapatkan. Namun salah dugaan Ines, Retno menghampiri dan memeluknya. “Maafin Ibu, Nes! Maafin Ibu! Tadi itu, Ibu hanya tak punya pilihan,” bisiknya. Mirna dan Erna pun turut menepuk lembut bahunya yang sedang dalam pelukan Retno. Sementara itu, Gugun dan Erda---suami Mirna dan Erna langsung membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Ines mematung, padahal dia sudah bersiap membela diri ketika ibu mertua dan para kakak iparnya menyerang. Namun semua dugaannya salah. Mereka
Wajah Ines memucat ketika Arlan mendekat. Bahkan wajah mereka nyaris tak berjarak. Hembusan napas Arlan yang mulai memburu dipenuhi birahi menghembus menyapu wajahnya. Ines sekuat tenaga mendorongnya agar suaminya itu menjauh. “Mas, aku masih halangan! Jangan sentuh aku!” Ines berkilah. Padahal baru saja dia bersuci. “Oh, gitu! Biar aku periksa sendiri!” bisik Arlan seraya menyentuh hujung handuknya yang menjuntai. Namun Ines menepis tangan itu kasar. Sudah tak peduli lagi tentang dosa, tentang laknat malaikat ketika menolak keinginan sang suami. Otak Ines sudah dipenuhi kebencian pada sosok yang kini mengkungkungnya itu. “Kamu itu harus nurut. Aku ini suamimu, Sayang!” tekan Arlan. “Iya aku akan nurut tapi pada suami yang seperti apa dulu? Bahkan kamu tak menghargaiku sebagai istrimu!” pekik Ines. Kedua tangannya sekuat tenaga mendorong dada Arlan. Namun lelaki itu malah menangkapnya. Lalu tanpa Ines sangka, Arlan membopong tubuhnya dan membawanya ke atas tempat tidur. “Lepas
“Istrinya Mas Arlan? Kapan mereka menikah, Ma? Bukankah ketika Mas Arlan menikahiku status di KTP-nya masih lajang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Rupanya perempuan itu istri dari suaminya. Retno tersenyum mencoba tetap bersikap ramah. Dia mengelus punggung Ines yang duduk disisinya. Lalu dia meraih jemari Ines dan menggenggamnya. “Nes, dengarkan Ibu! Kamu adalah menantu kesayangan Ibu di sini! Kamu akan tetap menjadi menantu Ibu seperti janji Ibu pada Ibumu. Kamu akan selamanya di sini dan bahagia bersama Arlan!” ucapnya. Alih-alih menjelaskan, tetapi hanya berputar membuat Ines menghembuskan napas kasar. “Bu, tolong! Ines butuh penjelasannya!” Ines menatap pada kedua manik hitam Ibu mertuanya. “Hmmmm!’ Dia berdehem lalu menunduk sebentar. Setelah itu menarik napas panjang. Kedua bola matanya menatap Ines tajam. “Dia itu istrinya Arlan, maafkan kami yang tak menjelaskan apapun padamu! Namun seharusnya yang marah itu dia kalau tahu Arlan menikahimu karena kamu istri kedua
Otaknya yang tengah kalut tak bisa berpikir jernih. Berada dalam keadaan yang tak menyenangkan membuat Ines semakin merasa tertekan. Dia beranjak berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menatap keluar dengan pandangan kosong. Berharap ada pangeran berkuda putih yang datang mengeluarkannya dari penjara itu. Namun semua asa itu hanya taburan harap belaka, pada kenyataannya kini dia tengah terkurung di rumah suaminya sendiri. “Kapan aku bisa hidup dengan kebahagiaan, ya? Rasanya dari kecil hanya pedih, sedih dan luka saja ….” Ines memejamkan mata. Membiarkan hembusan angina menyapu wajahnya. Menyelinap dari jendela yang terbuka. Andai tak ada trails yang menghalanginya, mungkin dia sudah melompat saja. Meninggalkan rumah yang semakin hari semakin membuatnya gerah. Berulang kali dia mengecheck pintu, tetapi masih saja terkunci dari luar. Sepertinya anak kuncinya sengaja tak dilepas, jadinya anak kunci yang dia pegang menjadi tak berguna. Hanya bisa masuk, tapi tak bisa berputar. “Ak
Ines mengerjap. Pengaruh obat bius yang diberikan Arlan padanya sudah lenyap. Namun alangkah kagetnya dia ketika terbangun, dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan tanpa sehelai benangpun. Pakaiannya berserakan di lantai. Selain itu ada rasa sedikit nyeri yang terasa perih di inti tubuhnya dan bercak darah para seprai di sekitar tempatnya terbaring. “Enggak, aku enggak relaaa!!!” Ines memekik seraya menjambak rambutnya yang terurai. Dia menarik selimut menutupi tubuh polosnya. Ines melempar-lemparkan bantal dan apa saja yang ada di dekatnya. Amarah memuncak, dirinya mulai membenci takdir yang tak berpihak. Hatinya hancur berkeping ketika mendapati kesucian yang selama ini dia jaga sudah direnggut paksa oleh lelaki yang bergelar suami, tetapi bukan seorang imam seperti impiannya. “Tuhan, apa aku serendah itu di mata-Mu? Bukankah sejak kecil aku sudah Kauerikan kesusahan, hidup kekurangan, Bapak ditabrak orang lalu sakit-sakitan, hidup aku dikucilkan dan pedih sejak dulu? Ke