"Nes, tolong ya setrikain baju, Mbak!”
“Eh, yang gamis Ibu juga sekalian, ya!”“Sama itu kerudung punya Mbak Mirna juga, masih di jemuran!”“Iya ….”Ines mengiyakan semua perintah mereka. Dinikahi oleh seorang Arlan Bramantyo rupanya bukan berakhirnya takdir menyedihkan yang selama ini menggelayuti hidupnya. Diboyong dari kampung kecilnya dari daerah pantura mengikuti suami dan Ibu mertua yang menjemputnya rupanya hanya mimpi buruk. Perjodohan di antara teman lama itu, bukan hal tulus. Ibunya Mas Arlan rupanya sudah berubah. Kehidupan kota Jakarta dan hidup mewah rupanya membuat kesetiaan dan janji persahabatan Ibu dan Retno---Ibu mertuanya yang merupakan sahabat kecil hanya kamuflase saja.“Sudah, Nes?” Retno menghampiri menantunya yang tengah menyetrika pakaian mereka. Hari ini semua diundang ke acara perusahaan di mana Arlan bekerja. Lelaki yang baru seminggu menjadi suaminya itu kabarnya akan mendapatkan promosi dan naik jabatan. Semua perayaannya akan diumumkan pada pesta ulang tahun perusahaan.“Iya, Mah! Ini punya Mamah udah selesai!” tukasnya seraya menyodorkan gamis yang sudah selesai disetrikanya.“Punyaku mana, Nes?” pekik Erna---kakak Arlan yang pertama.“Bentar, Mbak! Ini masih ngerjain punya Mbak Mirna!” Ines menyegerakan kerudung Mirna yang sudah hampir selesai disetrikanya.“Oke, kalau sudah, anterin ke kamar, ya! Aku mau rapiin rambut.“Iya, Mbak!”Akhirnya setelah sekitar satu jam berkutat dengan pakaian yang disetrikanya semuanya selesai juga. Ibu mertua dan kedua kakak iparnya sudah tampil cantik. Suami-suami mereka sudah pergi duluan karena kedua suami Mirna dan Erna pun bekerja di perusahaan yang sama dengan Arlan.Mereka sudah tiba diambang pintu ketika Ines masih memoles wajahnya dengan bedak tipis di kamar. Dia mencari pakaian juga yang layak dan tidak mempermalukan Arlan---suaminya yang tampilannya perlente. Namun baru saja dia memakai kerudung, terdengar deru mobil sudah menjauh.Ines menyegerakan memakai kerudung lebarnya lalu berjalan tergesa ke pintu depan. Namun benar, mobil mereka sudah berjalan meninggalkan kediaman megah itu.“Kenapa aku ditinggal? Padahal kemarin aku dengar kata Ibu, nyuruh Mas Arlan ngajak istrinya. Istrinya ‘kan aku? Apa ibu lupa?” batinnya.Seminggu berada di rumah itu, belum mampu membuat Ines mengenali semuanya. Bahkan rasanya masih banyak rahasia yang tersembunyi dan belum terkuak olehnya. Namun dia pun tak tahu apa pastinya. Hanya saja hatinya mengatakan demikian.Meskipun Ines merasa kecewa karena tak bisa menghadiri acara besar itu, dia bisa apa? Ines kembali mendorong daun pintu untuk masuk ke dalam. Padahal ingin sekali dia memberikan dukungan pada Arlan---suaminya dan hadir di acara yang sama sekali belum terbayang megahnya oleh dirinya.Namun deru mobil yang berhenti di depan gerbang yang masih terbuka itu membuat Ines menoleh. Sebuah avanza veloz berhenti. Lalu seorang lelaki dengan rambut klimis turun dan menghampirinya.“Mbak, Arlannya ada?” tanyanya.“Maaf, Mas … Mas Arlannya sedang menghadiri acara di perusahaan! Ada apa, ya?” Ines menatap lelaki itu.“Oalah, kemarin ngajakin bareng … eh malah berangkat duluan!” gerutunya seolah bermonolog.“Oh, Mas ini temannya Mas Arlan, ya? Mau ke tempat acara juga?” Ines menatap lelaki itu.“Iya, Mbak! Saya kebetulan cuma berdua sama istri dan saya ini masih karyawan baru, jadi suka agak malu gitu kalau pas datang!” kekehnya seraya menggaruk kepala.Ines terdiam sejenak. Rasa ingin hadirnya kian menggebu. Akhirnya dia memberanikan diri untuk ikut menumpang pada mobil lelaki yang kini diketahui bernama Eman itu. Lelaki itu tampak senang ketika Ines ikut bergabung dengan mereka. Istrinya pun mengijinkan dan tampak cukup ramah pada Ines yang baru saja dikenalnya.Mobil mulai memasuki jalan raya, sedikit macet karena memang berbenturan dengan jam pulang kerja. Acara yang dilaksanakan usai jam kerja itu dilaksanakan di sebuah aula restoran ternama di kota itu.Ines bersama Safitri---istri Eman berjalan bersisian. Mereka cukup kikuk ketika akhirnya bergabung dalam keramaian. Ines mengedarkan pandang ke sekitar. Senyumnya mengembang ketika dia melihat Ibu mertuanya, bersama dua kakak iparnya tengah berdiri di dekat stand makanan.“Mbak, aku ke sana dulu, ya!” Ines menepuk lembut punggung tangan Safitri lalu berjalan tergesa menghampiri mereka. Senyumnya semakin terkembang ketika dia melihat Arlan berjalan dari arah berlainan hendak menghampiir keluarganya.“Mas Arlan!” gumam Ines seraya mempercepat langkahnya.Namun senyum itu seketika memudar ketika tampak Arlan datang dan menggandeng seorang perempuan. Mereka tampak mesra sekali. Tangan Arlan melingkar pada pinggang wanita itu, sementara itu senyumnya tampak sangat tulus, tak seperti ketika bersamanya.Ines menghentikan langkah, lalu membaur bersama karyawan lainnya. Kebetulan suara MC menggema mengumumkan jika acara akan segera di mulai. Hatinya berdesir nyeri ketika semua hadirin dipersilakan menduduki kursi dan Arlan tak lepas saling berpegangan tangan dengan wanita itu.“Siapa wanita itu sebenarnya? Apakah dia tak tahu kalau Mas Arlan sudah menikah? Namun kenapa Ibu, Mbak Erna dan Mbak Mirna pun tampak akrab dengannya? Padahal pernikahan kami baru berumur seminggu? Mas Arlan bahkan belum menyentuhku? Apakah secepat itu dia berpaling dan mengkhianati janji suci yang dia ikrarkan untukku?” batin Ines seraya memilih kursi yang agak jauh. Kedua netranya yang mengembun memperhatikan tingkah keluarga suaminya.Suara MC mengalihkan semua perhatian pengunjung. Sebelum acara di mulai, dia mempersilakan serombongan tamu VVIP yang merupakan para petinggi dan pemilik perusahaan untuk menempati deretan kursi istimewa yang sudah terhias di depan. Namun ada satu sosok yang menarik perhatian Ines. Sketsa wajah itu tak asing rasanya. Alis tebal, mata bulat dan bulu mata lentik itu mengingatkan Ines pada sosok seseorang dari masa lalunya.“Apakah itu dia? Bukannya dia menetap di luar negeri, ya?” gumamnya dalam dada.Ucapan ijab qabul menggema mengiringi janji suci dua orang yang hari ini resmi diikat oleh pernikahan. Arlan duduk menunduk seraya menyeka keringat yang bermunculan. Bahkan dunianya seakan berhenti berputar. Dirinya tak menyangka ketika pada akhirnya bisa menemukan jalan hijrah dan anugerah cinta. Dia pun masih tak menyangka ketika dirinya dipertemukan dengan seorang yang lembut dan berhati baik, berharap sang mampu melengkapi kurangnya pengetahuan agamanya. Tiga bulan setelah pertemuan di masjid ketika acara hari itu. Arlan mendapatkan tawaran untuk kerja sebagai salah satu staff di pondok pesantren modern. Semua itu atas nama rekomendasi Azizah dan tentunya rekomendasi dari Ikbal---sang ketua DKM. Dia melihat Arlan yang cukup ulet dan gigih selama menjadi marbot masjid. Ikbal cukup dekat dengan Arlan dan seringkali dimintai pendapat olehnya. Melihat kesungguhan Arlan untuk hijrah, akhirnya dia pun yakin jika semua keburukan Arlan telah menguap bersama status sosialnya.Arlan sempat
Airlangga memekik haru ketika benda pipih bergaris merah itu ditunjukkan Ines padanya. Dia langsung membopong tubuh Ines dan menghujani wajah sang istri dengan kecupan. Bahagia tak terkira ketika akhirnya dirinya akan segera menjadi seorang ayah. “Terima kasih, Ya Allah … terima kasih, Sayang!” “Kak, ih … nanti aku jatuh gimana?” Ines mengalungkan lengannya pada leher Airlangga. “Aku bahagia, Dik! Aku ingin merayakan semua kebahagiaan ini dengan semua karyawan perusahaan! Hmmm baiknya bikin acara apa, ya?” Airlangga menurunkan Ines perlahan dan menudukannya di atas sofa. “Ya, bagi-bagi voucher belanja mungkin, Kak. Kan gak ribet juga,” tukas Ines. “Ide bagus! Oke, nanti kita minta Rendra urus semua!” Airlangga begitu berbahagia. Diusapnya pipi Ines dengan lembut. “Kita ke dokter sekarang, ya! Biar kamu dapat asupan vitamin yang bagus! Habis itu kita ke tampat Papi dan Mami. Terus kita kabarin Ibu.”Airlangga berbicara dengan mata berbinar. Ines mengangguk dan turut mengiyakan. K
Arlan duduk termenung, kalimat demi kalimat yang almarhum ayahnya sampaikan kembali terngiang. Entah kenapa baru kali ini dia menyadari begitu banyak petuah sang ayah yang sudah dia tinggalkan. “Jadilah pelindung untuk dua kakakmu, Jadilah pelindung untuk Ibumu, Bapak rasa umur Bapak sudah tak lama. Jadilah anak sholeh yang doanya bisa menerangi alam kubur Bapak.” Semua kalimat itu seolah ada tanggung jawab yang dilimpahkan. Almarhum ayahnya mempercayakan Ibu dan kedua orang kakaknya padanya. Namun pada kenyataannya, justru berbanding terbalik. Arlan tak mampu mengendalikan mereka, justru dirinya yang dikendalikan Retno dan Mirna. Kesibukan mempersiapkan acara tabligh akbar, akhirnya kembali mengalihkan perhatiannya. Dengan kakinya yang masih terpincang dan dibantu gerak oleh tongkat yang menyangga ketiaknya. Arlan membantu sebisanya. Menata kursi, memasang taplak meja, lalu menyajikan air mineral untuk para anggota DKM yang sebagian besarnya anak muda. Menjelang siang, nasi kotak
Dering bell yang terdengar membuat Narendra bergegas keluar dari rumah. Dia baru saja selesai membuat sarapan untuknya. Dua tangkup roti bakar dan segelas kopi hitam sudah tersaji di meja. “Pagi Pak Rendra!” Senyum manis Fika menyapanya. Perempuan itu juga tampak sudah rapi. “Pagi, Bu Fika! Ada apa, ya? Kalau mau ngasih kopi, maaf banget, saya sudah buat.” Narendra menautkan alis menatap Fika yang membawa cangkir di tangannya. Fika tersenyum seraya menggeleng kepala. Satu tangan menutup bibirnya, tingkahnya berbeda sekali dengan Fika yang begitu tegas ketika menindak karyawan yang melanggar peraturan. Fika di luar jam kantor, lebih tampak manja dan nekat kalau Narendra bilang. “Bukan mau ngasih kok, Pak Rendra! Saya mau minta air panas. Maklum rumah baru, Pak. Saya kira sudah lengkap kemarin tuh. Eh nyatanya gak ada kompor juga buat manasin air, dispenser ada, sih, tapi mati.” Fika terkekeh dan menunduk. “Oh, mari masuk! Banyak kok kalau sekadar air panas, sih!” Narendra menggese
“Andai kebahagiaanku adalah Mas Arlan, Pah? Bagaimana?” lirih Aniska seraya menutup wajahnya dan membiarkan tangis lepas meluahkan beban yang terasa berat di pundaknya.“Tidak! Papa tidak akan mengijinkanmu memelihara pengkhianat itu di rumah ini! Andai dia hanya cacat dan tak bisa kerja, tetapi hatinya setia … Papa masih bisa pertimbangkan. Namun masa depan seperti apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki pengkhianat, cacat dan pengangguran?! Gak ada, Nis! Gak ada!” Hafid berucap dengan tegas dan lantang. Aniska menunduk. Hatinya membenarkan apa yang sudah menjadi keputusan ayahnya. Dia pun sadar, semua yang dikatakan ayahnya adalah benar. Bahkan sakit hatinya masih terasa ketika mendengar pengakuan perempuan yang mengaku tengah mengandung anak dari suaminya. Hafid langsung meminta pengacaranya bergerak cepat untuk menggugat cerai Arlan yang masih terbaring tak berdaya. Hafid merasa ditusuk dari belakang oleh orang yang teramat sangat disayanginya itu. Bahkan setiap kesalahan kec
Di tengah keraguan hatinya. Narendra melajukan mobilnya bukan menuju ke arah rumah, melainkan menuju ke kediaman Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Dia hendak bertanya beberapa hal terkait Azizah. Bagaimanapun dia telah memintanya langsung pada kedua orang tuanya. Apa jadinya jika tiba-tiba dia memilih FIka tanpa mengetahui seperti apa kondisi sebenarnya perempuan yang awalnya diharap bisa menjadi istrinya itu.Mobil yang dikendarai Narendra akhirnya tiba di kediaman Umi dan Abi. Dirinya disambut baik dan dipersilakan seperti biasa. Tak banyak basa-basi yang terjadi. Narendra mengungkapkan pertanyaan seputar penolakan Azizah padanya.“Apakah dia sudah memiliki calon lain yang u sesuai keinginannya, Umi, Abi?” tanya Narendra.“Setahu Umi sih belum, Pak Rendra. Dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan trauma. Namun Iza tak mau terikat dengan siapapun saat ini dan entah sampai kapanpun dia tak memberikan kepastian pada Umi,” tukasnya. “Apakah saya boleh tahu seperti apa kriteria calon suami