Share

Bab 2

**

PoV Cahaya

Setelah penghinaan demi penghinaan yang ku terima dari Mas Arman tentu saja aku sakit hati. Bagaimana bisa dia membuat runtuh hatiku. Sudah hampir tiga tahun kupendam perasaan sakit hati ini. Setelah kelahiran anak keduaku perkataannya gak bisa lagi dia jaga. Dia selalu saja menyakiti hatiku setiap hari. 

Selama dua tahun ini bila dia meminta hak nya sebagai suami. Mas Arman selalu mematikan lampu. Dia membiarkan penerangan padam. Saat kutanyakan alasannya membuatku mengelus dada. 

"Mas, kenapa lampu di matikan?" tanyaku heran.

"Iya, aku gak selera lihat kamu. Aku jijik lihat wajah dan badan kamu. Udah jerawatan, kamu g e n d u t lagi. Sama sekali gak selera." 

"Tega banget kamu, Mas. Aku ini istrimu." 

"Iya, kamu istriku. Tapi, jadi jelek adalah pilihanmu. Makanya kamu berubah cantik dong!" 

"Mana uangnya. Kamu cuma suruh aku berubah cantik tapi kamu sama sekali gak bertanggung jawab terhadap ucapan kamu. Yang kamu cukupkan cuma keluargamu sedangkan aku hanya cukup di beri buat makan kita saja!" kataku protes. 

Kesal sekali jawabannya hanya itu dari waktu ke waktu. 

"Berisik kamu. Makanya kreatif, dong. Jangan taunya minta aja. Kerja kamu biar tau cari duit susah. Jadi cantik bisa banyak cara. Gak perlulah minta duit segala!" 

Aku mendesah mendengar ucapan Mas Arman. Bagaimana dia bisa punya pendapat demikian. Banyak cara bagaimana kalau pakaian ku semuanya lusuh, uang diberikan hanya pas buat makan dan terkadang juga kurang. 

"Kamu ini yang aneh. Kalau mau istri cantik modalin! Bagaimana kamu bisa punya pikiran begitu, Mas. Kamu selalu menghina aku tapi kamu juga butuh sama aku!" kataku ketus saat itu. 

"Kamu nolak aku? Istri gak boleh nolak suami. Paham kamu! Udah cepat gak usah banyak protes. Nanti mood aku hilang!" katanya menarikku ke kamar yang sinarnya sengaja di padamkan. Gelap dan hening. 

Benar katanya sebagai istri aku gak boleh menolak suamiku tetapi, sebagai suami dia juga harus bisa menjaga lisannya untuk tidak menyakitiku. Malam itu kulalui dengan hampa karena takut sama Allah saja. 

"Apa kamu puas, Mas. Setelah kamu hina aku. Kamu butuh juga denganku!" kataku dengan sudut mata berair setelah Mas Arman selesai menuntaskan h a s r a t nya. 

Dia tak bisa melihat kesedihanku di palung hati terdalam setelah dia puas h i n a-h i n a aku. Beberapa tetes embun menjadi saksi begitu sakit hatiku di perlakukan sedemikian suami sendiri. 

"Ya, aku puas karena selama kita melakukannya aku membayangkan orang lain. Andai saja kamu cantik seperti dalam bayanganku maka tak perlu gelap gulita seperti ini. Aku terpaksa mematikan lampu berharap yang bersamaku gadis cantik bukan kamu!" 

Aku hanya diam. Bibirku kelu untuk melanjutkan perkataan. Bila ku bantah Mas Arman bisa main tangan. Tidak, bukan seperti ini cara melawannya. Begitulah kata batinku. Sudah begitu banyak rasa sakit yang menyayat jiwa dia berikan padaku. 

Selama ini aku terus menahannya. Akhirnya penghinaannya yang terakhir menjadi motivasi buatku bangkit. Sudah enam bulan sejak kejadian dia tak ajak aku ke kondangan itu. Aku diamkan suamiku. Aku tak akan berbicara kalau tidak penting. 

Dia sepertinya merdeka memberikan uang seadanya setiap bulan di atas kulkas lalu bergegas pergi. Dia akan meminta haknya kalau ingat saja dengan lampu yang di padamkan. 

Dalam keadaan diam. Aku terus berpikir untuk merubah diri. Merahasiakan sesuatu darinya bagaimana aku mendapatkan uang. Tidak lagi berbicara dengannya apapun itu. 

Sudah sebulan Mas Arman tak meminta hak nya sebagai suami. Dua Minggu dia di luar kota. Aku merasa heran juga kenapa dia begitu. Apa ada wanita lain? Entahlah, tetapi dia gak tahu selama sebulan ini aku terus berusaha merubah diri. Sengaja berpenampilan jelek di depannya. 

Karena mindset Mas Arman tentang diriku selalu saja j e l e k. Bila dia melihatku maka dia akan terus berpikir aku jelek di matanya padahal aku sudah berubah. Bobot tubuhku juga turun akibat kebanyakan pikiran disamping aku diet dan olahraga sendiri di rumah. Selama enam bulan aku merubah diri dan membuahkan hasil bagus. 

Namun, di depan Mas Arman aku tetap jadi jelek. Tetap jerawatan karena make up. Pakaianku juga selalu tertutup jadi dia tak tahu kulitku sudah berubah lebih mulus. Pokoknya di depan dia tampilanku sengaja amburadul. Akibat pikiran buruk yang dia bangun sendiri untuk melihatku. Dia selalu memandang penampilanku dengan kata j e l e k. 

Malam hari saat dia pulang ke rumah dia memindai diriku. Aku hanya tertunduk takut ketahuan. Mas Arman gak boleh tahu kalau itu aku. Sengaja aku pakai baju khusus agar terlihat lebih gemuk. 

"Cahaya, aku lihat kamu kurusan?" katanya. 

"Benarkah, Mas. Alhamdulillah," ujarku. 

"Namun, kamu tetap sama." 

"Sama apa? Kamu mau e j e k aku lagi?" 

"Bukan nge-jek tapi emang kamu gak pernah berubah selalu saja d e k i l!" katanya berlalu. 

**

Aku membuka aplikasi biru. Aku juga berteman dengan keluarga Mas Arman di sana dengan akun fake. Ibu, Arum, Ria. Aku berteman dengan mereka. 

"Skincare murah, hasil bagus. Kalau mau barang yang lainnya juga bisa pesan. Murah banget. Datang ke toko juga boleh, kita sering life ya. Pantengin kalau lagi live biar harga lebih murah," kataku memposting di aplikasi biru. 

Tentu saja ada beberapa yang komen dan menjelaskan kalau mereka menggunakan skincare yang aku pakai juga serta membeli barang di tokoku. Semua ini ku rahasiakan dari Mas Arman dan keluarganya. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bangkit seperti sekarang ini. 

"Mau pesan." Tulis Ria dan Arum di kolom komentar. 

"Wah, boleh-boleh. Mbak udah sangat cantik. Pasti lebih cantik lagi kalau menggunakan skin care ini apalagi pakaian-pakaiannya juga boleh dilirik mbak sekalian ditambah tas bisa lebih keren dan oke banget deh pastinya." 

Aku sengaja membalas ke mereka berdua. Berharap mereka membelanjakan uang mereka di tokoku. 

"Iya kah, Mbak. Pasti beli ni. Kapan live?" tanyanya. 

"Biasa kami pagi sekitar jam sepuluh nanti sekitar jam empat sore live lagi. Yuk pantengin kak." 

"Siap kak," kata Arum di komentar. 

Aku tersenyum mendapatkan balasannya. 

"Heh, kamu lagi apa? Senyum-senyum sendiri lagi?" tanya Mas Arman tiba-tiba mengagetkanku. 

"Enggak ada. Aku lagi nonton drama Korea," dustaku. 

Segera ku tutup aplikasi biru. Mas Arman duduk di dekatku. 

"Ada apa, Mas?" tanyaku. 

"Hmm ... Mau tanya bagaimana pendapatmu kalau Mas menikah lagi?" tanyanya begitu saja. 

"Apa?" Aku ter kaget mendengar ucapannya. 

Bagaimana mungkin dia punya pikiran seperti itu untuk menikah lagi apakah suamiku ini sudah kurang waras. Satu istri saja mungkin belum mampu. Dia mau membully wanita lain kah? 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status