Share

Gagal Kabur

Vin memindai tiap monitor yang ada di hadapannya. Lima layar komputer cukup besar berjajar rapi di depannya. Semua tampilan saling terhubung, menunjukkan sebuah peta.

“Terakhir kali kita terhubung dengannya saat dia memberitahu lokasi Ilario.” Miguel menjawab pelan, tangan sang asisten bergerak lincah di atas keyboard. Mencari sesuatu yang beberapa hari terakhir hilang dari jangkauan mereka.

Ada kecemasan tersendiri saat Vin mengingat siapa yang tengah mereka khawatirkan. “Emma, ini salahku. Aku tidak seharusnya membiarkanmu masuk ke sarang Ilario, ini sangat berbahaya.” Gumam Vin setengah putus asa. Sejak jejak Ilario hilang, Emma turut menghilang.

“Apa jangan-jangan Ilario sudah menyadari siapa Emma?” Pertanyaan Miguel membuat ratio kecemasan Vin semakin tinggi. Jika sampai terjadi apa-apa pada Emma, dia tidak bisa memaafkan dirinya.

“Terus mencari, meski aku khawatir padanya. Tapi aku yakin kalau dia bisa menjaga diri.” Miguel mengangguk menyetujui ucapan Vin. Dia tahu benar bagaimana kemampuan Emma. Walau perempuan, skill Emma tak kalah dari para pria yang bergabung dalam klan mafia Black Chimaera.

Vin keluar dari kamar rahasia yang berada di balik dinding ruang kerjanya. Tidak ada yang tahu soal tempat itu, kecuali Miguel dan beberapa orang kepercayaan Vin.

Lelaki itu berjalan menuju kamarnya yang berada di sebelah ruang kerjanya. Dari lantai dua, bisa Vin lihat kehadiran Helga di rumah itu. Wanita itu kini duduk di ruang tengah bersama sang mama. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari bahasa tubuh dua wanita itu menimbulkan rasa tidak nyaman dalam dirinya, seolah hal yang tidak baik akan segera terjadi.

“Apa kamu sudah tidur?” Vin bertanya ke arah sang istri, yang lagi-lagi terkejut dengan kedatangan Vin. Pria itu mengulas senyum berbalut kelegaan, melihat sang istri baik-baik saja.

Mengingat apa yang ingin Maria lakukan sore tadi. Maria hampir melukai dirinya dengan pisau buah, untungnya Vin segera datang. Vin berhasil merebut pisau itu dari tangan Maria. Satu hal yang membuat tangis Maria pecah. Vin dengan sigap meraih Maria dalam pelukannya.

Pelukan itu jadi interaksi intim pertama mereka setelah Maria “hidup kembali” Dalam kekalutannya, Maria menemukan kedamaian dan kenyaman di dekapan tubuh kekar Vin. Lelaki yang mengaku sebagai suaminya.

“Jangan lukai dirimu, aku mohon. Kamu boleh marah, boleh menangis, kamu bisa melakukan apa pun di sini, sesuka hatimu. Aku sama sekali tidak keberatan.” Vin menjeda ucapannya. Pria itu membiarkan Maria meluapkan seluruh keluh kesah yang wanita tersebut rasakan.

“Dengarkan aku, aku sama sekali tidak merasa terganggu dengan keadaanmu. Andreas bilang kamu tidak ingat apa pun tentang aku juga Enzo.” Vin menangkup wajah Maria saat tangis sang istri mulai mereda. Maria mengangguk bingung. Dia pikir berusaha mempercayai suaminya adalah hal bagus, Vin baik dan terlihat sangat mencintai Maria.

“Kalau begitu kita akan sama-sama mengingatnya. Aku akan membantumu,” Vin berkata sembari menatap dalam bola mata Maria yang berwarna biru. Maria bisa merasakan ketulusan dan kejujuran dalam sorot netra abu-abu milik Vin.

“Ba....bagaimana jika aku tidak bisa ingat apa-apa.” Satu kalimat yang menjadi ketakutan terbesar bagi Maria. Bukan karena tidak yakin tak mampu mengingat kejadian terdahulu. Maria takut kalau yang dia pikirkan adalah benar. Raga Maria bukanlah miliknya.

Vin tersenyum, ini adalah kali pertama Maria menjawab pertanyaannya, sejak wanita itu membuka mata seminggu yang lalu. Vin pikir ini kemajuan yang cukup baik. Sesuai petunjuk Andreas, Vin diminta perlahan saat ingin mendekati Maria.

“Kalau kamu tidak bisa mengingat kenangan kita, jangan dipaksa. Jika mengingatnya membuatmu sakit kepala, lupakan saja. Kita buat kenangan yang baru soal kita, aku, kamu dan Enzo.” Vin menyahut bersungguh-sungguh.

Maria mengerjapkan mata beberapa kali. Pria ini bahkan dengan mudah menerima keadaannya. Mengingat selama di rumah sakit, Maria menolak kehadiran Vin mentah-mentah. Dia juga enggan bersentuhan dengan sang suami.

Tapi lihatlah kini, dirinya justru merasa sangat nyaman dalam dekapan Vin. Rasanya hangat dan menenangkan. Pelukan Vin laksana sayap besar yang menawarkan perlindungan pada Maria yang tengah dilanda kebingungan, kekalutan, kecemasan.

“Tapi berjanjilah padaku. Jangan pernah menghindariku, jangan menjauhiku dan paling penting....jangan melukai dirimu sendiri, oke?” Dua orang itu saling bertatapan untuk beberapa waktu, hingga Maria menganggukkan kepalanya.

Senyum Vin mengembang, melihat Maria yang mulai menerima dirinya juga keadaannya. “Aku tidak punya pilihan selain mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru ini.” Batin Maria, menurut saat Vin menuntunnya ke arah kasur, membaringkan tubuhnya yang masih terasa lemas.

Vin lantas melepas kaosnya, membiarkan dada pria itu terekspose begitu saja. “Tidak ingat? Aku tidur topless.” Cengir Vin, merespon wajah bingung Maria. Vin naik ke atas kasur, berbaring di samping Maria yang mematung, hingga Vin memeluk tubuh Maria. “Kita tidur selalu berpelukan.” Tambah Vin, mencium kening Maria. Vin akan berusaha ekstra sabar menghadapi Maria, wanita yang sangat dia cinta.

Vin merasa sangat penat beberapa terakhir ini. Gagalnya penangkapan Ilario, ditambah kejadian yang menimpa Maria, membuat Vin lelah baik fisik maupun mental. “Aku mencintaimu, Maria.” Bisik Vin sebelum pria itu memejamkan mata.

Memiliki Maria di sisinya membuat Vin merasa damai. Lain hal, dia akan mengurusnya belakangan.

Sementara di tempat persembunyian Ilario. Hampir tengah malam saat lelaki itu turun dari ranjang, meninggalkan Emma yang masih terengah nafasnya. Wanita itu melayangkan tatapan penuh kebencian pada Ilario, Emma kini dikurung di menara paling tinggi tempat tinggal Ilario yang mirip kastil dalam cerita dongeng.

“Jangan melihatku seperti itu. Tidak ingat kamu tadi sangat menikmati permainan kita.” Ilario berujar sembari memakai jubah tidurnya. Emma mendengus kesal, enggan meladeni omongan Ilario yang hanya membuat dirinya bertambah marah.

Dari mata-mata, dia kini berubah jadi PSK untuk Ilario, ini sebuah penghinaan bagi Emma. Meski Ilario tak pernah main kasar jika sudah mencumbu dirinya. Ilario akan bertindak kasar jika Emma melawan.

“Baik-baiklah di sini. Aku ada urusan beberapa hari ini. Jadi aku tidak bisa bermain denganmu.” Ilario mencengkeram dagu Emma agar melihat ke arahnya. Saat Ilario ingin mencium bibir Emma, wanita itu memalingkan wajah, hingga Ilario hanya bisa menyentuh pipi Emma. Ilario hanya tersenyum tipis melihat tindakan Emma.

Begitu Ilario menghilang dari pandangan Emma, wanita itu melompat turun dari kasur besar yang baru saja menjadi saksi perbuatan Ilario pada Emma, menyambar pakaiannya. Emma berjalan cepat ke arah jendela, dari ketinggian dia bisa melihat dua mobil melaju meninggalkan tempat itu.

Waktunya beraksi, Emma melangkah ke arah pintu, dengan cekatan dia membuka pintu yang terkunci dari luar, berharap Emma bisa kabur dari sana. Namun percobaan pertamanya seketika menunjukkan hasil. Begitu pintu Emma buka, todongan pistol langsung menyambut dahi Emma. Wanita itu langsung bereaksi, tapi satu tembakan melesat cepat ke arahnya. Peluru bius menancap di sisi leher Emma. Seringai licik asisten Ilario menjadi pandangan terakhir Emma sebelum dia roboh ke lantai.

“Andai kau bukan mainan tuan Ilario, sudah dari kemarin aku membunuhmu!” Desis si asisten.

Emma hanya bisa mengumpat lirih, sesaat kemudian kegelapan mengambil alih dunia Emma. Dua kali Emma gagal kabur karena obat bius. Sepertinya Emma harus memikirkan cara yang lebih cerdas untuk melarikan diri lain waktu. Selain mengandalkan otot, Emma harus mulai menggunakan otak, seperti yang Vin ajarkan selama ini.

Maria membuka mata pelan, hal pertama yang dia ingat adalah Enzo, bocah kecil itu sepertinya kemarin sudah sekolah. Tanpa membangunkan Vin, Maria keluar kamar. Berjalan asal untuk mencari kamar Enzo. Wanita itu sama sekali tidak ingat semua hal mengenai rumah ini.

Naluri keibuan Maria bekerja, dia hanya mengikuti instingnya. Kaki Maria baru akan menuruni tangga ketika dia mendengar jeritan sang putra. Entah apa yang Maria rasa, tapi melihat Enzo rasa sayang itu muncul begitu saja.

Teriakan Enzo kian nyaring. Hal itu membuat Maria cemas dan panik. Satu pintu Maria buka dengan terburu-buru. “Apa yang yang kamu lakukan pada putraku?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status