Tanggal pernikahan Aluna dan Bram sudah ditetapkan. Saat acara lamaran resmi, kedua keluarga sepakat jika pernikahan akan dilaksanakan tiga bulan kemudian. Bram tetap dengan rencana awalnya walaupun Aluna sudah tegas menolak.Sementara Aluna dibuat tak berkutik oleh Abrisam saat putrinya itu terus menyuarakan ketidaksetujuannya atas lamaran Bram. Abrisam mengancam akan mencelakakan Alvandra jika ia masih bersikeras dengan pendiriannya. Walaupun sebenarnya Abrisam sendiri tak tahu di mana keberadaan Alvandra.Bagaikan mayat hidup, kini hidup Aluna seakan tak ada gairah. Bahkan dalam bekerja pun ia mulai malas-malasan. Setiap ada rapat yang mengharuskan dirinya hadir, Aluna selalu tak datang dengan berbagai alasan. Tentu hal itu membuat beberapa proyek yang seharusnya mereka dapatkan menjadi terlepas.Tentu saja hal itu membuat Abrisam kelabakan. Hingga akhirnya sekarang ia selalu turun tangan sendiri jika ada rapat yang mengharuskan Aluna hadir.Seperti hari ini. Abrisam sedang rapat b
Di benua yang berbeda.Alvandra masih berkutat dengan pekerjaan, padahal hari sudah beranjak petang. Ia sengaja menyibukkan diri agar pikirannya tak tertuju kepada Aluna saja. Selain itu, ia juga sedang mempelajari manajemen perusahaan yang sudah diwariskan padanya."Tuan Alvan, Anda belum pulang?" tanya seorang pria berwajah Arab. Ia hanya menyembulkan kepala ke dalam ruangan Alvandra.Alvandra mendongakkan wajah, setelah sebelumnya hanya memandangi layar laptop juga berkas di sebelahnya."Masih ada yang harus saya bereskan. Kamu kalau mau pulang duluan, silahkan saja, Gibran," jawab Alvandra pada asistennya.Gibran adalah satu dari beberapa orang kepercayaan Ghazi. Ia ditugaskan menjadi asisten Alvandra setelah sebelumnya menjadi asisten kakek Alvandra."Biarlah, Tuan, saya menunggu Anda saja. Kalau Anda butuh apa-apa, saya ada di ruangan sebelah," timpal Gibran menarik kembali kepalanya.Alvandra melanjutkan lagi pekerjaannya. Ia sedang membuat beberapa rancangan untuk melebarkan s
Alvandra menghirup udara yang sangat ia rindukan begitu keluar dari pintu pesawat. Senyuman tercetak jelas di wajah tampannya. Banyak rencana sudah ia susun sebelum pulang ke tanah kelahirannya.Ya, Alvandra baru saja menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta bersama Ghazi juga Gibran saat sore hari. Ia sengaja menyewa pesawat pribadi demi kenyamanan kakeknya yang sudah memasuki usia senja. Berhubung belum ada rumah yang akan ditempati, mereka bertiga terpaksa tinggal dulu di hotel.Saat menghubungi Henry minta dicarikan rumah, Alvandra belum memberitahukan di mana keberadaannya. Ia hanya berkata sedang mengurus bisnis di luar negeri. Henry sudah merekomendasikan beberapa rumah dan akan Alvandra lihat nanti setelah cukup beristirahat.Keesokan paginya setelah sarapan, Alvandra berencana akan menemui Henry sekaligus melihat rumah yang akan dibelinya nanti."Kek, Alvan mau ketemu pengacara Henry. Kakek mau ikut?" tanya Alvan memandang Ghazi juga Gibran bergantian."Ikut saja lah. Kake
"Mas Alvan!"Langkah Alvandra terhenti kala mendengar sebuah suara memanggilnya pelan. Ia menoleh ke sumber suara dan alisnya terangkat sebelah ketika melihat sosok yang sudah berdiri di sampingnya."Hanum?" tanya Alvandra merasa tak yakin sebab wanita di sampingnya itu memang mirip mantan istrinya hanya saja sekarang terlihat lebih tua.Entah apa yang terjadi dengan mantan istrinya itu tapi Alvandra tak perduli. Baginya, Hanum hanyalah masa lalu yang harus dilupakan. Terlalu banyak kenangan pahit yang sudah ditorehkan wanita tak tahu malu itu."Iya, Mas. Ini aku, Hanum," timpal Hanum dengan mata berbinar seakan menemukan berlian di antara tumpukan kerikil."Apa kabar, Mas?" lanjut Hanum dengan senyuman secerah mentari."Hah? Oh, aku baik. Kamu apa kabar?" Basa-basi Alvandra bertanya balik."Aku juga baik, Mas. Sekarang kamu kerja di mana, Mas?"Dengan rasa ingin tahu yang tinggi, Hanum mencoba mengorek lagi kehidupan pribadi Alvandra. Melihat penampilan Alvandra sekarang, yang terlih
Alvandra kini sudah menempati rumah barunya bersama Ghazi juga Gibran. Sang asisten awalnya mau sewa apartemen tapi dilarang Ghazi. Ia diajak tinggal bersama mereka dengan alasan buang-buang uang saja, lagipula rumah Alvandra masih sangat luas untuk mereka bertiga tempati.Alvandra pun membeli dua unit mobil untuk keperluan dirinya juga Ghazi atau yang lain. Dan ia mempekerjakan supir taksi yang dulu pernah menemaninya seharian kesana kemari.Untuk pelayan dan security, Alvandra sengaja mengambil dari yayasan dan harus bisa berbahasa Inggris sebab keberadaan kakeknya juga Gibran akan cukup menyulitkan jika mereka tak paham bahasa internasional tersebut."Kek, kalau Alvan sewa jasa detektif swasta untuk mencari Robby, bagaimana?" tanya Alvandra saat mereka sedang duduk santai di teras depan."Soalnya kalau menunggu info dari masyarakat, mungkin pelaku lama tertangkap. Bisa saja 'kan dia menyamar untuk mengelabui orang yang secara tak sengaja berpapasan dengannya," lanjut Alvandra membe
Seorang gadis menatap tak berkedip layar televisi di depannya. Seraut wajah yang selalu membayangi harinya kini terpampang nyata di layar kaca dengan membawa sebuah kabar yang cukup mencengangkan."Itu, beneran Mas Alvan?" gumamnya dengan tatapan tak percaya.Gadis itu adalah Aluna. Saat ini ia sedang berada di apotik sebuah rumah sakit guna menebus obat yang sudah diresepkan dokter. Cukup lama ia menunggu hingga akhirnya menonton TV yang sedang menyala demi membuang rasa jenuh.Sejenak pikirannya melayang ke kejadian beberapa hari lalu di pemakaman. Waktu itu ia baru saja tiba di sana bermaksud berziarah ke makam Almira. Namun pemandangan yang ia dapati cukup membuat dirinya terkejut.Dua orang pria baru saja selesai berziarah di makam ibunya Alvandra di mana salah satunya mirip dengan Alvandra. Yang membuat dirinya tak yakin saat itu adalah penampilannya yang sangat jauh berbeda dengan Alvandra yang ia kenal.Tapi setelah ia melihat konferensi pers yang baru saja digelar dan menarik
Alvandra memarkirkan mobilnya di sisi mobil Aluna. Setelah turun dari mobil ia menghubungi Ghazi memberi kabar akan keberadaannya saat ini. Sementara Aluna yang mendengar Alvandra berbicara dalam bahasa Inggris merasa kagum akan pria itu."Jadi sekarang kamu sehari-hari ngomong pake bahasa Inggris, Mas?" Tanya Aluna setelah Alvandra menutup panggilannya dan berjalan ke arahnya."Iya, tapi sesekali aku ajarin Kakek sama Gibran bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari. Biar gak bingung kalo ketemu sama orang yang gak bisa bahasa Inggris," jawab Alvandra.Keduanya mulai berjalan beriringan menuju ruangan Aluna. Karena masih jam kerja, maka suasana di lobby sedikit lengang. Alvandra juga Aluna hanya mengangguk dan tersenyum setiap berpapasan dengan yang lain."Gibran? Oh, yang pas konferensi pers tadi duduk di sebelah kiri kamu, ya, Mas," kata Aluna bertanya namun dijawab sendiri."Iya, dia asisten Kakek dan sekarang jadi asisten aku," jawab Alvandra memperjelas.Selama melangkah men
Alvandra tiba di rumah menjelang sore setelah mengawal Aluna hingga sampai ke rumahnya. Ia berjanji datang lagi ke kantor Aluna bersama Gibran untuk menyelesaikan masalah keuangan di perusahaan Abrisam esok hari.Dengan bersenandung lirih dan wajah penuh senyuman, pria tampan itu memasuki rumah dan mendapati sang kakek juga asistennya sedang duduk di ruang keluarga."Ada yang lagi bahagia rupanya," celetuk Ghazi."Iya, Tuan. Entah ketemu gadis atau baru dapat lotre," timpal Gibran santai.Alvandra terkekeh kemudian ikut duduk bersama dua orang pria berkebangsaan Arab itu."Siapa dia? Bawalah dia ke mari ketemu sama Kakek," ucap Ghazi seakan tahu apa yang baru saja terjadi dengan cucunya itu.Alvan dan Gibran saling lempar senyum mendengarnya."Nanti Alvan kenalin tapi sekarang ada masalah yang lebih penting lagi yang harus Alvan lakukan," sahut Alvandra.Kedua orang yang duduk di hadapan Alvandra itu memandang Alvandra dengan tatapan penuh tanya dan wajah serius."Jadi, perusahaan tem