Secarik kertas atas nama Hervina Mayasari dan tercetak jelas di bagian bawah sebagai owner dari restoran yang baru saja kudatangi. Kartu nama yang sepertinya sengaja dijatuhkan agar aku bisa menghubunginya lagi. Huft! Kubuang napas kasar. Ternyata benar-benar orang kaya, tapi apa alasannya meninggalkan Zainab sejak lahir? Aku masih berdiri di tempat sambil melihat Ayah dan anak itu keluar. Kalau dilihat lebih seksama, memang wajah Bu Hervina dan Zainab ada kemiripan. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan aku harus segera pulang. Perjalanan sampai ke rumah memakan waktu hampir satu jam. Semoga Zahira tidak rewel dan tidak mengganggu istirahat Zainab. Aku sangat khawatir meninggalkan mereka berdua. Meskipun ada Ibu, Bu Padma, dan Pak Rudi, tetap saja aku cemas. Hanya pelukan dariku yang bisa menenangkan Zainab jika emosinya kembali tidak terkontrol. Pucuk dicinta, ulama pun tiba. Ponselku berdering saat masih dalam perjalanan. Kujawab panggilan telepon setelah melihat sek
"Mas berangkat dulu, ya. Jangan berpikir macam-macam. Nanti pulang mengajar, mas akan melanjutkan mencari informasi tentang Bu Hervina. Kamu fokus saja sama Zahira."Nasihat beruntun kuucapkan untuk Zainab sebelum berangkat ke kampus. Entah kenapa, aku merasa jika Zainab merencanakan sesuatu. Dia bukan orang yang gampang dinasihati jika keinginannya kuat. "Udah, berangkat sana! Nanti Mas kesiangan," jawabnya sambil mendorong lenganku. Ini benar ada yang aneh dengan Zainab. Semoga dia tidak bertindak gegabah. Aku khawatir dengan kondisinya. Baru beberapa ratus meter aku membawa mobil menjauh dari rumah dan perasaanku langsung tidak enak. Rasanya tidak ingin ke mana-mana sekarang. Hanya ingin selalu berada di samping Zainab, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan tanggung jawab sebagai dosen. Tiba di kampus, Bagas menghampiriku yang masih di tempat parkir. Napasnya sedikit terengah karena berlari. "Kamu kenapa, Gas? Kayak ABG saja lari-larian," kataku sambil menaikkan kedua alis. "
Sudah dua hari, Zainab menghilang tanpa jejak. Aku terus mencarinya, tapi tak kunjung ada titik terang. Rumah megah milik keluarga besar Herman Aditama pun hening. Kata mereka, Bu Hervina juga menghilang tanpa kabar. Bahkan, hilangnya Zainab sudah kulaporkan pada pihak berwajib. Entah apa yang terjadi pada istriku itu. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya. Ke mana kamu, Za? Kenapa setega itu meninggalkan aku dan Zahira? Aku berjalan menyusuri trotoar di tengah Kota Jakarta. Satu tumpuk lembaran kertas dengan foto Zainab masih cukup banyak di tanganku. Tak peduli lagi pada panas cuaca saat ini, aku tetap berjalan sembari menyebarkan poster pencarian Zainab. Hingga alunan azan Zuhur menyadarkanku dari ratapan kosong sepanjang perjalanan. Ya, aku kurang mendekatkan diri pada Allah. Aku terlalu sibuk dengan dunia hingga lupa dengan kewajiban utama sebagai manusia. Meskipun salat lima waktu tidak pernah terlewat, tapi aku menyadari jika hati ini terlalu jauh dengan Sang Pencip
"Saya mencari pasien bernama Zainab yang masuk ke rumah sakit ini bersamaan dengan Bu Hervina."Entah benar atau salah rangkaian pertanyaanku. Yang kulihat, perawat di hadapan itu mengernyitkan alis. Mungkin bingung. "Bu Hervina yang meninggal dan baru saja dibawa pulang keluarganya," lanjutku. Perawat itu langsung mengangguk paham dan mulai mencari data di komputer. "Ada satu pasien perempuan yang memang datang bersamaan dengan Bu Hervina dan keadaannya kritis. Untuk saat ini, pasien masih dirawat di ruang ICU, tapi kami dari pihak rumah sakit belum mengetahui identitasnya."Seketika pandanganku memburamkan, tapi sekuat tenaga untuk. mempertahankan kesadaran. Aku tidak boleh lemah. Jika itu benar Zainab, aku harus menguatkannya untuk bertahan. "Kalau boleh saya tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Kenapa bisa sefatal itu akibatnya?" Aku berpegangan pada pembatas kayu yang setinggi dada. Kepala ini rasanya ikut berputar. "Mereka menjadi korban kecelakaan beruntun di ja
Satu bulan terlewat tanpa kabar tentang Zainab. Ada bahagia yang bersamaan dengan duka. Di satu sisi, aku bahagia karena korban meninggal di hadapanku saat itu bukan Zainab. Namun, dukanya adalah di saat keberadaannya justru belum diketahui hingga saat ini. Hanya harapan jika dia selamat dan akan segera pulang. Berkumpul lagi denganku dan Zahira. "Ada Maira di depan, Dan." Ah, Maira! Dia selalu saja datang setiap Ahad sejak menghilangnya Zainab. Bahkan, sempat kudengar jika pernikahannya batal karena Maira memilih pergi dari rumah dan menemuiku saat berita hilangnya Zainab sudah tersebar.Aku sebenarnya enggan menanggapinya, tapi entah kenapa Zahira merasa nyaman saat bersamanya saat aku dan Ibu kebingungan untuk menenangkan putri kecilku, Maira datang. Dan dalam sekejap, Zahira diam dalam gendongan Maira. Aku tidak menginginkan kehadiran Maira, tapi dia sendiri yang datang. Dan demi Zahira, aku terpaksa diam saat gadis itu menggendongnya. "Jangan terlalu sering kemari! Aku tidak
Aku masih terus memandangi perempuan yang satu bulan lebih membuat hati ini hampir mati. Dia meletakkan nampan berisi dua gelas teh dan satu piring kacang rebus di meja ruang tamu. Mata indah itu mengerjap berkali-kali saat melihatku. Ah, Za. Ada yang berdesir di hati ini. Aku merasa seperti jatuh cinta lagi. Ingin sekali langsung memeluk tubuh mungil itu. Mas kangen, Sayang. "Om kenapa lihatin Nisa kayak gitu? Om, naksir Nisa, ya?" Perempuan berlesung pipi itu menyebut dirinya Nisa dan memanggilku dengan sebutan Om. Apa yang sebenarnya terjadi satu bulan terakhir ini? Kenapa Zainab bisa melupakanku? "Kamu gak ingat siapa aku?" Zainab menggeleng, lalu beralih menatap Pak Hasyim. Dia diam. Sepertinya bingung akan menjawab pertanyaanku. "Sini, duduk!" Pak Hasyim menepuk bangku di sebelah kirinya. Zainab pun menurut. "Apa yang sebenar terjadi dengan Zainab, Pak? Kenapa dia menyebut dirinya dengan nama Nisa?" "Nisa, kalau Ayah bilang dia ini suamimu, bagaimana?" Pak Hasyim tida
Setelah tertidur beberapa jam, tubuhku sudah kembali fit. Sekitar pukul tiga pagi, aku terbangun dan bergegas mandi untuk melaksanakan salat malam. Sementara kubiarkan Zainab tetap tertidur. Wajah polosnya masih sama. Hanya saja ada satu bekas luka di pelipis kanannya yang terlihat jika sedang tidak mengenakan jilbab. Mungkin itu luka bekas kecelakaan tempo hari. Ungkapan syukur terus kuserukan karena Zainab sudah kembali dalam keadaan baik-baik saja. Namun, belum lama selesai salat, terdengar isakan dari perempuan di atas tempat tidur. Seketika, aku menoleh. Ternyata, Zainab sudah bangun dan dia menangis. Aku bangkit dari duduk dan menghampirinya. "Kenapa nangis? Maaf untuk tadi malam! Aku khilaf," ucapku sambil membelai rambutnya. "Om jahat sama Nisa. Om udah punya istri dan anak, kenapa harus menikahi Nisa lagi? Om kasih uang berapa buat Ayah? Kenapa Ayah langsung setuju Om nikahin Nisa?" Zainab duduk sambil memeluk lututnya. Mulutnya mengerucut disertai suara merajuk yang mala
"Za mau makan apa?" tanyaku pelan. Sedikit melunakkan suara supaya Zainab tidak ngegas di tempat umum. Kami sudah berada di salah satu meja kosong restoran mal. Zainab duduk dengan kedua tangan menyangga dagu. Matanya mengerjap lucu. "Za mau makan apa?" tanyaku lagi karena dia tidak merespon. "Terserah Om aja. Aku apa aja doyan," jawabnya pelan tanpa mau melihatku. Aku hanya bisa mengelus dada dengan sikap baru Zainab yang sangat cuek. Seperti bukan Zainabku yang dulu. Namun, aku tetap bisa merasakan getaran cinta yang sama. Mungkin karena semua ingatan masa lalunya benar-benar hilang hingga tidak ada kenangan sedih yang melintas di pikirannya. Aku memesan dua porsi nasi kebuli, salad buah, jus, dan juga air mineral. Sementara Zainab kembali diam seribu bahasa. "Za punya handphone, gak?" tanyaku memecah keheningan. Zainab hanya menggeleng tanpa menjawab. "Kita beli sekalian, ya. Za butuh apa lagi?" "Om gak usah banyak tanya, deh! Nanti, Om malu kalau aku banyak bicara.""Aku