Setelah pulang bekerja, aku mampir terlebih dahulu di warung makan. Setelahnya pergi ke tempat orang yang menjual martabak manis.Malam ini aku ingin meminta maaf pada Mbak Sarah dan juga Ibu atas perlakuanku yang tidak menyenangkan tadi.Aku sadar, caraku tadi membuat mereka sakit hati. Jujur, pagi tadi aku merasa sangat lelah. Bukan hanya badan tapi juga jiwa raga.Tok! Tok! Tok!Tak lama setelahnya pintu terbuka menampilkan raut wajah Mbak Sarah yang tak menyenangkan."Ini ada martabak kesukaan kalian, aku bawakan," ucapku pada mereka."Halah, nyogok kamu! Aku masih marah denganmu, Ndi. Sikapku menyakiti perasaan Mbak dan Ibu," ujar Mbak Sarah sendu.Aku semakin merasa bersalah pada mereka."Maafin Andi, Mbak. Andi tadi terlanjur emosi, ini sebagai permintaan maaf. Andi kasih dua ratus deh, ya. Soalnya Andi belum gajian," ucapku membujuknya"Kamu seriusan kasih Mbak yang?" tanyanya dengan mata berbinar."Andi serius lah, Mbak. Andi kan adikmu, dan kamu kakakku. Ambilah, buat jajan
"Andi nggak percaya, Mbak! Nggak mungkin Alya mengirimkan pesan kayak gini," sanggahku."Kamu nggak percaya sama, Mbak, Ndi. Kamu benar-benar berubah." Mbak Sarah langsung terisak, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan."Kalo tau kayak gini, mending Mbak simpan luka hati ini sendirian. Dari awal Mbak memang sudah merasa bahwa kamu dibutakan oleh cinta. Kamu mencintai Alya terlalu besar, sampai saat keluargamu disakiti. Kamu hanya diam tak percaya," cerca Mbak Sarah."Bukan begitu maksud Andi, Mbak. Rasanya nggak mungkin kalo yang mengirimkan pesan adalah Alya. Coba Andi lihat dulu, jangan-jangan orang yang mengirimkan pesan itu adalah orang yang ingin menghancurkan nama baik Alya, Mbak," ucapku masih tak percaya.Mbak Sarah langsung menyambar ponselnya dari tanganku, Ia menatap dengan tatapan nyalang."Percuma berdebat denganmu, Ndi. Tetap saja kamu akan menyalahkanku, kupikir kejadian kemarin bisa membukakan mata hatimu, bahwa Alya bukan wanita baik-baik," ujar Mbak Sarah s
"Kukira polos, ternyata dia adalah pemain!" geramku.[Bangga kamu buka aib rumah tangga sendiri, Al?][Astaga, aku benar-benar nggak nyangka. Alya yang dulu kukenal sebagai sosok perempuan yang lemah lembut, tapi nyatanya dia malah seperti wanita liar di luaran sana.][Sudah bosan kah kamu menjadi perempuan baik-baik, hah?] tanyaku.Jujur saja, aku benar-benar kecewa dengan perilaku Alya. Tak bisa kujelaskan, karena ini benar-benar menyakitkan."Jangan main handphone terus lu, nggak liat tu di depan kerjaan numpuk," sindir Arya di sebelahku."Tau gue, nggak usah cari masalah deh, Ar. Kondisi hati gue lagi nggak baik-baik aja," ucapku."Oh," jawab Arya singkat, padat dan jelas.Argh, mereka memang tak pernah bisa memahamiku.*"Andi! Akhirnya kamu pulang juga," ujar Mbak Sarah."Kamu tau nggak, tadi waktu Mbak sama Ibu ke pasar. Mbak nggak sengaja ketemu sama Alya, dia sombong banget. Saat Mbak negur supaya kita jadi baik-baik aja, dia malah mempermalukan Mbak sama Ibu," adu Mbak Sarah
POV Author"Ayah stop!!" teriak Alya berusaha memeluk Pak Rahul, ayahnya."Ayah udah!" Aini pun ikut serta melerai mereka berdua.Sedangkan Andi dia tersungkur dengan darah di bibirnya."Andii!""Ya ampun! Anakku?" teriak Bu Sonia."Saya kecewa sama kamu Andi! Selama ini saya pikir kamu adalah laki-laki baik yang bisa menjaga anak saya, tapi ternyata saya salah. Kamu tidak lebih dari seorang pecundang yang selalu bersembunyi di bawah ketiak ibumu!" murka Pak Rahul pada Andi."Heh! Tua bangka! Berani banget kamu ya mukulin anak saya! Asal kamu tau, anakmu yang tidak bisa dididik. Anakmu yang tidak tau diri, sudah diterima di keluargaku tapi malah tak bisa menghargai kami sebagai keluarga dari suaminya!" ucap Bu Sonia tak mau kalah."Ayah, udah, ingat kesehatan Ayah," bisik Alya sambil memeluk erat Pak Rahul."Saya besarkan anak saya penuh kasih sayang, penuh perhatian. Saya beri dia semangat saat terjatuh, saya beri dia segalanya agar tak kehilangan kebahagiaan. Tapi di saat bersamamu,
"Andi apa-apaan kamu! Di mana harga dirimu sebagai lelaki?" ujar Bu Sonia kesal.Sedangkan Sarah dia hanya diam dengan wajah yang pucat dan telapak tangan dingin."Hmmm, kau salah Sarah! Ternyata adikmu yang rapuh, bahkan sekarang dia yang berlutut di hadapan kakakku!" ucap Aini yang membuat Sarah semakin kalah telak.."Ngapain kamu kayak tadi, hah! Kayak nggak ada harga dirinya sama sekali!" bentak Bu Sonia."Sudahlah, Bu, jangan marah-marah, Sarah juga mau istirahat. Intinya sekarang kita harus bahagia, karena Andi bisa terbebas dari wanita laknat itu," ujar Sarah pelan."Sarah! Apa yang dikatakan Aini tentangmu tadi. Hal apa yang kamu sembunyikan dari Ibu?" tanya Bu Sonia."Apa sih, Bu. Anak kecil kok dipercaya, udahlah Sarah mau tidur. Capek!" elak Sarah lalu meninggalkan Bu Sonia, sebelum ia kembali bertanya yang macam-macam."Andi," lirih Bu Sonia mendekati sang putra."Tidak masalah, Bu. Andi rasa ini adalah keputusan yang benar, Andi akan secepatnya mengurus perceraian dengan
POV AlyaTepat dua bulan sudah, akhirnya aku dan Mas Andi resmi bercerai. Tak ada lagi tali yang mengikat antara kami berdua. "Alhamdulillah, ya, Kak. Akhirnya bisa lepas dari mereka," ucap Aini kala itu."Iya, Dek, Mbak sekarang udah menyandang status baru," jawabku."Nggak papa, Mbak, selagi masih di jalan kebaikan. In Syaa Allah, Allah selalu bersama dirimu, Mbak," ujar Aini bijak.Setelah itu, kami berdua lalu melanjutkan pembuatan kue.Ya, aku baru saja mencoba menjual kue secara online. Setidaknya ini membantu perekonomian keluargaku, apalagi dulu aku memang kursus belajar memasak. Baik dari pembuatan makanan sehari-hari maupun makanan ringan."Mbak ada lagi nih pesanan dari kampus Aini, kue lumpia 100 sama bingkanya 50, Mbak," ucap Aini.Aku tersenyum senang. Lagi-lagi aku mendapatkan pesanan.Saat itu kutanyakan pada Aini, apakah dia malu jika harus berdagang di kampusnya.Jawabannya membuatku terharu, dia bilang untuk apa malu. Selagi tidak dicari dengan cara yang salah da
"Assalamualaikum, Ayah!" ucapku dan Aini secara bersamaan.Tak berselang lama, pintu terbuka."Wa'alaikumsalam, sudah pulang ternyata. Ayo masuk," ucap Ayah."Ayah sudah makan?" tanyaku sambil berjalan masuk ke dalam rumah."Tadi Alya sudah masakin telur balado kesukaan Ayah," ujarku lagi."Belum, Nak. Ayah baru selesai benarin kran air di dapur," jawab Ayah."Kenapa kran airnya, Yah? Bocor kah?" tanya Aini."Bukan, itu lho nggak mau jalan airnya. Ternyata ada sampah yang nyumbat," ucap Ayah lagi."Owalah. Oh, ya, Aini ada zoom nih, Mbak. Aini tinggal dulu ya," ucap Aini berpamitan lalu masuk ke kamarnya."Ayah kadang sunyi di rumah ini, adikmu kuliah jarang ada waktu kumpul bersama. Ya, Ayah paham dia sibuk juga untuk mencapai cita-citanya. Lalu, kamu ....""Sssst! Intinya yang terpenting sekarang Alya udah nggak kemana-mana, Alya di sini sama Ayah. Kita bisa sama-sama lagi," ucapku memotong ucapan Ayah. Aku sudah tak ingin mengingat masa-masa kelam yang pernah kulewati. Cukup semua
POV Andi!Semenjak palu diketuk, aku sudah tak lagi pernah menemui Alya. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh.Namun, beberapa Minggu Alya jarang kelihatan ke luar rumah, entah kenapa? Apa mungkin dia tahu bahwa selama ini aku mengawasinya.Entahlah, tapi kuharap masih ada kesempatan untuk aku kembali lagi bersamanya.Walaupun harapan itu hanya terlihat samar, karena pertentangan Ibu dan Mbak Sarah yang terlalu jauh. Mereka terlihat sangat-sangat tidak menyukai Alya.Lalu, bagaimana kami bisa hidup bahagia berdua. Jika kami saja tak ada restu yang diberikan oleh Ibu dan juga Mbak Sarah."Andi minta uang dong," ucap Mbak Sarah mengagetkanku."Uang lagi! Uang lagi! Uang lagi! Nggak ada apa, Mbak, sehari aja jangan ungkit pasal uang! Kamu kira kerja itu enak, di sini kamu kerjaannya belanja, belanja terus! Anakmu di rumah nggak dipikirin!" bentakku pada Mbak Sarah.Melihat gayanya yang suka menghambur-hamburkan uang, membuat darahku naik.Bisa-bisanya di saat keadaan genting begini, pikir