Share

INTROSPEKSI DIRI SENDIRI!

"Argh, sakit banget," ucap Mbak Sarah dari tadi tak henti-henti.

Saat kutanya di mana letak sakitnya, dia malah semakin marah padaku. Jadi aku lebih memilih diam, daripada harus menambah masalah.

"Kurang ajar banget itu Alya, awas aja ya dia. Memperlakukan aku kok, kayak aku nggak tua aja. Apalagi sama Ibu, benar-benar nggak ada sopan santunnya sama sekali," omel Mbak Sarah.

"Alya tadi hanya emosi sebentar, Mbak. Lagian Mbak Sarah ngapain ngejar Alya segala, dia aku suruh buat nenangin diri," kilahku padanya.

"Nah, nah, mulai lagi kan kamu belain Alya! Kamu itu seorang suami, suami itu panutan istri. Kalo kamu kayak gini terus, lama-lama kamu bakalan jadi suami takut istri, Andi! Sadar nggak sih?!" bentak Mbak Sarah padaku.

"Tapi setidaknya Andi nggak seperti Mas Rio yang tidak menghargai keberadaan seorang istri!" gumamku.

"Apa kamu bilang, Ndi! Di sini kita lagi bahas Alya, ya. Ngapain bawa-bawa Mas Roni, kalo dibandingkan mereka berdua! Perbandingannya sangat jauh, sangat-sangat jauh, paham kamu, Ndi!" ucapnya penuh penekanan.

"Hmm ...," jawabku sambil memutarkan bola mata malas.

"Andi, benar apa kata mbakmu itu. Ibu lihat istrimu itu semakin hari semakin kurang ajar. Lihatlah tadi, seandainya dia punya sopan santun. Saat ke luar rumah, harusnya berpamitan pada Ibu. Bagaimana pun juga, Ibu adalah mertua yang harus dia hormati," ucap Ibu, setelah sekian lama tak buka suara.

Aku terdiam sebentar, benar kata Ibu. Alya semakin tak terkendali saat emosi, buktinya dia pergi begitu saja tanpa berpamitan. Tak menghargai orang tua yang berada di sekitarnya.

"Halah, Andi mah bisa apa, Bu! Orang dia aja nggak bisa berkutik, waktu saudara kandungnya disakiti orang lain."

"Andi lain kali, kalo istrimu begitu sikapnya. Pukul saja! Biar diberi pelajaran sesekali," ucap Ibu yang membuatku membulatkan mata.

"Ibu, mana boleh begitu. Itu sudah termasuk KDRT, kenapa memberi pelajaran yang nggak baik sama Andi," ucapku pelan, tetapi memperlihatkan kekecewaan.

"Ibu bilang kan sesekali, bukannya harus tiap hari. Emang kamu mau berada di bawah ketiak bini terus! Bapakmu saja nggak berani, nggak ada namanya surga suami terletak pada istri, yang ada surga istri terletak pada suami. Mikir pake akal Andi! Terserah kamu deh, Ibu lihat kamu sekarang berubah semenjak nikah sama perempuan itu. Makanan apa sih yang dikasih dia buat kamu, sampai nggak nurut gini," ujar Ibu lalu berdiri dan pergi meninggalkanku yang belum menjawab ucapannya.

"Dosa kamu, Ndi. Bikin Ibu marah begitu, bener kata Ibu nggak ada istilahnya surga suami pada istri. Surgamu itu ya pada Ibu, jadi pikir dua kali kalo mau mengecewakan kami," ucap Mbak Sarah sinis.

"Oh ya, Andi," panggil Mbak Sarah.

"Iya, Mbak kenapa?" jawabku.

Mbak Sarah terdiam beberapa saat, lalu tersenyum dan berkata, "Kamu kemaren habis gajian, 'kan?" tanyanya.

"Iya."

"Nggak kamu kasihkan sama Alya, 'kan?" Tatapannya berubah menjadi serius.

Aku diam.

"Andi! Andi! Sebenarnya kepala keluarga itu siapa sih, kamu atau Alya. Kok mau-maunya gitu lho, di bawah kendali istrimu! Kamu yang kerja, kok malah dia yang menikmati hasilnya. Ibu sudah kamu kasih uang belum?!" bentak Mbak Sarah padaku.

"Kan setiap bulan Andi selalu kirim 3 juta buat Ibu, malah kadang Ibu minta uang lewat jalan lain sama Andi. Andi kasih kok, Alya ini istriku loh, Mbak. Wajar kalo dia pegang uang," ucapku membela Alya.

Tuk!

Keningku dijitak Mbak Sarah.

"Kamu jangan mau dibodohi Alya, Alya itu boros, mending kamu yang pegang uang. Jadi kamu juga tau berapa biaya pengeluaran di dalam rumah, barang-barang dapur kalo habis. Ya kamu yang beliin," ujar Mbak Sarah padaku.

"Ya ya ya nanti akan aku lakukan," ucapku padanya.

"Oh ya, sekarang kamu lagi pegang uang nggak, Ndi?"

"Ada."

"Berapa kalo boleh tau?"

"Berapapun itu nggak penting, Mbak. Intinya gaji Andi nggak semuanya Andi kasihkan pada Alya. Memang kenapa dari tadi kok nanya gaji Andi terus?" tanyaku mulai penasaran dengan tingkah Mbak Alya.

"E-em, jadi gini, Ndi. Kamu kan tau, Mas Roni itu belum dapet pekerjaan ...."

Belum selesai Mbak Sarah berbicara aku langsung memotongnya.

"Gimana mau dapet kerjaan, Mbak. Orang Mas Roni aja nggak berusaha buat cari kerjaan!"

"Jangan jelek-jelekin suami aku ya, Ndi. Dia Abang iparmu!"

"Ya ya ya," jawabku malas.

"Mbak nggak suka ya kalo kamu jelek-jelekin Mas Roni!"

"Langsung intinya aja, jadi mau Mbak Sarah apa?!" ucapku mulai lelah berdebat.

"Mbak mau minta uang sama kamu, 1 juta aja," ujarnya mulai manis.

"Buat apa?"

"Ya ampun, Andi! Sama saudara sendiri kamu perhitungan, ingat ya, Ndi. Kita ini dua bersaudara, jadi jangan sampai gara-gara uang persaudaraan kita hancur. Apalagi karena orang asing."

"Siapa yang Mbak maksud orang asing?" tanyaku menatapnya.

"Jangan mengalihkan topik Andi, intinya saja mau tidak?" tanya Mbak Sarah emosi.

Aku diam.

"Buat bayar arisan," jawabnya sambil memalingkan wajah.

"Mbak! Udah Andi bilang berapa kali, berhenti ikut-ikutan arisan yang nggak jelas itu. Tukang pegang uangnya aja, kalo ada yang dapat uangnya dipake sama dia! Andi udah berkali-kali peringatin, Mbak!"

"Udahlah, kamu memang bukan Andi yang dulu lagi. Benar kata Ibu kamu berubah semenjak menikah dengan wanita itu? Dosamu bertambah Andi, kamu menyakiti perasaan mbakmu sendiri!" ujarnya panjang lebar, lalu meninggalkanku yang terpaku dengan ucapannya.

Jadi aku berdosa?

*

Pagi hari, aku bangun lebih terdahulu. Karena sudah dapat kupastikan pagi ini tidak akan ada yang menyiapkan sarapan untukku.

Ya, walaupun hanya dengan telur ceplok. Aku tetap mempersiapkan diri, bahkan rumah ini pun tidak disapu oleh Mbak Sarah.

Awalnya aku merasa hampa tidak ada Alya, tapi setelah kupikir, ada baiknya dia pulang terlebih dahulu ke rumah mertuaku.

Setidaknya aku di sini juga bisa nenangin pikiran. Agar saat kami berjumpa kembali, kami masih dalam keadaan saling mencintai.

Kalo dipikir-pikir semua permasalahan yang terjadi, memang dimulai dari Alya.

Argh! Sudahlah.

Selesai membuat sarapan, aku memutuskan untuk mandi. Saat selesai, aku terkejut mendapati Mbak Sarah yang sedang membongkar lemari pakaianku.

"Mbak Sarah," panggilku padanya.

Mbak Sarah langsung menatapku, matanya menampakkan keterkejutan.

"Apa yang disembunyikan di belakang badan?" tanyaku padanya.

Aku mendekati Mbak Sarah, lalu mengambil surat di tangannya.

"Andi kamu jangan salah paham, Mbak cuma mau ngecek, takutnya sertifikat rumah ini dibawa sama istri kurang ajarmu itu," ucap Mbak Sarah.

Aku meremas sertifikat di tangan.

"Apapun alasannya, Mbak nggak ada hak masuk ke kamar pribadi milik orang lain. Sekalipun aku adalah adikmu!" ucapku penuh penekanan.

"Andi ...," ucap Mbak Sarah.

Matanya berkaca-kaca, tapi kali ini aku tidak luluh. Entahlah sejak kejadian tadi malam, aku kurang sreg terhadap Mbak Sarah.

Namun jika dipikir-pikir, benar juga kata Mbak Sarah. Bagaimana jika sertifikat rumah di bawa oleh Alya, bisa-bisa rumah ini diambil oleh orang lain.

Bukannya aku berpikiran buruk pada Alya, hanya saja berjaga-jaga itu harus.

"Ke luar dari kamarku, Mbak. Aku sedang tak ingin berdebat di pagi hari, aku harus bekerja," ucapku membelakanginya.

Untung saja Mbak Sarah mengingatkanku pada sertifikat rumah ini.

-

-

-

Next?

Terima kasih sudah berkenan mampir. Jangan lupa subscribe, like, dan komen ya🥰🥰🥰

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar kakaknya mau jadi benalu dirumah tangga adiknya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status