POV Alya
*Aku menyeret langkah dengan yakin, ucapan Mas Andi benar-benar membuat darahku mendidih.Bukan sekali dua kali dia begitu, setiap ada masalah yang menyangkut dengan keluarganya, entah mengapa selalu aku yang terkena imbasnya."Alya!!"Mbak Sarah menarik tanganku dengan kasar hingga terdengar bunyi seperti jari yang patah."Mana aku periksa tas kamu! Kamu pasti bawa barang-barang berharga kan dari rumah ini," ucapnya dengan lancang."Jangan pegang-pegang barang milikku!" gertakku."Bawa sini nggak atau kamu mau aku berbuat kasar!" bentak Mbak Sarah padaku.Ia langsung mengambil tas, sebelum membukanya aku lebih dahulu menarik rambutnya.Habis sudah kesabaranku selama ini. Mungkin dia pikir, selama ini aku diam karena takut. Padahal kenyataannya, aku hanya menghargainya sebagai Kakak dari Mas Andi."Lepas, C*k!" umpatnya padaku. Aku semakin menarik rambutnya dengan kasar."Sudah kubilang jangan menyentuh barang-barang milikku! Cukup Mas Andi yang kalian ambil, barangku adalah hak milikku!" ucapku penuh penekanan."J*lang! Lepas ba**sat!" umpatnya lagi tak henti-henti.Saking kesalnya aku dengan umpatan-umpatan yang dia berikan. Aku langsung memukul mulutnya dengan kasar.Entah mengapa tidak ada kata-kata bagus yang ke luar dari mulutnya ini!"Aw! Sakit!" teriaknya nyaring."Alya! Kamu apakan Mbak Sarah!" Teriakan dari depan pintu rumah terdengar, aku melepas cengkraman eratku pada rambut Mbak Sarah."Menantu kurang ajar kamu ya!" bentak mertuaku.Tangannya melayang hendak menampar, tapi langsung kutangkap!Enak sekali mereka, main pukul sembarangan dengan notabennya adalah orang lain."Sudah kubilang cukup suamiku yang menampar dan menyakitiku! Kalian tidak pantas menyentuhku, bahkan sampai membuat badan ini berbekas akibat luka!" ucapku penuh emosi.Ingin pulang saja, harus ada lagi hal-hal yang membuat darah ini berdesir hebat.Masih terdengar amarah Mas Andi, aku langsung mengatakan padanya agar menunggu surat pengadilan yang akan diberikan padanya.Tanpa memedulikan ucapan Mas Andi lagi, aku langsung naik ojek yang sudah dipesan.Menangis?Ah, tidak! Kalian mungkin pernah dengar kalimat "Mati Rasa" ya itulah yang kurasakan sekarang. Entah mengapa rasanya lebih lega saat melawan mereka semua.Setidaknya untuk sementara waktu aku tidak akan bertemu dengan keluarga toxic itu lagi.*Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum," salamku dari luar pintu."Wa'alaikumsalam," sahut dari dalam rumah.Klek!Pinta terbuka, aku tersenyum menatap Aini yang tergugu melihat kedatanganku."Mbak Alya," ucap Aini terlihat girang. Ia langsung memelukku, aku membalas dengan erat meluapkan rasa rindu.Tatapan Aini beralih pada tas besar yang berada di tanganku."Ayo masuk, Mbak! Di luar dingin," ujar Aini."Sini tasnya, Aini bawakan. Hampiri Ayah di kamar ya, Mbak. Ayah lagi ngaji, Aini mau bikinkan teh buat Mbak," ujarnya semangat."Nggak usah repot-repot, Dek," ucapku sambil mengusap rambutnya.Sini hanya tersenyum lalu mempercepat langkahnya menuju dapur.Entah kenapa saat sampai di rumah, dadaku terasa sesak.Air mata daritadi seperti tak dapat diajak bekerjasama."Haduh, jangan nangis, jangan nangis," ucapku sambil mengipas mata menggunakan telapak tangan"Ayah," ucapku lembut. Lalu membuka pintu kamar Ayah perlahan.Ayah menoleh dan langsung tertawa."Alya, kapan pulang, Nak?" tanya Ayah padaku."Baru sampai Ayah," ucapku pada Ayah."Dianter sama Nak Andi?" tanyanya lagi membuatku terdiam.Ayah seperti paham, ia lalu mengalihkan pembicaraan."Pasti kangen sama Ayah, ya. Sudah besar ternyata putri ayah sekarang," ujar Ayah yang membuatku terharu.Aku langsung memeluk Ayah dan ya, air mataku meluncur dengan sendirinya."Ayah, Alya kangen Ibu," ucapku sambil sesegukkan."Ada apa, Nak?" tanya Ayah lembut, berbeda dengan cara bicara Mas Andi tadi.Aku hanya diam, menangis di dalam pelukannya."Sudah-sudah jangan menangis, ceritalah jika kamu sudah siap. Ayah tidak akan memaksa," ucap Ayah sambil mengusap pucuk kepalaku.Aku semakin menangis kencang, Ayah adalah lelaki terbaik yang aku temui.Aini datang sambil sesegukkan juga, ia langsung meletakkan teh di meja dan ikut berpelukan bersama kami.*[Heh, benalu! Sok-sokan mau cerai, kayak udah jadi orang kaya aja!]Banyak pesan masuk dari Mbak Sarah yang isinya meremehkanku.[Hidup miskin aja sok-sokan!][Kau pikir setelah cerai denganmu, Andi bakalan lama jadi duda. Heh, adikku itu pintar, cerdas, sekolahnya tinggi! Sadar diri, Sayyyy!"][Pengangguran aja bangga! Modal tampang doang! Sok cantik, cantikkan juga mantan pacar Andi dulu!][Coba aja dulu kamu nggak hadir! Pasti sekarang kami semakin jadi orang kaya! Dasar benalu!]Pesan terakhirnya membuatku memutar bola mata malas.[Kenapa nggak dibalas, takut kamu, hah!]Lagi, Mbak Sarah mengirimkan pesan.[Yang terpenting aku nggak mengedepankan gaya, padahal keuangan menipis. Aku nggak ngutang sana sini buat ngecukupin biaya hidup sosialita. Satu lagi yang penting aku nggak open B*!]Setelah membalas pesan Mbak Sarah, aku langsung memblokir kontaknya. Kalo terus menyimpan yang ada aku juga ikut-ikutan tak waras seperti dia.--Next?Terima kasih sudah berkenan mampir🥰🥰Andi datang ke rumahnya dengan wajah yang kusut."Andi ada apa?" tanya Sarah yang melihat wajah tak mengenakan yang ditampilkan Andi."Aku baru saja datang dari toko kue Alya. Mbak, kenapa kamu tak kapok-kapoknya datang untuk mengacaukan Alya. Kamu tau bukan, Alya sekarang sudah lebih bahagia. Andi bukannya apa-apa. Andi sekarang sudah sadar, seharusnya memang dari dulu mengikhlaskan Alya, mengapa begitu? Karena Andi baru mengetahui bahwa keluarga Andi adalah keluarga yang toxic. Harusnya Mbak Sarah sadar akan itu semua!" ucap Andi dengan tegas, dia memijit kepalanya yang terasa pusing."Mbak hanya tak senang melihat dia lebih bahagia dari kamu Andi, Mbak juga sudah terlanjur malu padanya. Apalagi sekarang Alya memiliki suami yang tampan bak seorang pangeran.""Jadi sebenarnya Mbak selama ini hanya iri kan pada Alya. Iri pada kehidupan Alya, sudahlah, Mbak. Meminta maaflah pada Alya, aku sudah mengajukan surat pengunduran diri dan rencananya besok rumah ini akan kujual pada orang yang
"Mbak, lihatlah, videomu yang sedang bertengkar tersebar di media sosial." Andi datang dengan wajah yang kusut. Rupanya kabar sang Kakak bertengkar dengan Alya sudah sampai ke telinganya.Bahkan dia melihat video itu sendiri. Matanya membulat sempurna kala Alya yang mempermalukan Kakak dan juga ibunya.Sarah yang melihat Andi datang dengan wajah kusut, mengubah ekspresinya menjadi terlihat menyedihkan."Mbak sakit hati, Dek. Padahal Mbak ke situ hanya ingin membeli kuenya, tapi dia malah mencaci maki, Mbak. Tak ada sambutan baik yang Mbak terima bersama Ibu." Sarah menangis terisak, tentunya itu hanya pura-pura. Semuanya dilakukan hanya untuk menarik empati dari Andi.Andi mengepalkan tangannya erat."Mentang-mentang sudah bukan menjadi istriku, dia semakin berani mempermalukan kalian. Harusnya dari awal kita tak perlu berbuat baik padanya. Rupanya selama ini rasa tulus cintaku dimanfaatkan oleh Alya untuk meluluhkan hati ini," ujar Andi yang terhasut dengan omongan sang Kakak. Matany
"Ibu, pokoknya Sarah nggak bakalan diam aja, ya. Sarah udah dipermalukan di depan orang banyak, bahkan sampai ada yang menjadikan momen kejadian tadi. Mau taruh di mana muka Sarah, Bu," ujarku yang daritadi tak berhenti mondar-mandir sambil marah, jujur saja aku merasa sangat terhina di depan orang banyak tadi karena perlakuan mereka berdua. Alya benar-benar tak punya hati. Aku benci dia."Sudahlah, Sarah. Nanti akan kita pikirkan bagaimana caranya membalas perlakuan mereka yang udah bikin kamu malu. Kamu tenang saja, mungkin saat ini mereka masih bisa berbahagia, tapi tidak untuk nanti. Kamu tenang saja, Ibu juga sangat merasa malu karena perlakuan mereka tadi kepadamu." Ibu meminum kopi dalam gelasnya. Ia terlihat sangat tenang, seperti sudah ada sebuah rencana yang disusun oleh Ibu."Tapi, Bu, tetap saja Sarah tak bisa tenang. Bagaimana jika ada yang menyebarkan video itu. Iiiiiih! Sarah benar-benar kayak orang gila tau nggak sekarang, Bu. Tadi tuh pengen banget rasanya ngegampar mu
"Sayang, sekarang udah sepi ini. Ayo pulang," ucap Nandar sambil memegang telapak tangan Alya."Iya, sebentar lagi, Mas. Aku beresin dulu ini," ucap Alya sambil melepas genggaman dari Nandar. Bergegas ia membereskan tempat kue dan membersihkan sisanya."Mas, Alya tiba-tiba pengen bikin makanan juga. Makanan yang cepat saji itu lho, siapa tau ada yang mau makan siang atau buat sarapan dan bawa pulang ke rumahnya, 'kan," ujar Alya pada Nandar."Mas mau ngelarang kamu kerja, tapi Mas juga nggak mungkin biarin kamu kesepian di rumah. Apapun yang kamu inginkan, pasti bakalan Mas turutin selagi itu bernilai baik," ujar Nandar pada Alya. Ia menatap Alya dengan penuh cinta."Alhamdulillah, kira-kira menurut, Mas, bagusnya mulai kapan aku membangun usahanya?" tanya Alya pada Nandar. Dulu, sebelum menikah tempatnya sharing adalah Bahrul dan juga Aini. Namun setelah menjadi istri seorang Nandar, maka Nandarlah tempat untuk ia menuangkan pendapat."Setelah kita pulang bulan madu," jawab Nandar sa
"Ngeselin banget sih mereka, Kak, pengen Aini jambak-jambak aja tadi. Ada ya manusia kayak gitu hidup di dunia ini," omel Aini yang terus menerus. Tidak nyaring, hanya saja terlihat sekali geram di matanya."Ya ada, Dek, lah itu orangnya tadi baru aja kan bersikap kayak tadi. Udah nggak usah diambil hati, bikin nambah beban pikiran aja. Cukup didiemin aja dia mah orang kayak gitu, kalo kita ladenin apa bedanya kan sama dia," jawabku padanya. Terlihat sekali pancaran emosi dari mata adikku Aini."Iya juga sih, Kak, tapi tetap aja kalo nggak diladeni rasa dongkol dalam hati Aini tuh makin menggebu-gebu ngeladani manusia tak tahu malu seperti dia tuh. Kenapa dulu, ya, bisa-bisanya Kakak punya mertua dan kakak ipar seperti dia. Haduh! Untung saja Kakak sudah lepas dari benalu-benalu seperti mereka." Aini berucap sambil mengedikkan bahunya, seperti orang yang takut.Entahlah, jika aku bilang tak tahu, mustahil, karena dari awal sebelum nikah aku juga sudah tahu bahwa keluarga Andi sama seka
"Bu, aku dengar-dengar di daerah **** jl *** ada toko kue yang baru-baru buka lho, katanya kuenya enak. Aneka ragam kue dijual di toko itu, beli yuk," ucap Sarah pada IbunyaSaat ini aku dan Ibu sedang duduk bersantai di depan televisi, sedangkan adikku Andi berangkat bekerja. Karena dia sudah lama cuti."Emang beneran enak apa?" tanya sang Ibu yang mulai ikut andil dalam percakapan."Aku lihat sih di faceb**k dan juga W******p sih gitu, Bu, ini lho lihat. Sampe banyak banget Anggi teman aku beli," ujar Sarah lagi pada sang Ibu."Mana, coba Ibu lihat," jawab sang Ibu lalu duduk mendekati Sarah anaknya."Enak sih ini, apalagi kue ini lho, lama sekali Ibu nggak makannya. Ayolah kita beli di sana, pakai motor bisa kan kamu?" "Bisa dong, Bu, sebentar Sarah siap-siap dulu." Merek berdua lalu bersiap-siap untuk pergi ke toko yang sudah ditentukan.****"Benar ini tempatnya?" tanya Sang Ibu melihat toko yang ramai pengunjung."Dari alamat yang tertera sih, kayaknya benar ini Bu alamatnya," j