Share

MEMBALAS PESAN MENOHOK!

POV Alya

*

Aku menyeret langkah dengan yakin, ucapan Mas Andi benar-benar membuat darahku mendidih.

Bukan sekali dua kali dia begitu, setiap ada masalah yang menyangkut dengan keluarganya, entah mengapa selalu aku yang terkena imbasnya.

"Alya!!"

Mbak Sarah menarik tanganku dengan kasar hingga terdengar bunyi seperti jari yang patah.

"Mana aku periksa tas kamu! Kamu pasti bawa barang-barang berharga kan dari rumah ini," ucapnya dengan lancang.

"Jangan pegang-pegang barang milikku!" gertakku.

"Bawa sini nggak atau kamu mau aku berbuat kasar!" bentak Mbak Sarah padaku.

Ia langsung mengambil tas, sebelum membukanya aku lebih dahulu menarik rambutnya.

Habis sudah kesabaranku selama ini. Mungkin dia pikir, selama ini aku diam karena takut. Padahal kenyataannya, aku hanya menghargainya sebagai Kakak dari Mas Andi.

"Lepas, C*k!" umpatnya padaku. Aku semakin menarik rambutnya dengan kasar.

"Sudah kubilang jangan menyentuh barang-barang milikku! Cukup Mas Andi yang kalian ambil, barangku adalah hak milikku!" ucapku penuh penekanan.

"J*lang! Lepas ba**sat!" umpatnya lagi tak henti-henti.

Saking kesalnya aku dengan umpatan-umpatan yang dia berikan. Aku langsung memukul mulutnya dengan kasar.

Entah mengapa tidak ada kata-kata bagus yang ke luar dari mulutnya ini!

"Aw! Sakit!" teriaknya nyaring.

"Alya! Kamu apakan Mbak Sarah!" Teriakan dari depan pintu rumah terdengar, aku melepas cengkraman eratku pada rambut Mbak Sarah.

"Menantu kurang ajar kamu ya!" bentak mertuaku.

Tangannya melayang hendak menampar, tapi langsung kutangkap!

Enak sekali mereka, main pukul sembarangan dengan notabennya adalah orang lain.

"Sudah kubilang cukup suamiku yang menampar dan menyakitiku! Kalian tidak pantas menyentuhku, bahkan sampai membuat badan ini berbekas akibat luka!" ucapku penuh emosi.

Ingin pulang saja, harus ada lagi hal-hal yang membuat darah ini berdesir hebat.

Masih terdengar amarah Mas Andi, aku langsung mengatakan padanya agar menunggu surat pengadilan yang akan diberikan padanya.

Tanpa memedulikan ucapan Mas Andi lagi, aku langsung naik ojek yang sudah dipesan.

Menangis?

Ah, tidak! Kalian mungkin pernah dengar kalimat "Mati Rasa" ya itulah yang kurasakan sekarang. Entah mengapa rasanya lebih lega saat melawan mereka semua.

Setidaknya untuk sementara waktu aku tidak akan bertemu dengan keluarga toxic itu lagi.

*

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum," salamku dari luar pintu.

"Wa'alaikumsalam," sahut dari dalam rumah.

Klek!

Pinta terbuka, aku tersenyum menatap Aini yang tergugu melihat kedatanganku.

"Mbak Alya," ucap Aini terlihat girang. Ia langsung memelukku, aku membalas dengan erat meluapkan rasa rindu.

Tatapan Aini beralih pada tas besar yang berada di tanganku.

"Ayo masuk, Mbak! Di luar dingin," ujar Aini.

"Sini tasnya, Aini bawakan. Hampiri Ayah di kamar ya, Mbak. Ayah lagi ngaji, Aini mau bikinkan teh buat Mbak," ujarnya semangat.

"Nggak usah repot-repot, Dek," ucapku sambil mengusap rambutnya.

Sini hanya tersenyum lalu mempercepat langkahnya menuju dapur.

Entah kenapa saat sampai di rumah, dadaku terasa sesak.

Air mata daritadi seperti tak dapat diajak bekerjasama.

"Haduh, jangan nangis, jangan nangis," ucapku sambil mengipas mata menggunakan telapak tangan

"Ayah," ucapku lembut. Lalu membuka pintu kamar Ayah perlahan.

Ayah menoleh dan langsung tertawa.

"Alya, kapan pulang, Nak?" tanya Ayah padaku.

"Baru sampai Ayah," ucapku pada Ayah.

"Dianter sama Nak Andi?" tanyanya lagi membuatku terdiam.

Ayah seperti paham, ia lalu mengalihkan pembicaraan.

"Pasti kangen sama Ayah, ya. Sudah besar ternyata putri ayah sekarang," ujar Ayah yang membuatku terharu.

Aku langsung memeluk Ayah dan ya, air mataku meluncur dengan sendirinya.

"Ayah, Alya kangen Ibu," ucapku sambil sesegukkan.

"Ada apa, Nak?" tanya Ayah lembut, berbeda dengan cara bicara Mas Andi tadi.

Aku hanya diam, menangis di dalam pelukannya.

"Sudah-sudah jangan menangis, ceritalah jika kamu sudah siap. Ayah tidak akan memaksa," ucap Ayah sambil mengusap pucuk kepalaku.

Aku semakin menangis kencang, Ayah adalah lelaki terbaik yang aku temui.

Aini datang sambil sesegukkan juga, ia langsung meletakkan teh di meja dan ikut berpelukan bersama kami.

*

[Heh, benalu! Sok-sokan mau cerai, kayak udah jadi orang kaya aja!]

Banyak pesan masuk dari Mbak Sarah yang isinya meremehkanku.

[Hidup miskin aja sok-sokan!]

[Kau pikir setelah cerai denganmu, Andi bakalan lama jadi duda. Heh, adikku itu pintar, cerdas, sekolahnya tinggi! Sadar diri, Sayyyy!"]

[Pengangguran aja bangga! Modal tampang doang! Sok cantik, cantikkan juga mantan pacar Andi dulu!]

[Coba aja dulu kamu nggak hadir! Pasti sekarang kami semakin jadi orang kaya! Dasar benalu!]

Pesan terakhirnya membuatku memutar bola mata malas.

[Kenapa nggak dibalas, takut kamu, hah!]

Lagi, Mbak Sarah mengirimkan pesan.

[Yang terpenting aku nggak mengedepankan gaya, padahal keuangan menipis. Aku nggak ngutang sana sini buat ngecukupin biaya hidup sosialita. Satu lagi yang penting aku nggak open B*!]

Setelah membalas pesan Mbak Sarah, aku langsung memblokir kontaknya. Kalo terus menyimpan yang ada aku juga ikut-ikutan tak waras seperti dia.

-

-

Next?

Terima kasih sudah berkenan mampir🥰🥰

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Parah banget kakak ipar nya Alya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status