"Gimana, Ndi? Kita minta kembali aja deh, lumayan lho buat nambah-nambah uang belanja," ucap Mbak Sarah lagi.Aku masih terdiam, memikirkan ucapannya."Halah! Jangan-jangan, malu-maluin kalo sampai minta dibalikin. Apa kata tetangga Alya nanti, belum lagi yang ada kita bakalan dicap buruk sama orang sini," tolak Ibu pada Mbak Sarah."Ya elah, Bu. Terus gimana dong, emang Ibu mau kita kayak dulu lagi," ucap Mbak Sarah kekeh dengan keinginannya."Gimana, Ndi. Kamu setuju aja kan yang Mbak bilang, mending diminta kembali. Lagian kalian juga udah nggak ada hubungan apa-apa, siapa tau kamu mau nikah lagi. Biar uangnya Mbak simpankan di rekening," ucap Mbak Sarah."Nggak ah, Mbak. Ngapain dipinta kembali, bener kata Ibu yang ada nanti kita yang malu. Mending kalian aja yang kurang-kurangin gaya-gayaannya. Biar nggak lebih besar pengeluaran daripada pemasukan," ucapku menolak.Raut wajah Mbak Sarah langsung berubah. "Ya udah kalo gitu, gadaikan ada sertifikat rumahmu ini. Biar Mbak sama Ibu
"Ada apa ini? Kenapa kalian diam!" ujar Ibu yang mulai penasaran."Bu, maaf," mohon Mbak Sarah."Ada apa, Sarah?" tanya Ibu lembut."Andi kamu apain lagi kakakmu, hah?!" ucap Ibu yang terus menyalahkanku."Andi! Andi! Andi terus yang disalahkan. Coba tanya anak kesayangan Ibu itu, hal apa yang buat Andi marah ke dia sampai sebesar ini!" teriakku lantang. Selama ini aku selalu mengalah pada Mbak Sarah karena Ibu selalu membela kesalahan apapun yang dilakukan Mbak Sarah.Sekarang apakah Ibu masih bisa membelanya, pikirku."Andi! Ibu hanya bertanya?" tegas Ibu."Ibu nggak nanya, tapi Ibu berbicara seolah-olah di sini aku yang bersalah. Suruh anak kesayangan Ibu itu diam! Nggak usah pakai drama nangis segala. Berapa banyak uang yang sudah diterima, apa saja yang sudah diberikan dia sama lelaki hidung belang itu! Tanya, Bu!" ucapku penuh penekanan.Raut wajah Ibu berubah seketika. Tangannya terlihat bergetar, matanya langsung menatap Mbak Sarah yang terus mengelak tentang kesalahannya."Sa
"SARAH!" Aku menatap Mas Roni yang juga menatap dengan tajam. Matanya memerah dengan napas yang tak beraturan dan juga kepalan tangan yang terlihat mengepal erat."M-mas ....""Sabar, Romi. Istighfar, ingat ada Nita di dalam kamar. Setidaknya jaga perasaan dia, tetap jadi Ayah yang patut dicontoh," bisik mertua Mbak Sarah yang terdengar olehku."Aku kecewa sama kamu, Sarah! Bisa-bisanya kamu berbuat rendahan seperti ini. Bisa-bisanya kamu membuatku sakit sejauh ini, kamu nggak mikir gimana mental Nita ke depannya?""Setega inikah kamu sama kami, Sarah! Apa kurangnya aku selama ini, apapun yang kamu minta aku mati-matian menuruti agar hidupmu tercukupi. Tapi balasan apa yang kudapatkan, ibaratnya kau lempar kotoran ke wajahku. Bahkan sekadar membersihkannya pun aku tak mampu!" ucap Mas Roni dengan suara yang parau."M-mas, ini nggak seperti yang kamu lihat! Lelaki itu yang menggodaku!" teriak Mbak Sarah sambil menunjuk lelaki tua yang duduk dengan kepala menunduk."Heh j*l*ng! Wanita u
POV Alya*"Mbak ada pesanan kue yang harus diantar lagi nggak?" tanya Aini padaku."Sudah, Dek. Semuanya udah beres, kamu siap-siap berangkat kuliah aja. Jarak yang dekat biar Mbak aja yang ngantar, sekalian silaturahmi," ucapku."Ah, tenang saja, Mbak. Masih ada waktu sejam lebih kok, sini biar Aini bantu bungkusin," ucapnya.Aku tersenyum lalu memberikan kresek pada Aini, kami membungkus kue bersama-sama."Assalamualaikum," salam dari luar terdengar.Aku bergegas bangkit, lalu membukakan pintu rumah."Wa'alaikumsalam, eh Bu Hj Sulis, masuk, Bu," ucapku mempersilakan beliau masuk ke dalam rumah."Terima kasih Neng Alya, Ibu ke sini cuman mau tanya. Neng Alya ada bikin kue klepon sama arem-arem nggak?" tanya beliau ketika kupersilakan duduk di ruang keluarga."Aduh, belum ada, Bu Hj. Alya bikin kuenya sesuai pesanan orang-orang sama Aini aja. Jadi, nggak ada bikin kue yang Ibu sebutkan," ucapku sopan."Owalah, ya sudah Neng Alya. Ibu kira ada bikin, kalo begitu Ibu mau pamit pulang i
"Akhirnya bisa merebahkan diri setelah sibuk berkutat dengan pekerjaan yang tak ada henti-hentinya," ucapku sambil mengembuskan napas lega.Iseng, aku lalu membuka ponsel milikku. Karena sibuk membuat kue, terkadang aku lupa untuk memeriksa ponsel milikku sendiri.Tak banyak pesan yang masuk. Hanya saja ada beberapa pesan spam yang dikirimkan Mas Andi, itupun tiga hari yang lalu.Waktu bersamanya segala aktivitasku harus ia ketahui, bahkan kontak di ponselku juga dia harus tau. Entah itu karena memang ia cemburu atau sengaja ingin membuatku tak bisa melangkah lebih jauh. Padahal, selama aku menjadi istrinya tak ada sekali pun berani membuka ponsel pribadinya.Karena bagiku, setiap orang punya privasi. Salah satunya privasi itu terdapat pada ponsel sendiri. Namun aku bersyukur, lepas dari Mas Andi aku bisa menghirup napas lebih lega, nyaman dan tenang. Tak ada lagi tekanan-tekanan yang membuatku seperti orang yang hampir kehilangan akal.Selesai bermain ponsel, aku bergegas untuk mandi
Aku memperhatikan lagi nama pemesan kue bolu gulung dan juga brownies dengan taburan kacang di atasnya.Mengapa selera kuenya juga sama dengan Nandar yang dulu pernah aku kenal.Aku memejamkan mata sebentar. Semoga saja bukan, aku tak ingin luka lama terulang kali, batinku menjerit."Dor!" Aku terkejut, ketika Aini mengagetkanku."Mbak, ngelamun mikirin apa sih?" tanyanya penasaran."Nggak papa kok, Dek. Ayoklah kita bikin adonan kuenya. Alhamdulillah ya, Dek, semakin hari semakin bertambah yang mesan kue kita," ucapku padanya."Iya, Mbak, alhamdulillah banget. Emang bener ya, rezeki mah nggak akan kemana. Seandainya berada di titik tersulit pun, kita masih diberikan nikmat sama Allah yang tiada tara. Contohnya, bernapas.""Yap, kamu betul, Dek. Maka dari itu, syukuri untuk hari ini, bismillah untuk esok hari dan alhamdulilah untuk apapun yang terjadi," ujarku padanya."Pinter anak, Ayah. Siapa sih bapaknya?" ujar Ayah yang muncul tiba-tiba."Pak Rahul gitu lho, Aini sama Alya mah can
Aku memejamkan mata, lalu mengajak Aini buru-buru pulang dari sana. Berkali-kali aku menengadahkan kepala, agar air mata ini tak jatuh. Rasa sesak tiba-tiba mendera, apalagi saat bertemu dengan seseorang yang dulu menjadikan keseriusan ternyata hanya memberikan kesepian yang sulit untuk disembuhkan.Bahkan luka itu masih terasa hingga saat ini, Ndar, batinku.*Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menyapa antara aku dan Alya. Aku dengan lukaku, dan Aini mungkin dengan kebingungannya.Pertemuan secara mendadak dengannya membuatku kembali merasakan luka yang membekas dan sembuh yang tak cepat. Rasanya, belum kering luka kemarin hari ini harus kembali terbuka lagi.Entahlah, mengapa sekarang aku takut dengan lelaki yang mengumbar kata cintanya. Bahkan aku sangat sulit sekarang membedakan mana yang serius dan mana yang modus.Pengalaman menjalin hubungan dua kali, benar-benar meninggalkan trauma bagi mental dan juga pikiranku. Rasanya ... ah sulit untuk dijelaskan.Akhirnya, setelah
*Sore harinya, Ayah sudah pulang ke rumah. Seperti biasa makanan sudah siap, tinggal menunggu Ayah selesai membersihkan diri maka kami akan makan bersama. Ini adalah momen-momen yang paling kurindukan saat bersama dengan mereka."Gimana tadi jualannya, Nak. Lancar?" tanya Ayah menatap aku dan Aini bergantian."Alhamdulillah, lancar, Yah," ucapku pada Ayah sambil tersenyum, lalu mengambil nasi dan juga lauk untuk Ayah."Lancar banget, Yah," ujar Aini. Aku langsung menatapnya. Aku takut dia keceplosan menyebut nama Nandar.Bukannya apa-apa, dulu Ayah juga mengetahui hubungan yang kujalani dengan Nandar. Hanya saja karena sebuah insiden kami putus. Ayah hanya diam saat tau kami sudah tak menjalin hubungan."Alhamdulillah kalo gitu, Alya gimana. Mau dibikinkan toko kue nggak? Biar nanti berdampingan sama toko Ayah atau langsung jualan di toko Ayah aja. Nanti kita renovasi tokonya," saran Ayah."Untuk modalnya, nggak usah khawatir. Ayah masih punya uang buat renovasi, kalo Alya udah siap