"Apa kamu yakin kasih sayang mereka hanya sandiwara?" tanya Pak Ilmi seraya melepaskan pelukannya.Aku terdiam sebentar, lalu menatap mata beliau."Coba kamu ingat-ingat lagi apa saja yang sudah mereka lakukan untukmu. Saran Bapak, jangan cepat mengambil keputusan di saat rasa sedih, amarah, kecewa bercampur menjadi satu. Tenangkan pikiran lalu renungkan."Aku menunduk, meresapi perkataan yang terlontar dari Pak Ilmi."Ibu memang tak pernah menunjukkan kasih sayangnya, tapi saya mempunyai seorang Kakak yang begitu menyayangi saya. Bahkan kasih sayang dia melebihi kasih sayang seorang Ibu," ujarku pelan.Aku teringat bagaimana perjuangan Kak Sarah mengajariku bersepeda, mengantarku bersekolah dan lain sebagainya."Andi ... buruan susuk Kakak ke sini. Sepedanya digerakin.""Andi ayo bangun! Sarapan, nanti terlambat.""Andi! Jangan main itu, Dek. Nanti kamu jatuh."Di saat ada anak-anak nakal yang datang mengganggu Kak Sarah adalah orang pertama yang maju menghajar mereka semua."Nggak p
"Mbak, aku tak tau harus bagaimana lagi bersikap pada kalian setelah semua pernyataan yang diucapkan Ibu terasa sangat menyakitkan. Sekarang entah masih pantaskah aku menatap wajah kalian, masih pantaskah aku menasehati kalian. Semua sekarang terlihat seperti sangat canggung.""Aku bingung harus bersikap bagaimana lagi di hadapan kalian. Bahkan, rasa sakit bercampur kecewa ini sepertinya akan sangat sulit untuk disembuhkan. Katakan padaku, harus bagaimana lagi aku berbicara dan menggambarkan kondisiku saat ini?" tanyaku padanya dengan suara yang bergetar akibat menahan tangisan."Andi, Mbak benar-benar minta maaf. Mbak sendiri pun nggak tau kalo bakal berujung kayak gini, Mbak juga kaget waktu Ibu bilang kalo kamu bukan anak kandungnya. Tapi, Mbak berani bersumpah, selama ini kamu memang sudah seperti adik kandung sendiri. Mbak sangat-sangat menyayangi kamu, entah bagaimana asal usulnya. Bagaimana ceritanya, tiba-tiba kamu hadir di antara Mbak, Ayah dan juga Ibu. Mbak nggak peduli, Mb
"Tapi aku tidak masalah, di sisi lain aku bahagia mereka bisa pergi bersama. Namun, di sisi lain juga aku merasa sedih, kenapa kau tak ikut sekalian pergi bersama mereka.""Ibu!" bentak Mbak Sarah tiba-tiba."Kenapa, Sarah? Biarkan anak tak tau diri ini mendengar semuanya. Dia selalu membuatmu menangis, tanpa dia tahu bagaimana kasih sayang yang kamu berikan padanya melebihi sayangmu padaku. Kamu rela putus sekolah untuk bekerja, menyekolahkan dia hingga dia sesukses sekarang, tapi apa yang kamu dapatkan. Hanya perlakuan yang tak pantas!" bentak Ibu tak kalah nyaring."Ibu, berhenti! Dia adikku, dia saudara kandungku. Sampai kapanpun dia tetap adikku!" teriak Mbak Sarah.Aku menunduk membiarkan air mata lolos dari pertahanannya."Aku sayang dengan Andi, dia adikku. Jangan bikin mental dia down, aku nggak rela adikku disakiti orang lain, sekalipun orang itu adalah Ibu," ucap Mbak Sarah sambil berdiri."Tapi faktanya, ibunya dan dia yang mengambil ayahmu, Sarah! Dia menghancurkan keluar
POV Alya!*Dua Minggu sudah sejak kejadian Mas Andi yang datang ke rumah dengan keadaan tak sadar diri. Sampai saat ini aku memutuskan untuk jarang ke luar rumah. Bukan apa-apa, aku hanya takut kembali bertemu dengannya.Melihat wajahnya hanya akan menumbuhkan rasa marah dalam dadaku. Apalagi jika mengingat perlakuan dia dan keluarganya. Perkataan ibunya, dan juga hinaan yang dilontarkan oleh Kakak perempuannya. Semua itu, seperti memori yang terus menerus berputar di ingatan."Mbak," panggil Aini padaku."Sudahlah, tak usah memikirkan dia yang membuatmu terluka. Fokus pada tujuan awal kita saja," ucapnya."Mbak hanya heran saja, kenapa coba dia datang ke rumah kita di malam hari. Saat hujan sangat lebat, aneh aja gitu lho. Kayak nggak ada tempat persinggahan lain aja," omelku."Biasalah, nggak bisa move on ya gitu, Mbak. Bermacam-macam cara dilakukan supaya ketemu sama, Mbak. Kalo aku sih malu ya jadi dia itu, tapi ya gimana. Namanya juga Andi, mana punya urat malu dia," ucap Aini t
Di sela kesibukan, aku membuat makan siang di dalam toko. Kebetulan aku juga membawa kompor gas yang sudah kubeli khusus untuk keperluan toko."Dek, ingat garamnya jangan kebanyakan," tegurku saat melihat Aini ingin menuangkan garam ke dalam wajan berisi kari ayam."Aelah, Mbak. Belum juga Aini masukin garamnya. Iya tenang aja, ngomong-ngomong berapa sendok makan garamnya, Kak?" tanyanya padaku.Aku tertawa kecil, lalu memberitahunya apa saja yang diperlukan saat membuat masakan kari ayam."Mbak, kayaknya Mas Nandar masih cinta deh," ucapnya tiba-tiba. Aku menghentikan kegiatan sebentar, lalu melanjutkannya. Tak kupedulikan ucapan Aini."Mbak, apa salahnya membuka hati kembali," ucapnya lagi."Aini yakin Mas Nandar lelaki yang baik. Buktinya belum sampai beberapa bulan, dia sudah akrab dengan Ayah."Ya karena kamu nggak tau aja, kalo Ayah tau bahwa aku dan Nandar adalah mantan kekasih, batinku."Micinnya udah dikasih, Dek?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Mbak Alya, kamu berhak baha
*Pagi harinya, aku terbangun agak siang. Rupa-rupanya begadang tadi malam membuatku lelah dan ingin terus tidur.Kulihat Aini sudah tak ada di sampingku, mungkin dia sudah berangkat ke kampusnya atau ikut Ayah ke toko lebih dahulu.Haduh, mengapa dia tak membangunkanku coba, rutukku dalam hati.Bergegas kulangkahkan kaki ke kamar mandi, membersihkan diri. Lalu bersiap-siap untuk pergi ke toko.Saat ke luar kamar, aku melihat Ayah yang duduk di ruang keluarga dengan koran di tangannya."Udah bangun, Nak?" tanya Ayah."Iya, Ayah. Maaf, Alya kesiangan bangunnya. Aini mana, Yah?" tanyaku."Adekmu sudah berangkat dari pagi tadi, katanya ada kelas pagi. Ya sudah kamu sarapan dulu, sudah Ayah buatkan. Nanti kita sama-sama ke tokonya," ujar Ayah.Aku lalu mengangguk dan bergegas sarapan.Kebetulan motor dipakai oleh Aini, jadi aku dan Ayah memutuskan menggunakan sepeda yang ada. Lagipula jarak toko dan rumahku tak terlalu jauh."Ayah, nanti kalo jualan Alya laris manis. Alya beli motorlah, b
Deg!Ucapan Arini bagai kilat yang menyambarku, ada rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Dengan susah payah aku mencoba menahan air mata yang hampir lolos.Entah kapan mereka berdua datang, tiba-tiba sudah berada di toko dan langsung membuat keributan."Heh! Istighfar kamu Arini. Ya Allah Rina, kalian berdua ini jangan suka ngurusin kehidupan orang lain. Kebiasaan mulut nggak bisa dikontrol, anak itu dari yang di atas. Mana bisa kita nebak sendiri," omel Bu Hj Sulis."Lah emang kenyataannya gitu, 'kan. Makanya Mbak Alya sama Mas Andi pisah, sayang banget. Padahal Mas Andi ganteng lho, Mbak, kalo aku mah nggak papa, nggak punya anak. Tapi yang penting suamiku ganteng," ujar Arini. Aku berhenti memasukkan kue ke dalam wadah. Pelanggan yang berada di tokoku memerhatikan kami yang sekarang menjadi pusat perhatian."Ngomong apa kamu tadi, hah! Hati-hati ya mulutmu itu. Kamu nggak tau apa ucapan itu adalah doa, kalo nanti ucapanmu malah menyerang dirimu sendiri, mampu kamu bertahan?!"
POV Andi*Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, saat ini aku mencoba berdamai dengan keadaan. Toh, semuanya juga sudah lewat. Jika aku meninggalkan mereka, sama saja aku tak tau berterima kasih. Masih untung dulu Ibu tak membuangku, saat Mama pergi meninggalkan hingga akhirnya sampai mengalami kecelakaan.Harusnya aku bersyukur, karena Ibu masih mau merawatku yang jelas-jelas bukan anak kandungnya. Apalagi beliau rela bersusah payah menyekolahkanku hingga sampai ke jenjang sekarang."Andi, ayo sarapan. Mbak udah bikinkan masakan kesukaan kamu," panggil Mbak Sarah ketika masuk ke kamar. Setelahnya bergegas ke luar."Oke, Mbak," jawabku lalu mengekor di belakangnya.Aku duduk berhadapan dengan Ibu. Sekarang Ibu terlihat lebih berbeda. Ibu lebih pendiam dari sebelum-sebelumnya."Pagi, Bu," sapaku. Ibu menatapku lamat, lalu ia tersenyum.Mungkin Ibu juga mencoba berdamai dengan masa kelamnya yang dulu, pikirku."Taraaaa, silakan dinikmati," ucap Mbak Sarah. Aku lalu tersenyum melih